Menakar
Urgensi RUU KKG
Saharuddin Daming, Komisioner Komnas HAM
SUMBER
: REPUBLIKA, 24 April 2012
Mencermati
kontroversi keberadaan RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) yang
kini sedang dalam pembahasan di DPR, tersingkap secara kasat mata fenomena
fobia gender yang cenderung menempatkan perempuan sebagai korban penindasan,
marginalisasi, dan diskriminasi. Tak ayal lagi tren konfigurasi pemahaman KKG
di Indonesia identik dengan pandangan feminisme, yang terbangun dari trauma
patriarki di masa prademokrasi.
Ketika
itu, kaum perempuan diposisikan sebagai inferior dan subordinasi dari kaum pria
dalam interaksi sosial ataupun domestik. Akibatnya, sejumlah kalangan menangkap
kesan dari gagasan RUU tentang KKG belakangan ini mengemban misi sebagai agen
gerakan feminisme global.
Indikasi
ini terpotret dari substansi dasar RUU tersebut berkohesi positif dengan
paradigma gerakan feminisme yang selalu mengusung isu KKG. Agenda setting yang
dipromosikan oleh gerakan feminisme adalah pemaknaan emansipasi perempuan.
Persepsi ini cukup rentan eksploitasi dan pandangan liberalitas perempuan yang
cenderung kebablasan.
Namun
anehnya, karena persepsi seperti itulah yang justru diekspresikan oleh sebagian
besar aktivis KKG selama ini. Walau tidak dapat disangkal, fakta sejarah
tentang budaya patriarki yang pernah mewarnai peradaban dari masa ke masa, kaum
perempuan masih kerap mengalami perampasan hak asasi secara meluas dan
sistematis oleh negara yang dikontrol dominasi kaum pria. Namun, seiring dengan
dinamika perjalanan waktu, keadaan tersebut telah berubah.
Rawan Ketimpangan
Kekhawatiran
sekelompok orang tentang potensi ancaman patriarki terhadap inferiorisasi kaum
perempuan di Indonesia, sebenarnya merupakan paranoia yang dibungkus postulat
emansipasi sebagai alibi untuk melegalkan konsep KKG. Be tapa tidak karena
ketika bangsa ini memilih jalan demokrasi dalam penataan kehidupan berbangsa,
bernegara, dan ber masyarakat, kaum perempuan Indonesia justru memperoleh
perlindungan lebih intensif dari pria. Ironisnya, karena sampai hari ini
perempuan masih dikategorikan kelompok rentan sehingga perlu affirmative action.
Jika
eksistensi dimaksudkan untuk melegitimasi prinsip kesetaraan dan keadilan bagi
perempuan, RUU tersebut penulis nilai mubazir dan tidak urgen karena tanpa UU
seperti itu, perempuan Indonesia telah menikmati kesetaraan dan keadilan.
Bukankah perempuan Indonesia di kekinian leluasa berkarier di segala bidang,
lalu apakah urgensi RUU KKG jika tidak untuk memorak-porandakan sistem nilai
dan norma kita?
Apabila
gagasan KKG diformalkan, tak pelak akan menimbulkan implikasi ketimpangan yang
sangat luas dan serius dalam sistem nilai dan sistem norma kita. Sasaran tembak
pertama dan utama KKG adalah sistem pranata hukum khu susnya hukum keluarga, hukum
wa ris, dan hukum perkawinan. Jika sistem pranata hukum tersebut tersusun dari
nilai religius, semuanya perlahan-lahan akan digusur dan terdekonstruksi secara
fundamental dengan meng akomodasi nilai-nilai liberal dan individual yang bermuara
pada prinsip emansipasi sebagai ornamen penting gerakan feminisme global.
Celakanya,
karena dalam struktur negara, persepsi tersebut juga merambah di benak para
pejabat ataupun istri pejabat. Tak kurang Menteri Negara urusan Pemberdayaan
Perempuan pun lantang mencanangkannya sebagai pekik perjuangan resmi kaum
perempuan Indonesia. Padahal, jika dikaji dalam perspektif sosiofilosifis,
makna emansipasi perempuan sebenarnya bukan demi memperoleh persamaan hak
dengan kaum pria. Sebab, apabila hak perempuan benar-benar persis disamakan dengan
hak pria, justru sangat merugikan perempuan sendiri.
Sebaliknya,
hak kaum pria, secara kodrati, juga tidak mungkin disamakan dengan perempuan.
Sebab, secara faktual aksiomatik, kondisi masing-masing jenis kelamin dengan
latar belakang biologis kodrati yang tidak sama. Sehingga hak dan kewajibannya
pun tidak harus sama walau ada yang sama.
Sungguh
hal yang cukup naif kalau bukan kekeliruan jika KKG berjuang untuk memperoleh
hak yang sama dengan hak pria. Karena latar-belakang kodrati yang berbeda, di
dunia tenaga kerja di Indonesia masa kini, kaum perempuan justru memiliki
kelebihan hak ketimbang pria, yakni cuti menstruasi, hamil, sekaligus melahirkan.
Secara
kultural, jika hak perempuan disamakan dengan pria, juga merugikan perempuan!
Karena dengan persamaan hak, kaum perempuan, terutama yang sedang hamil, akan
kehilangan hak kultural untuk dilindungi, dan prioritas kemudahan di saat-saat
khusus. Dengan demikian, makna emansipasi perempuan yang benar, adalah
perjuangan kaum perempuan demi memperoleh hak me milih dan menentukan nasib
sendiri.
Sampai kini,
mayoritas perempuan Indonesia, terutama di daerah pedesaan dan sektor informal,
belum sadar atas hak-haknya, apalagi memiliki, hak memilih dan menentukan nasib
mereka sendiri, karena secara normatif terbelenggu persepsi etika, moral, dan
hukum genderisme lingkungan sosiokultural serbakeliru. Belenggu budaya
anakronistis itulah yang harus didobrak KKG, dan bukan mengekspresikan konsep
feminisme yang cenderung melabrak tata nilai kemuliaan perempuan dalam khazanah
keindonesiaan yang bertumpu pada akar kultural dan religius. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar