Demam K-Pop
Kristanto Hartadi, Redaktur
Senior SINAR HARAPAN
SUMBER
: SINAR HARAPAN, 01 Mei 2012
Kelompok boyband
Super Junior (SuJu) sukses hebat menggoyang Jakarta. Ada ribuan remaja dan
ada juga orang-orang yang lebih tua dari kelas menengah ke atas, yang rela
mengeluarkan uang hingga Rp 1,7 juta untuk menyaksikan pertunjukan anak-anak
asal Korea Selatan itu. Banyak yang mau antre seharian bahkan sampai
menginap asal bisa mendapatkan tiket grup musik aliran K-Pop itu. Atau menabung
berbulan-bulan demi menyaksikan pertunjukan mereka.
Fenomena K-Pop yang menggemparkan itu sudah
banyak diulas di berbagai stasiun dan media, lengkap dengan meminta pandangan
para ahli untuk menjelaskan mengapa anak-anak Korea itu mampu mendunia.
Sejumlah penjelasan untuk keberhasilan mereka itu antara lain: buah dari kerja
keras, tim kreatif yang hebat, penguasaan teknologi, menerapkan teknik dan strategi
pemasaran yang jitu, dan lainnya.
Artinya, K-Pop adalah produk dari industri
musik Korea Selatan dan industri musik tak lain bagian dari industri kreatif,
yakni serangkaian kegiatan ekonomi yang terkait dengan eksploitasi pengetahuan
dan informasi. Industri kreatif ini banyak dikembangkan oleh negara-negara maju
yang sadar bahwa “kreativitas manusia adalah sumber daya utama bagi
perekonomian”.
Dalam pandangan saya, penyebaran karya sektor
industri kreatif itu tak beda dengan pemasaran berbagai produk industri
lainnya, dan hal itu sebenarnya juga merupakan pertempuran budaya dan
nilai-nilai.
Hollywood melancarkan hal itu dengan dukungan
pemerintah Amerika melalui tangan-tangan Motion Picture Association of America
(MPAA) yang bisa menekan-nekan kita agar film-film mereka bebas beredar di
Indonesia. Bollywood dengan jaringannya juga melancarkan hal sejenis. Film-film
Korea pun punya banyak penggemar di Indonesia.
Lalu, mengapa bangsa yang punya penduduk 240
juta ini tidak mampu melancarkan penetrasi hingga ke negara-negara lain dalam
hal produk industri kreatifnya khususnya di bidang seni dan hiburan? Dan,
mengapa pula anak-anak kita malah jadi sangat gandrung dengan produk pop apa
pun yang datang dari luar? Apakah kita tidak punya daya tahan budaya untuk
menangkal berbagai serbuan produk industri kreatif asing?
Konsumsi = Identitas
Konsumsi = Identitas
Di dunia yang sudah tanpa batas ini, berlaku
hukum bahwa “konsumsi adalah bentuk utama ekspresi diri dan sudah menjadi
semacam identitas”. Karena itu, bangsa-bangsa yang mampu membaca perkembangan
dunia tersebut akan menyusun strategi untuk dapat memasarkan berbagai produk
apa pun, terutama hasil industri kreatif, karena di situ terkandung muatan
identitas kultural.
Dulu banyak remaja yang merasa keren kalau
bisa bergaya kebarat-baratan, maka kini mereka tidak malu bila bergaya ala SuJu
atau berbagai boyband dan girlband lain asal Korea Selatan.
Hari ini, bila ada yang memakai Samsung Galaxytab buatan Korea Selatan,
tidak akan merasa kalah gengsi dengan mereka yang memakai I-Pad buatan Apple yang
dari Amerika Serikat. Kenapa? Karena bangsa Korea mampu mencapai keunggulan di
bidang teknologi dan ekonomi, sehingga produk industri kreatif mereka pun maju
bersama kemajuan di sektor-sektor lainnya.
Pertanyaannya, mampukah kita bertahan menjaga
identitas kultural Indonesia dalam situasi persaingan global seperti sekarang
ini, di tengah kenyataan masyarakat kita menikmati dijadikan pasar dan
konsumen berbagai produk asing apa pun, mulai dari gunting kuku sampai
K-Pop?
Saya kira, untuk mempertahankan identitas
kultural Indonesia saja hari ini sudah demikian berat, apalagi
melancarkan “agresi budaya” melalui produk kreatif kita ke bangsa-bangsa lain
di dunia? Jadi, harus ada kampanye bersama untuk memasarkan industri kreatif
kita. Misalnya, pemerintah Thailand mendukung setiap upaya orang Thailand yang
akan membuka restoran di negeri lain, karena itu adalah bagian dari penetrasi
budaya. Apakah hal yang sama dilakukan pemerintah kita?
Fenomena gandrung K-Pop dapat menjadi titik tolak
buat kita semua untuk berpikir dan bersama-sama menyusun sebuah strategi
kebudayaan untuk menangkal banjir pengaruh dari luar, syukur-syukur mampu
menyusun strategi untuk melancarkan “serangan balik” ke negeri-negeri lain.
Kuncinya: mari kita lakukan bersama-sama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar