Haruskah
Loan to Value 70% Ditunda?
David
Kiki Samosir ; Finance
& Admin Head Sinar Mas Land
SUMBER
: MEDIA
INDONESIA, 26 Mei 2012
SURAT
permohonan yang ditujukan Real Estate Indonesia (REI) kepada Bank Indonesia
(BI) agar loan to value (LTV) 70% ditunda merupakan usulan yang wajar dengan
melihat penundaan penaikan harga BBM.
Apabila
penaikan harga BBM berjalan seperti apa yang direncanakan, usulan penundaan
pemberlakuan LTV mungkin tidak akan terjadi. Artinya, wibawa dan kematangan
regulator memang sudah teruji. Kesiapan mental masyarakat dan pelaku bisnis pun
sudah lebih baik saat ini.
Bank
Indonesia sebagai otoritas bidang moneter mempunyai kewenangan untuk
memberlakukan atau menunda LTV 70% tanpa harus memanggil REI selaku asosiasi
perusahaan properti dan real estat di Indonesia untuk berdiskusi dan menyiapkan
aturan.
Kekhawatiran
REI atas pengetatan uang muka sebesar 30% boleh dikatakan terlalu berlebihan.
Selama ini, uang muka yang berlaku di pasar sebesar 0%. Akibat yang mungkin
terjadi yaitu market rumah kecil akan
berkurang karena kemampuan keuangan calon konsumen dan mereka mungkin akan
menunda untuk memiliki rumah dengan alternatif menyewa rumah sampai uang muka
terkumpul.
Begitu
juga kekhawatiran BI terhadap bubble
sebaiknya jangan terlalu tinggi, melihat rasio kredit perumahan terhadap produk
domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 3% masih tergolong rendah.
Penundaan
pemberlakuan LTV sudah tentu akan menguntungkan bisnis properti dan perbankan,
apalagi dengan kondisi ekonomi Indonesia yang sedang tumbuh. Peningkatan
penjualan properti berkorelasi positif terhadap peningkatan pemberian kredit
pemilikan rumah (KPR). Penundaan itu, meskipun baik bagi bisnis di sektor real
estat, tidak baik bagi Bank Indonesia sebagai regulator. Selain terkesan tidak
tegas dan well planning, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah bisa
berkurang.
Bila
melihat kinerja perusahaan real estat
dan properti sejak keluarnya surat edaran dari Bank Indonesia terhadap rencana
pemberlakuan LTV 70%, itu ternyata secara signifikan tidak terganggu. Hal
tersebut dapat dilihat dari data pergerakan indikator harga saham perusahaan
properti yang sudah listed di Bursa Efek Indonesia. Pada umumnya, pengembang
bahkan melakukan ekspansi bisnis di 2012 dengan meningkatkan target penjualan
dan penambahan land bank.
Hal
tersebut dilakukan karena permintaan akan rumah tinggal sebagai kebutuhan pokok
terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi
saat ini sebesar 6,3%. Menurut pakar properti Panangian Simanungkalit,
pertumbuhan permintaan properti di 2012 mencapai 20%-30%.
Kinerja
bisnis properti di kuartal I 2012 pada umumnya baik. Beberapa pengembang besar
membukukan kenaikan pendapatan usaha jika dibandingkan dengan tahun lalu. Pendapatan
usaha BSD, misalnya, mencapai Rp 800 miliar atau naik 28,9% dari tahun lalu.
Adapun PT Lippo Cikarang membukukan pendapatan usaha Rp254 miliar atau naik
95,68% jika dibandingkan dengan tahun lalu, sedangkan Sumarecon Agung
membukukan pendapatan Rp814,3 miliar atau naik 103,9% jika dibandingkan dengan
tahun lalu. Begitu juga penjualan Agung Podomoro sebesar Rp1,21 triliun atau
naik 8% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Memang,
penerapan LTV akan berpengaruh sementara pada bisnis properti karena kebutuhan
akan rumah merupakan kebutuhan pokok. Kondisinya sangat berbeda dengan
kendaraan bermotor yang bukan jenis kebutuhan pokok. Permintaan akan kebutuhan
rumah atau tempat tinggal terus meningkat, tidak sebanding dengan penawaran.
Pertambahan penduduk seperti deret ukur, sedangkan pertambahan rumah dan tempat
tinggal seperti deret hitung. Pemenuhan kebutuhan rumah atau tempat tinggal
tidak dapat dilakukan seperti produk lain atau pabrikasi, yaitu sesuai dengan
permintaan: apabila ada permintaan 1.000 unit akan diproduksi secara massal
1.000 unit.
Penawaran
produk rumah harus direncanakan sesuai dengan besarnya lahan, tema produk,
infrastruktur, fasilitas umum, fasilitas sosial, lingkungan komersial, dan
lain–lain. Pemenuhan kebutuhan pokok tidak bisa dihindari atau dibatalkan.
Kondisi terburuk yang mungkin terjadi ialah penundaan pemenuhan kebutuhan,
contohnya rumah atau tempat tinggal.
Di
lain pihak, industri perbankan sebagai agent
of development melakukan perannya dalam mendukung masyarakat untuk memiliki
rumah sebagai kebutuhan pokok dan mendukung pertumbuhan ekonomi di sektor riil
dengan memberikan dukungan pendanaan proyek properti melalui pinjaman kredit
pemilikan rumah atau KPR. Beberapa bank sudah merespons regulasi LTV 70% dengan
menciptakan beberapa strategi dan produk baru. BII, misalnya, menciptakan
produk KPR bebas bunga, BNI membatasi pemberian pinjaman untuk KPA dan
membatasi pinjaman pemilikan rumah yang kedua, BTN merencanakan peluncuran
produk KPR jangka waktu 25 tahun, BCA menawarkan bunga 8% selama 55 bulan,
Panin Bank menawarkan suku bunga KPR 7,88% fixed
1 tahun, dan Bank Mandiri menawarkan KPR tetap (fixed) 2 tahun sebesar 7,5%.
Sebaiknya perlu dicari solusi yang
menguntungkan semua pihak, baik kepada pelaku bisnis di bidang properti, kepada
masyarakat yang membutuhkan rumah sebagai kebutuhan pokok, pihak industri
perbankan sebagai agent of development,
maupun terhadap Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang mengatur
perekonomian yang saat ini sedang tumbuh.
Bagaimanapun,
syarat kredit konsumsi yang lebih ringan akan memicu terjadinya kemacetan
pembayaran dan menghambat pertumbuhan ekonomi atau bubble. Perilaku konsumen akan terdorong lebih konsumtif ketimbang
menabung.
Karena
itu, pemberlakuan LTV 70% sebenarnya tidak perlu ditunda asal semua pihak yang
berkepentingan melakukan berbagai langkah. Misalnya, industri properti bisa
mengembangkan rumah tipe kecil yang luasnya di bawah 70 m2 dengan harga
terjangkau serta mengatur perpanjangan jangka waktu pelunasan uang muka. Lalu,
industri perbankan sudah saatnya efisien dalam mengatur biaya operasional (copo) agar suku bunga tetap bersaing.
Bank Indonesia sebaiknya mengatur tingkat suku bunga kredit pemilikan rumah
(KPR) untuk rumah ke-2, rumah ke-3, dan seterusnya sehingga suku bunga KPR
untuk rumah pertama harus lebih rendah. Namun, bagi masyarakat, kepemilikan
rumah harus menyesuaikan dengan penghasilan terutama untuk kepemilikan rumah
pertama.
Jika
langkah-langkah itu bisa dilakukan secara maksimal oleh semua pihak yang berkepentingan,
LTV 70% niscaya tidak perlu ditunda. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar