Lady
Gaga dan Kemiskinan
Firdaus
Cahyadi ; Knowledge
Manager for Sustainable Development, OneWorld-Indonesia
SUMBER
: REPUBLIKA,
26 Mei 2012
Anak
itu bernama Muhammad Basyir. Pada Juli 2010 ia ditemukan meninggal dunia dengan
cara gantung diri di pasar penampungan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Diduga
anak kecil itu nekat mengakhiri hidupnya ka rena tak tahan dengan kemiskinan
yang melilit keluarganya. Selama ini orang tua Basyir hanya pedagang kecil di
pasar. Mereka tidak sanggup membiayai anaknya sekolah.
Muhammad
Basyir adalah sebuah fenomena gunung es. Meskipun tidak mengikuti jejak
Muhammad Basyir untuk melakukan bunuh diri, di Jakarta masih banyak anak-anak
miskin yang terpakasa hidup di jalanan. Kemiskinan adalah faktor utama memaksa
mereka meninggalkan keceriaan masa anakanak dan juga bangku sekolah.
Data
menunjukkan jumlah anak-anak jalanan ini terus meningkat di Jakarta.
Berdasarkan data dari Dinas Sosial DKI Jakarta, seperti yang pernah ditulis
oleh sebuah media massa nasional, jumlah anak jalanan di Jakarta pada 2009
sebanyak 3.724 orang, pada 2010 meningkat menjadi 5.650 orang, dan 2011 naik
lagi menjadi 7.315 orang.
Seiring
dengan meningkatnya jumlah anak jalanan, meningkat pula jumlah penduduk miskin
di Jakarta. Menurut Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, pada 2011 lalu angka
kemiskinan di Jakarta meningkat sebesar 3,75 persen atau menjadi 363 ribu orang
dari jumlah angka kemiskinan pada tahun 2010 sebesar 312 ribu orang.
Angka
anak putus sekolah karena faktor kemiskinan di Jakarta pun masih tinggi. Di
Jakarta Utara saja, menurut ang gota DPRD DKI Jakarta Wanda Ha midah, terdapat
sekitar 23 ribu anak pu tus sekolah karena faktor kemiskinan.
Peningkatan
jumlah anak jalanan dan penduduk miskin di Jakarta adalah sebuah ironi. Karena
Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan dan juga pertumbuhan ekonomi di
Indonesia. Bayangkan sekitar 70-80 persen perputaran uang di Indonesia ada di
Jakarta.
Dengan kata lain, gula-gula pembangunan Indonesia ada di Jakarta. Jika
angka kemiskinan di Jakarta meningkat, dapat dibayangkan bagaimana angka
kemiskinan di luar Jakarta? Di tengah potret nyata kemiskinan di Jakarta
itulah, konser musik Lady Gaga akan digelar. Harga tiket konser Lady Gaga yang
paling murah adalah Rp 400 ribuan dan yang termahal sekitar Rp 2 jutaan pun
telah habis terjual. Harga tiket termurah konser Lady Gaga pun lebih tinggi
dari garis kemiskinan di Jakarta pada September 2011, yang sebesar Rp 368.415
per kapita per bulan.
Artinya,
harga tiket konser Lady Gaga termurah dapat mengangkat satu orang miskin di
Jakarta selama satu bulan. Harga tiket konser Lady Gaga termahal bisa
mengangkat lima orang miskin di Jakarta dari belenggu kemiskinan selama satu
bulan. Namun, sejumlah uang itu oleh kita, kelas menengah di Jakarta,
dihabiskan hanya untuk menyanyi dan berjoget bersama penyanyi Lady Gaga hanya
dalam satu malam.
Ini
adalah fakta bahwa kepekaan sosial dari kelas menengah-atas di Jakarta semakin
menipis. Kelas menengah di Jakarta, mungkin akan merasa begitu kehilangan jika
uangnya sejumlah harga tiket Lady Gaga itu disumbangkan untuk orang miskin
secara langsung atau ke organisasi sosial yang memberdayakan mereka. Padahal,
saudara-saudara kita yang berada di garis kemiskinan memerlukan uluran tangan
dari sesamanya untuk memutus rantai kemiskinan yang menjeratnya.
Media
massa sebagai pilar demokrasi keempat pun larut dalam perdebatan kontroversi
konser Lady Gaga. Seakan berita mengenai konser Lady Gaga lebih penting
daripada berita tentang kehidupan warga miskin kota yang kehilangan hak-hak
dasarnya.
Bahkan,
karena konser Lady Gaga ini dinilai penting, para petinggi negeri ini, baik
dari kalangan eksekutif maupun legislatif, pun berlomba berkomentar soal kontroversi
konser ini. Hal yang bertolak belakang ketika ada kasus yang menyangkut persoalan
kelas menengah bawah.
Para
petinggi negeri ini seperti membisu saja saat orang-orang miskin di bantaran
sungai Jakarta digusur. Mereka juga tidak berdebat secara keras di media ketika
terjadi penggusuran terhadap permukiman orang-orang miskin di Ja karta dengan
mengatasnamakan perluasan ruang terbuka hijau (RTH).
Ketika
sebuah persoalan merugikan kepentingan kelas menengah-atas, para petinggi
negeri ini cenderung bersuara dengan lantang. Padahal, jadi atau tidaknya konser
Lady Gaga di Jakarta adalah kepentingan kelas menengah atas. Andaikan konser
Lady Gaga tidak jadi digelar pun, kelas sosial itu pun masih bisa melihat
konser Lady Gaga melalui video atau internet. Mereka hanya berkurang
kenyamanannya.
Sementara
jika warga miskin di Jakarta tidak segera diselamatkan, mereka akan kehilangan
hak-hak dasarnya sebagai manusia. Harusnya para petinggi negeri ini bersuara
keras ketika ada warga miskin yang hak-haknya terampas daripada konser Lady
Gaga.
Adalah
ironi yang ditampakkan secara nyaris telanjang, ketika sebuah konser musik yang
mewah digelar di tengah warga kota yang hidup bergelimang kemiskinan.
Pertanyaannya adalah apakah para penonton konser musik yang telah menghabiskan
ratusan ribu hingga jutaan rupiah untuk membeli tiket itu masih merasa bergetar
hatinya ketika melihat fakta kemiskinan di Jakarta? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar