Karena Tuhan di Garis Finis
Jannus TH Siahaan, Peminat Masalah-Masalah Sosial Keagamaan,
Tinggal di Bogor, Jawa Barat
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 05 April 2012
“Tuhan tidak tengah menunggu di kota tujuan, tetapi
keberadaanNya menemani perjalanan alam semesta. Karena yang kita cinta ialah
Tuhan, sejak pertama hingga akhir kehidupan ini, perjalanan ini akan kita
penuhi dengan cinta."
SETELAH
KH Abdurrahman Wahid menjadi presiden, agama yang hak-hak sipil penganutnya
diakui negara bertambah dengan bergabungnya Konghucu. Ia melengkapi jumlah
agama yang sudah lebih awal diakui seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan
Buddha. Namun, sebenarnya masih terdapat begitu banyak agama `lokal', yang jumlah penganutnya berkisar
di angka ratusan. Sebut misalnya Tolotang, Kaharingan, dan Waktu Telu. Masih
ada nama-nama lain yang akan terlalu panjang daftarnya kalau disebutkan di
tulisan pendek ini.
Inilah
jalan-jalan yang jamak ditempuh umat manusia semesta dan Indonesia untuk
mencapai tujuan hidup mereka. Dalam kenyataan, sebagian penempuh pada setiap
jalan agama memiliki pendekatan yang berbeda. Perbedaan pendekatan itu bahkan terjadi di internal setiap agama.
Untuk
memudahkan kategorisasi, menjadi keniscayaan jika lantas muncul ikhtiar
mendekati agama dengan beragam alternatif seperti pendekatan in the wall, at the wall, dan beyond the wall dalam pendidikan
keagamaan.
Sudah
barang pasti itu hanya masalah metodologi. Masih banyak lagi beragam metodologi
lain yang tersaji di hadapan kita. Tujuannya nyaris sama; menawarkan alternatif
kepada segenap penempuh dan pemeluk jalan agama mencapai tujuan akhir.
Hanya kini muncul pertanyaan kenapa begitu banyak alternatif dari begitu banyak agama? Sejatinya, munculnya perbedaan pendekatan sangat memperkaya khazanah kehidupan keberagamaan di negeri ini. Perbedaan menjadi persoalan karena sering kali berbeda dikategorikan tindakan melanggar dan karena itu, divonis keluar dari konsensus.
Hanya kini muncul pertanyaan kenapa begitu banyak alternatif dari begitu banyak agama? Sejatinya, munculnya perbedaan pendekatan sangat memperkaya khazanah kehidupan keberagamaan di negeri ini. Perbedaan menjadi persoalan karena sering kali berbeda dikategorikan tindakan melanggar dan karena itu, divonis keluar dari konsensus.
Namun,
konsensus siapa? Tak ada yang benar-benar dianggap sebagai konsensus bersama
kalau berkaitan dengan masalah-masalah `cabang'
yang partikular harfiah dan bukan perkara-perkara `pokok' yang noneklektik menyeluruh. Terlebih, perbedaan pendekatan
berakibat pada munculnya perbedaan keyakinan sehingga hal-hal yang cabang
justru menjadi alat perpecahan antarumat beragama dan ironisnya juga di
internal umat dalam satu agama. Dalam konteks itulah, nama Tuhan dibawa-bawa
sebagai alasan dan setiap komunitas penempuh jalan agama merasa paling otoritatif
mengatasnamakan Tuhan.
Itu
semua berawal dari terjadinya perbedaan penafsiran atas teks suatu norma
keagamaan. Namun, harus jujur diakui, semua terjadi akibat, terutama, masih
begitu banyak di antara kita yang menempatkan Tuhan di garis finis. Seakan-akan
Tuhan tengah berdiri di seberang sana lalu semua peserta tiap agama berembuk
menentukan jalan paling aman dan paling cepat sampai ke garis finis. Begitulah
situasi yang terjadi di garis start. Padahal, perjalanan masih panjang dan
diyakini situasi sepanjang perjalanan menuju Tuhan akan banyak yang berada di
luar prediksi.
Sebanyak
apa? Sebanyak jumlah kepala para pemeluk dan penempuh tiap agama. Persoalan
semakin rumit karena dalam situasi semacam itu, masih muncul keinginan
sekelompok orang yang memaksakan penyatuan pandangan, pendapat, pendekatan,
metodologi, dan keyakinan. Kalau semata menegaskan identitas diri, tentu
tidaklah mengapa. Namun, memaksakan orang lain mengenakan identitas yang bukan
identitas senyatanya dan sejatinya akan menjadi masalah.
Sangat
boleh jadi, di tengah perjalanan akan terjadi gesekan. Dalam konteks besar,
kerap jalan agama menjadi altar pembantaian. Terhadap siapa? Tidak semata
terjadi oleh penempuh sebuah jalan agama terhadap yang agama yang berbeda,
tetapi tidak jarang justru terjadi antara penganut satu mazhab dan mahzab lain,
antara pemeluk satu sekte dan anggota sekte lain dalam sebuah agama.
Situasi
itu sangat mungkin terjadi jika tiap penempuh jalan memaksakan keyakinan
masing-masing kepada orang lain. Di sinilah bisa kita temukan kelompok yang
eksklusif sehingga memandang agama lain tak lebih hanya buatan manusia, kitab
sucinya dianggap tidak asli karena mengalami berbagai penyimpangan sehingga
karenanya dianggap bukan wahyu Tuhan yang harus diikuti.
Keyakinan
eksklusif sejatinya pernah dialami semua agama tanpa kecuali. Namun, itu masa
lalu dan telah menjadi sejarah perkembangan agama-agama dan para penganutnya.
Itulah saat-saat perjalanan menuju Tuhan dipersepsi sebagai sebuah kompetisi
besar sehingga pesertanya harus menghalalkan segala cara untuk mendapatkan `bonus' dan `hadiah' begitu tiba paling awal di garis finis. Perjalanan menuju
Tuhan tidak mungkin ditempuh dengan mengabaikan fairness dan prinsip ketulusan.
Itulah perjalanan kebajikan menuju sumber segala kebajikan.
Tuhan
tidak tengah menunggu siapa yang paling cepat sampai karena Dia akan setia
terus menunggu hingga mereka yang datang paling akhir sekalipun.
Kenapa?
Karena Tuhan tidak berada di garis finis. Tuhan meliputi kita semua, menyertai
sejak garis start hingga ke garis finis. Tuhan akan terus memegang tanggung
jawab atas kehidupan saat ini hingga ke kehidupan yang dijanjikan kelak.
Keberagamaan sejati bukanlah berkompetisi untuk hadiah-hadiah, melainkan itulah
kafilah besar para pecinta menuju yang dicinta; Tuhan Yang Maha Esa dan Maha
Pengasih kepada semua.
Mereka
yang saling mencinta tidak lagi mendasarkan perjalanan mereka pada motivasi
bonus dan hadiah, tetapi pada terjadinya sebuah pertemuan antara yang mencinta
dan yang dicinta. Entah dalam jarak dekat atau jauh, entah dalam waktu cepat
atau lambat. Sesama para pecinta boleh saling mendahului, tetapi pantang saling
sikut, gemar menjatuhkan, suka menyalahkan, apalagi merasa bangga jika bisa
membunuh sesama pecinta. Terlebih tiap pecinta memiliki pendekatan dan rasa
perasaan yang berbeda dalam bercinta.
Karena
Tuhan tidak berada di garis finis, penting bagi kita untuk merenungkan kembali
peta perjalanan keberagamaan kita. Kita harus mengubah sudut pandang sehingga
merasa aman sejak awal mula perjalanan ini kita mulai hingga tiba di `terminal ketuhanan'. Kalau tidak,
apalagi tetap menempatkan Tuhan di garis finis, sejak pertama menginjak garis
start, kita sudah akan dihantui beragam syak wasangka karena tak mampu menafsir
teks agama yang berkesesuaian dengan konteks. Atau akibat pembacaan terhadap
teks agama yang mereduksi peta jalan Tuhan.
Karena
jalan itu diyakini sebuah peta, akan begitu banyak ruas dan jalur jalan
tersedia untuk mengarah ke tujuan. Akan kita temukan beragam teks dan norma
yang menjelaskan banyak hal seperti soal skala jarak, sungai, gunung, ngarai
dan jurang terjal, lahan pertanian, jalan arteri dan jalan tol, landasan
pesawat, atau kota-kota kecil sebelum kita sampai di Kota Tuhan.
Jadi,
kini amat penting diyakini bahwa Tuhan tidak tengah menunggu di kota tujuan,
tetapi keberadaan-Nya menemani perjalanan alam semesta. Karena yang kita cinta
ialah Tuhan, sejak pertama hingga akhir kehidupan ini, perjalanan ini akan kita
penuhi dengan cinta. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar