Zona Gempa
yang Terlupakan
Lina Handayani, Peneliti
pada Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI
SUMBER : KOMPAS, 18 April 2012
Pada sore tanggal 11 April 2012, kita kembali
dikejutkan oleh gempa bumi berkekuatan besar (magnitudo M8.2 dan M8.6). Selain
itu, kita pun dikejutkan oleh gempa yang sumbernya berada di luar zona
tumbukan.
Selama ini, terutama sejak gempa
raksasa Aceh 2004, kita disibukkan oleh gempa-gempa yang berasal dari tumbukan
antarlempeng dan pada patahan. Semua gempa tersebut digolongkan sebagai
interplate earthquake di mana di dalamnya termasuk patahan yang merupakan respons
benturan antarlempeng.
Di sisi lain, banyak pula gempa yang terjadi
di bagian dalam lempeng, bukan di tepian lempeng. Gempa-gempa seperti ini
dikatagorikan sebagai intraplate earthquake yang banyak dijumpai di Australia,
Amerika, maupun China di mana lempeng kontinental tersebut relatif stabil.
Tahun lalu setidaknya terdapat dua gempa
intraplate ini yang kejadiannya cukup mengejutkan karena lokasi sumber gempa
yang tak pernah diduga sebelumnya.
Kejadian pertama adalah gempa Virginia pada
23 Agustus 2011 dengan magnitudo M5.8 yang cukup membuat gempar karena
lokasinya yang sangat dekat dengan ibu kota negara Amerika Serikat. Pada hari
yang sama terjadi juga gempa di
Singkawang-Bengkayang, Kalimantan (M4.4),
daerah yang selama ini dianggap aman dari gempa.
Gempa pada 11 April lalu terjadi di bagian
tengah Lempeng Hindia-Australia (atau Indo-Australia), yaitu pada zona gempa
yang memanjang barat-timur. Distribusi gempa tersebut sangat menyebar/melebar
(diffuse), tidak sempit laiknya zona interaksi antarlempeng lainnya, seperti
zona tunjaman Sumatera. Zona ini disebut sebagai Indian ocean diffuse plate
boundary zone
(Stein dkk, 1990: Kinematic and mechanics of the Indian ocean diffuse plate
boundary zone).
Lempeng Tak Tunggal?
Ilmuwan umumnya menganggap Lempeng
Hindia-Australia merupakan satu lempeng utuh yang rigid (kaku). Namun, ada
sebagian yang berpendapat bahwa lempeng tersebut terdiri atas dua bagian,
dipisahkan oleh zona pembatas yang melebar (diffuse
boundary zone): Lempeng Hindia di utara dan Lempeng Australia di selatan.
Proses pemisahan ini tidak terlepas dari
sejarah anak Benua India yang dipisahkan dari Benua Afrika sebagai tempat
asalnya ke posisi yang sekarang dalam rentang waktu jutaan tahun. Anak Benua
India yang berada pada lempeng Hindia-Australia pada akhirnya menabrak Lempeng
Eurasia dan membentuk Pegunungan Himalaya.
Tampaknya, ketika anak Benua India mulai
”tersendat” akibat gerakannya dihadang Lempeng Eurasia, Lempeng
Hindia-Australia yang terus-menerus bergerak ke arah utara terpaksa mulai
menata dirinya kembali guna mencapai kesetimbangan baru. Sangat boleh jadi,
akibat heterogenitas dasar Samudra Hindia, bagian tengah lantai samudra juga
mengalami deformasi yang cukup kuat. Deformasi kerak samudra dimanifestasikan
dalam bentuk gempa bumi yang distribusinya menyebar dan kemudian disebut
sebagai diffuse boundary zone.
Di bagian barat tampaknya pergerakan lempeng
lebih mulus dibandingkan bagian timur. Karena itu, kita mendapatkan struktur
bukaan di bagian barat yang ditunjukkan oleh mekanisme gempa sesar normal/turun
dan adanya struktur kompresi yang dimanifestasikan oleh gempa bumi dengan
mekanisme sesar naik di bagian timur.
Hal paling penting dari fenomena ini adalah
di bagian timur rezim kompresi diakomodasi oleh patahan-patahan atau zona rekahan
yang berarah hampir utara-selatan, di antaranya adalah Ninety East Ridge.
Bagian ini dekat dengan wilayah Indonesia,
khususnya Sumatera. Dua gempa yang terjadi pada Rabu, 11 April 2012, adalah
dengan mekanisme gerakan horizontal koheren dengan deformasi kerak bumi yang
terjadi di Lempeng Hindia.
Patut Diwaspadai
Jumlah gempa yang terjadi di zona pembatas
yang melebar itu tidaklah sebanyak yang terjadi di zona tumbukan antarlempeng,
seperti zona tumbukan Sumatera. Umumnya gempa yang pernah terjadi menunjukkan
gerakan horizontal. Beberapa di antaranya disertai gerakan vertikal meski
relatif kecil.
Secara teoretis, gempa tipe demikian tidak
menimbulkan tsunami besar sebagaimana yang terjadi pada 11 April lalu. Namun,
mengingat magnitudo bisa di atas M8 dan menimbulkan guncangan (ground shaking) yang sangat kuat,
masyarakat wilayah barat Sumatera—terutama kepulauan terluarnya—harus terus
meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi segala kemungkinan.
Bagi para ilmuwan, pola gempa-gempa dalam
zona pembatas yang melebar ini perlu dipelajari lebih lanjut. Beberapa gempa
menunjukkan mekanisme sesar naik dengan arah patahan cenderung barat-timur.
Jenis sesar ini paling banyak menimbulkan tsunami besar.
Meski arah patahan barat-timur dan tidak
menghadap ke wilayah Sumatera, kita tetap perlu mempelajari penjalaran
gelombang tsunami yang ditimbulkan akibat gempa semacam ini. Tentu sulit bagi
kita untuk melakukan studi detail di perairan tersebut mengingat letaknya cukup
dalam dan sudah tentu membutuhkan teknologi geofisika kelautan yang pasti
sangat mahal.
Oleh sebab itu, barangkali kita dapat mulai
dengan melacak balik hasil ekspedisi kelautan yang pernah dilakukan. Beberapa
ekspedisi geologi/geofisika terakhir, di mana beberapa peneliti Indonesia
terlibat, banyak yang menyentuh pinggiran timur zona pembatas yang melebar (diffuse boundary zone) ini. Dalam kaitan
ini kita perlu mencermati struktur-struktur geologi yang berarah utara-selatan
tersebut.
Catatan Penutup
Wilayah Sumatera tidak hanya menghadapi
gempa-gempa megathrust yang merupakan hasil tumbukan antarlempeng maupun yang
berasal dari patahan Sumatera, tetapi juga gempa-gempa yang berasal dari
diffuse boundary zone yang berada jauh di luar zona tumbukan.
Pemahaman lebih mendalam melalui riset di
wilayah ini jelas sangat diperlukan. Meski demikian, perlu diingat bahwa dari
seluruh wilayah kita pada dasarnya baru Sumatera yang kita kenali dengan baik,
kemudian Jawa meski masih sedikit.
Selebihnya kita praktis belum mengetahui
dengan baik sejarah maupun karakter kegempaannya. Ini tantangan berat bagi kita
semua, terutama para ilmuwan, dan tentu saja pemerintah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar