Cacat Bawaan Demokrasi
Mohammad Nasih, Pengajar Program Pascasarjana Ilmu Politik
UI
SUMBER : REPUBLIKA, 05 April 2012
Jumlah
negara yang memilih untuk menggunakan sistem demokrasi semakin meningkat.
Huntington pernah menggambarkan kecenderungan banyak negara untuk menggunakan
demokrasi sebagai `gelombang ketiga'
demokratisasi. Dalam masa setelah gambaran Huntington tersebut, terjadi lagi
gelombang baru demokratisasi karena beberapa negara yang sebelumnya di bawah
kendali rezim otoriter berubah menjadi demokratis. Bahkan, negara-negara yang
oleh Huntington disebut sulit untuk menjadi demokratis, seperti negara-negara
di Timur Tengah dimulai oleh Tunisia dan kemudian Mesir.
Pemerintahan
demokratis dianggap sebagai pilihan paling realistik, karena pemerintahan pada
dasarnya diciptakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat. Tentu saja yang
paling mengetahui kebutuhan mereka tentu saja adalah mereka sendiri. Karena
itu, merekalah yang harus menentukan siapa penyelenggara negara yang mereka
pandang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka itu.
Demokrasi
menyediakan mekanisme untuk itu melalui pemilu yang diselenggarakan secara
periodik dan berkala. Dalam idealitas mekanisme demokrasi itu, penyelenggara
negara yang mampu menjalankan amanat rakyat dengan baik akan bertahan, karena
kalau mencalonkan diri akan dipilih kembali oleh rakyat. Sedangkan mereka yang
tidak mampu akan `dihukum' oleh
pemilih dengan tidak memilih kembali.
Namun,
demokrasi bukanlah sistem yang sempurna. Bahkan, tidak sedikit ilmuwan politik
yang menyebut sistem politik demokrasi digunakan bukan karena ia adalah sistem
politik terbaik, melainkan karena sistem tersebut adalah sistem yang buruk,
tetapi yang lain lebih buruk. Sisi buruk dalam demokrasi itu selalu ada dan
karena itu sering disebut sebagai cacat bawaan, yakni berupa berkuasanya
orang-orang yang hanya memiliki akseptabilitas tinggi tetapi tidak memiliki
kapasitas dan kapabilitas memadai.
Terutama
dalam sebuah negara yang sangat besar, warga negara yang memiliki hak pilih hampir
bisa dipastikan didominasi oleh mereka, yang sesungguhnya tidak memiliki
pemahaman yang baik mengenai siapa saja yang dinominasikan menjadi calon
pejabat oleh partai-partai dalam pemilu. Tidak sedikit juga yang memilih
calon-calon tertentu berdasarkan sentimen atau emosi tertentu, baik yang
bersifat jangka panjang maupun jangka pendek.
Rasionalitas
pemilih menjadi sangat rendah karena yang dikemukakan adalah emosi. Dengan
demikian, peluang me reka yang memiliki keahlian dalam meraih simpati publik,
walaupun tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas yang cukup, berpeluang untuk
menang dalam pemilu.
Sebaliknya,
seseorang yang sesungguhnya memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik,
tetapi kurang memiliki kecerdasan emosional yang baik ketika berhadapan dengan
publik pemilih, peluang terpilihnya menjadi kecil. Itulah sebab, sejak zaman
Yunani, para filsuf di sana, di antaranya Plato dan Aristoteles, menolak
demokrasi.
Bagi
mereka, sistem demokrasi hanya akan melahirkan penyelenggara negara dengan
kualitas medioker, yakni mereka yang sesungguhnya tidak memiliki prestasi
menonjol, tetapi pandai mengambil hati pemilih. Padahal, tugas penyelenggara
negara adalah membuat kebijakankebijakan politik yang berkualitas baik. Jika
kebijakan-kebijakan politik itu di buat oleh mereka yang tidak memiliki wa
wasan yang komprehensif, kualitas kebijakan-kebijakan tersebut sangat po
tensial menjadi kebijakan-kebijakan politik yang tidak berkualitas, bahkan bisa
merugikan cita-cita negara.
Cacat
bawaan tersebut terjadi karena penentunya adalah mayoritas. Jika kekuasaan
didominasi oleh yang medioker itu, tentu saja merekalah yang akan me nentukan.
Padahal, benar-salah sesungguhnya tidak berkaitan dengan mayoritas dan
minoritas. Bahkan, sering kali yang bisa menangkap substansi kebenaran adalah
orang-orang dengan jum lah minoritas, yakni mereka yang memiliki ilmu dan
pengetahuan tinggi.
Dengan
ilmu pengetahuan itu, mereka dapat melakukan penilaian secara relatif lebih
objektif dan memiliki orientasi jangka panjang. Kebijakan-kebijakan politik
tidak hanya diorientasikan untuk kepentingan jangka pendek, tetapi juga
kepentingan jangka panjang. Untuk bisa memproduksi peraturan perundang-undangan
dengan perspektif futuristik, diperlukan orangorang yang memiliki wawasan dan
pandangan dunia yang luas. Cakrawala itu diperlukan untuk mengoneksikan antara
realitas-realitas yang ada dan implikasiimplikasi yang mungkin akan muncul di
masa-masa selanjutnya.
Cara Menyembuhkan
Dalam
konteks tersebut, diperlukan sebuah institusi yang berisi orang-orang yang
memiliki kapasitas terbaik untuk menjaga keselarasan antara peraturan
perundang-undangan dan konstitusi negara. Di beberapa negara, dibangun
institusi bernama Mahkamah Konstitusi (MK) yang bertugas untuk melakukan uji
peraturan perundang-undangan, yang dihasilkan oleh para pembuat undang-undang
terhadap konstitusi negara.
Di
MK, tidak berlaku lagi logika mayoritas dan minoritas. Undang-undang yang telah
disetujui karena didukung oleh mayoritas anggota DPR pun bisa di-judicial review oleh MK, jika di
dalamnya terdapat ketidaksesuaian atau pertentangan dengan konstitusi negara.
Dengan kata lain, nilai benar dan salah di MK bukan lagi berdasarkan pada
kekuatan numerik, melainkan berdasarkan kepada konstitusionalitas. Jika
terdapat satu saja warga negara yang tidak setuju dengan sebuah undang-undang,
karena dianggap tidak sesuai dengan konstitusi, yang bersangkutan bisa
mengajukannya ke MK untuk melakukan review.
Untuk
menjaga agar benar-benar mampu menjaga keselarasan peraturan perundang-undangan
dengan konstitusi negara, MK harus diisi oleh orang-orang yang memang memiliki
kapasitas, kapabilitas, dan integritas tinggi untuk menegakkan konstitusi
negara. Harus selalu dipastikan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk membangun
negara dengan prinsip-prinsip nomokrasi.
Kualitas
mereka sering diidealisasikan sebagai “di
bawah Tuhan, di atas malaikat“. Harus demikian karena keputusan institusi
MK bersifat final dan mengikat. Dengan demikian, diharapkan keputusan-keputusan
MK adalah keputusan yang benar-benar objektif dalam rangka membuat seluruh
peraturan perundang-undangan yang dihasilkan selaras dengan konstitusi negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar