Wamen, ‘Anak
Haram’ Konstitusi
Feri Amsari, Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat
Studi Konstitusi
Fakultas Hukum Universitas Andalas
SUMBER : KORAN TEMPO, 17 April 2012
Wakil menteri (wamen) dianggap sebagai
"anak haram" konstitusi. Keberadaannya dalam sistem ketatanegaraan
tidak diakui karena tak satu pun pasal Undang-Undang Dasar 1945 mengatur soal
wamen. Ketiadaan aturan memancing beberapa kalangan mempermasalahkan
konstitusionalitas jabatan tersebut, terutama kalangan-kalangan
"hitam" yang gelisah akibat sepak terjang para wamen. Kuat dugaan
kegelisahan pihak-pihak tersebut bermetamorfosis menjadi serangan dengan motif
jahat. Serangan tersebut terfokus kepada Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Wamenkumham) Denny Indrayana yang dianggap mengusik kenikmatan hidup
para mafia hukum.
Para mafia hukum itu gelisah ketika ide
pengetatan remisi (pengurangan masa hukuman) bagi terpidana korupsi menjadi
fokus kerja Wamenkumham. Apalagi "serangan" malam hari yang dilakukan
Wamenkumham dan jajarannya begitu efektif membongkar pusat bisnis kartel
narkoba di lembaga pemasyarakatan. Akibat serangan Wamenkumham tersebut, kubu
koruptor dan bandit narkoba yang memiliki jejaring dengan para politikus hitam
menjadi meradang.
Dengan kekuatan uang, kubu koruptor dan
bandit narkoba menggunakan aneka cara untuk melumpuhkan gerak Wamenkumham.
Kuasa uang itu pula yang menyebabkan jejaring para bandit mendominasi
pemberitaan di media massa, yang menciptakan isu sempurna bahwa Wamenkumham
sesat langkah. Ketika isu itu menguat, para pembenci akan memanfaatkannya untuk
menciptakan gelombang serangan balik kepada Wamenkumham.
Serangan utama kepada Wamenkumham dilakukan
melalui jalur hukum berupa pengujian konstitusionalitas jabatan wamen ke
Mahkamah Konstitusi. Jika MK memutuskan jabatan wamen bertentangan dengan
konstitusi, "tamparan" keras akan mengenai wajah penegak hukum dan
keadilan. Kondisi itu akan membuat para mafia hukum "terbahak"
gembira.
Sebelum gelak tawa para mafia semakin
bergema, ada baiknya MK mempertimbangkan aspek kemanfaatan jabatan wamen secara
mendalam. MK pasti memahami bahwa konstitusionalitas suatu lembaga negara tidak
selalu eksplisit diatur dalam UUD 1945. Misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi,
Otoritas Jasa Keuangan, dan Staf Khusus Presiden juga tidak diatur dalam UUD
1945 tapi konstitusionalitasnya diakui. Konstitusionalitas sebuah lembaga
negara bisa pula ditelisik melalui aspek kemanfaatannya bagi publik.
Kemanfaatan Wamen
Permasalahan jabatan wamen muncul ketika
lahir "pasal dari langit" dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara (UUKN). Padahal, dalam Pasal 17 UUD 1945, ditentukan bahwa
presiden hanya dibantu oleh para menteri. Tak pernah ada frasa "wakil
menteri" dalam konstitusi.
Lebih lanjut, jika disimak bunyi ketentuan
Pasal 10 UUKN, jabatan wamen memang terkait dengan cara pandang pribadi
presiden dalam melihat permasalahan. Presiden dengan mempertimbangkan beban
kerja kementerian yang membutuhkan penanganan khusus dapat mengangkat wamen.
Dengan demikian, menteri dan wamen merupakan jabatan yang berasal dari penggunaan
hak prerogatif seorang presiden. Meskipun sama-sama dipilih presiden, dua
jabatan tersebut, menteri dan wamen, tidak akan menimbulkan dua tongkat komando
di kementerian. Pasal 70C Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara telah menghilangkan efek
"dua matahari" dengan menentukan bahwa wakil menteri bertanggung
jawab kepada menteri.
Sebagai pembantu menteri, jabatan wamen
memang diformat melengkapi kekurangan para menteri. Jamak dipahami, jabatan menteri
merupakan jabatan politik. Nuansa bagi-bagi kursi kabinet kepada partai koalisi
amat kental terasa dalam pengisian jabatan menteri. Agar profesionalitas kerja
di kementerian tidak ternoda kepentingan politik semata, UUKN mengatur wamen
haruslah seorang pejabat karier. Konsekuensi pejabat karier tersebut
menyebabkan wamen tidak termasuk jajaran kabinet.
Wamen yang berasal dari jalur non-kabinet
akan menciptakan kesinambungan kinerja kementerian. Jabatan wamen tidak akan
pernah terpengaruh gejolak politik yang mengiringi perolehan jabatan di
kabinet. Jikapun terjadi pergantian para menteri melalui kocok ulang (reshuffle)
kabinet, kementerian dapat terus berjalan di bawah kendali wamen. Hal itu
menunjukkan jabatan wamen dikelola dengan sistem khusus yang mampu menciptakan
profesionalitas di kementerian dalam melayani kepentingan publik. Maka
kehadiran wamen merupakan upaya presiden melindungi kepentingan rakyat tanpa
mengabaikan realitas kepentingan politik. Bagi-bagi kursi kabinet penting
secara politik, tapi pemenuhan harapan publik jauh lebih penting: "sekali
kayuh dua tiga pulau terlampaui".
Kinerja Denny Indrayana memperlihatkan
keberhasilan "kayuh" dalam melewati "dua tiga pulau"
tersebut. Saat ini reformasi yang dilakukan Denny di lingkungan Kementerian
Hukum dan HAM telah menyebabkan kegelisahan luar biasa para mafia hukum.
Kegelisahan para mafia hukum itu menunjukkan kinerja Denny sebagai wamen sangat
bermanfaat. Tentu saja perbuatan baik itu akan mendapatkan tantangan dari para
mafia yang memberhalakan kinerja koruptif di kalangan internal dan eksternal
kementerian.
Mahkamah Konstitusi
Melihat kemanfaatan jabatan wamen, maka
permohonan uji materi di MK patut diduga memiliki kepentingan terselubung.
Membaca kepentingan di balik upaya judicial review tersebut ke MK, maka
lembaga "bertiang sembilan" itu harus berhati-hati. Jangan sampai MK
dimanfaatkan menjadi mesin penyelamat kepentingan bisnis para bandit koruptor
dan kartel narkoba di Tanah Air. Apabila MK luput memperhatikan kepentingan kotor
di balik permohonan itu, putusan MK tidak hanya akan "menampar"
jabatan wamen, tapi juga membunuh semangat antikorupsi dan antinarkoba di
republik ini.
Namun, jika menyimak putusan MK selama ini,
publik tentu boleh berharap kepada institusi penjaga UUD 1945 tersebut.
Sembilan hakim MK akan sulit dipengaruhi oleh dominasi uang para koruptor dan
bandit narkoba. MK pasti akan memperhatikan asas kemanfaatan, keadilan, dan
kepastian hukum yang hidup di masyarakat. Bukankah keadilan hukum tak selalu
harus menyembah norma perundang-undangan, tapi lebih mengedepankan rasa
keadilan yang tumbuh di masyarakat.
Kinerja wamen dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia jelas telah berhasil menumbuhkan semangat keadilan di masyarakat yang
telah lama redup. Atas nama keadilan itu pula, kita patut berharap MK tidak
"mengharamkan" secara konstitusional jabatan wakil menteri. Namun
semuanya tentu bergantung pada ketukan palu Tuan dan Nyonya Hakim Konstitusi
yang Terhormat. Rakyat hanya bisa memohonkan terciptanya keadilan, ex aquo
et bono! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar