Transformasi Timur Tengah
Hery Sucipto, Direktur Pusat Studi Timur Tengah dan Dunia
Islam
Universitas Muhammadiyah Jakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 05 April 2012
Fenomena
Arab Spring, sebutan bagi proses revolusi di kawasan Timur Tengah dan Afrika
Utara, telah memberikan banyak pelajaran, terutama soal nilai-nilai demokrasi
sebagai tatanan modern dan instrumen menyejahterakan rakyat.
Euforia
demokrasi ini tentu menjadi hal positif. Meminjam terma Huntington (1991),
fenomena semacam ini dapat disebut “gelombang
ketiga demokratisasi” atau “revolusi
demokrasi”.
Sebagai
sebuah sistem, demokrasi sejauh ini masih dinilai sebagai model tatanan paling
ideal di era modern. Ten tu tidak mudah menjalankan sistem demokratis di tengah
perkembangan global saat ini. Apalagi, di negara di mana pro ses transisi
tengah berlangsung, yang sebelumnya pemerintahan dijalankan de ngan sistem
otoriter yang meniadakan partisipasi rakyat.
Tantangan Nyata
Banyak faktor yang dapat menghambat dan
menjadi tantangan serius bagi upaya transformasi demokrasi di Timur Tengah dan
dunia Arab usai Arab Spring. Pertama, menyangkut mentalitas. Kekuasaan yang
sebelumnya dijalankan secara korup dan otoriter adalah persoalan nafsu kuasa
untuk menumpuk kenikmatan dan kekayaan. Dan, menelantarkan dan memiskinkan
rakyat. Lingkaran segelintir orang, yakni kroni penguasa dan partai
pendukungnya adalah pendukung utama dari rezim antidemokrasi tersebut.
Rezim Husni Mubarak di Mesir, Zein Abidin
di Tunisia, Qadafi di Libya, dan
Ali Abdullah Saleh di Yaman terjungkal karena
nafsu kuasa tersebut. Meski telah tumbang, kini para kroni korup itu masih
berkuasa, khususnya di Mesir melalui Dewan Agung Militer. Dan Yaman, dengan
sosok presiden terpilih, Abdo Rabo (yang
sebelumnya wapres Abdullah Saleh). Tak heran di kedua negara itu proses
transisi dan transformasi demokrasi berlangsung sangat alot dan tertatih-tatih.
Kedua,
belum adanya modal sosial yang memadai. Pemikir Barat, Robert Putnam (1993),
mengatakan, “Building social capital will
not be easy, but it is the key to making democracy work (Tak ada demokratisasi tanpa modal sosial
meskipun untuk membangunnya bukan perkara yang mudah).” Masyarakat yang
memiliki modal sosial disebut Putnam sebagai civic community yang mempunyai ciri-ciri: setiap anggota masyarakat
secara aktif melibatkan diri dalam urusan publik, mengutamakan persamaan (dalam
keberagaman), dan ada hak serta kewajiban yang sama bagi semua. Sifat-sifat
yang menonjol adalah solidaritas, kepercayaan, dan toleransi.
Di
negara-negara Timur Tengah dan dunia Arab, modal sosial ini tidak dijumpai
bahkan sekalipun di negara yang ba ru saja menata transisi menuju demokrasi
seperti Mesir, Libya, Tunisia, dan Yaman. Secara umum, di keempat negara
tersebut—juga di belahan lain di kawasan tersebut—ancaman konflik antaretnis,
suku, dan agama sangat nyata.
Di
Mesir bahkan beberapa kali kerusuhan antaragama (Muslim-Kristen Koptik), di
Libya perseteruan antara suku yang satu dengan suku lain (banyak kabilah),
demikian halnya di Yaman, yang banyak terdapat kelompok ekstrem. Jadi, toleransi,
kebersamaan, dan kesadaran partisipasi serta persatuan yang menjadi nilai dasar
dalam modal sosial itu, sadar atau tidak, justru diberangus oleh warga di
negara itu sendiri.
Karena
itu, tidak ada jalan lain kecuali para elite, pemerintah berkuasa, serta
masyarakat luas menyadari bahwa untuk menegakkan demokrasi bagi kemakmuran
bersama, kedua hal serius di atas harus segera diatasi. Untuk itu, diperlukan
kebersamaan seluruh komponen bangsa agar cita-cita negara demokratis dapat
terwujud.
Peran Indonesia
Di
sisi lain, pengalaman dan keberhasilan Indonesia melewati transisi demokrasi
pascajatuhnya rezim Orde Baru, dapat menjadi pelajaran penting. Semangat
menimba pengalaman dari Indonesia itu misalnya tampak dari beberapa komponen
masyarakat Mesir, termasuk pihak Mahkamah Konstitusi negeri Fir'aun itu, yang
datang ke Tanah Air beberapa waktu lalu untuk bertukar pikiran mencari
formulasi terbaik bagi transisi demokrasi di negaranya. Begitupun para tokoh
Indonesia yang telah diundang ke Mesir untuk tujuan serupa.
Sementara
itu, juga terdapat modal berharga lainnya, yakni secara historis ikatan
emosional yang cukup kuat antara Indonesia dan dunia Arab. Palestina bahkan
sudah memberi dukungan sebelum proklamasi, yakni pada 7 September 1944, saat PM
Jepang, Kuniaki Koiso, mengucapkan janji historisnya memberi kemerdekaan RI.
Lalu, Mesir menjadi negara pertama pascaproklamasi yang mengakui kemerdekaan,
yakni pada 23 Maret 1946, disusul negara-negara Liga Arab, seperti Irak, Yaman,
Saudi, Yordania, Suriah, dan Lebanon (Latif: Negara Paripurna, 2011).
Sikap
proaktif Indonesia berbagi pengalaman itu sekaligus membuktikan sejauh mana
keseriusan dan efektivitas kita menjalankan prinsip politik luar negeri bebas
aktif dan konstitusi kita, yakni ikut menyejahterakan bangsa lain melalui
penegakan perangkat demokrasi. Walhasil, Indonesia harus mempunyai strategi
jelas dalam ikut mewarnai proses transisi demokrasi yang tengah berlangsung di
Timur Tengah tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar