Ekonomi sebagai Ideologi
Budiarto Danujaya, Dosen
Filsafat Politik FIB-UI
SUMBER : KOMPAS, 05 April 2012
Politik, kata Alain Badiou (2006), berhenti
di seluar pagar institusi. Di sedalamnya komitmen tanpa pamrih warga terhadap
keprihatinan kolektif masyarakatnya menjelma menjadi sekadar strategi kuasa
makro. Jadi, perkara taktis: kalkulasi dan lalu transaksi belaka.
Wacana pelik radikalitas politik disensus ini
menjadi banal lewat contoh peristiwa partisi politik dramatis di seluar versus
sedalam gerbang Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Jumat (30/3) petang.
Tengoklah! Di seluar pagar, para mahasiswa,
buruh, dan pelbagai anasir keprihatinan masyarakat lain bercucur keringat
memekikkan kegalauan masyarakat. Di sedalamnya para anggota Dewan yang mulia
sibuk lobi menyusun eufemisme agar masyarakat merasa aspirasi mereka agar BBM
tidak naik telah cukup diperjuangkan. Sementara itu, rencana bagi-bagi duit
menjelang pemilu, toh, bisa tetap dilaksanakan lantaran, katanya, sudah
telanjur dianggarkan (?).
Tidak jelas apakah mereka cukup naif
menganggap ini sejenis solusi saling menguntungkan (win-win solution). Namun, tak pelak lagi, militansi sebagai
kesetiaan ”ideologis” tidak terperi
terhadap gambaran akan kemaslahatan bersama segera berubah menjadi sekadar
agitasi berapi-api. Disrupsi sebagai hentakan atas kemelencengan dalam politik status quo bertiwikrama menjadi sekadar
sinetron hujan interupsi. Disensus lalu menjadi sekadar pemantas dramaturgis
agar teater konsensus kelihatan lebih afdal belaka.
Politik Subsidi
Kontras tersebut semakin meyakinkan kita akan
ketidakhadiran komitmen ideologis dalam galau usul kenaikan harga BBM selama
ini. Seperti kita simak dalam hujan agitasi dan interupsi sepanjang petang itu,
tak ada debat mengenai raison d’etre pengambilan pilihan. Bahkan, tanpa alasan
meyakinkan, para pihak mudah berganti pilihan demi menguntungkan citra ”keberpihakannya” pada aspirasi di luar
gedung.
Betapapun secara teoretis terdapat diskursus
keras antisubsidi, dalam praktiknya tidak ada satu pun rezim pemerintahan nyata
di dunia dewasa ini yang tidak melakukan subsidi, entah lewat insentif langsung
terhadap produsen, insentif tidak langsung lewat sistem pajak, entah
pembelanjaan lebih tersembunyi. Bahkan, kampiun kapitalisme liberal seperti Amerika
Serikat sekalipun sempat membukukan subsidi langsung belasan miliar dollar AS
per tahunnya hanya untuk subsidi langsung sektor pertanian (Stiglitz: 2000).
Perbedaan kebijakannya hanyalah dalam sektor,
besaran, dan konsentrasi penempatan belaka. Dengan demikian, semestinya kita
menyadari, ketimbang sepenuhnya perkara ekonomi, apalagi sekadar perkara
kalkulasi anggaran belaka, subsidi lebih merupakan perkara pilihan politik.
Jadi, semestinya lebih perkara ideologi ketimbang semata-mata ekonomi.
Tentu saja setiap pilihan kebijakan yang
waras juga harus mengacu pada kondisi ekonomi, tetapi jangan lupa juga situasi
sosiopolitik masyarakat lebih menyeluruh pada satuan ruang-waktu tertentu.
Dalam kerangka ideologis, perkara eksistensial dari segenap masyarakat sejalan
dengan gambaran kolektif kita sebagai bangsa—seperti tersurat pada konstitusi
dan pandangan hidup kita—harus lebih didahulukan ketimbang kalkulasi ekonomi.
Dengan demikian, mungkin lebih tepat lagi, ini merupakan perkara penerjemahan
ideologis dari sebuah politik ekonomi yang kontekstual.
Hanya dalam pancaran ideologis semacam itulah
kita bisa memahami politik ketertutupan dari Revolusi Kebudayaan RRC, yang
sempat diolok masyarakat Barat, justru menyengsarakan rakyatnya. Itulah pilihan
ideologis sementara mereka guna mempersiapkan daya saing pada masa depan,
seperti telah terbukti sekarang.
Begitu pula keputusan sejumlah negara Amerika
Latin mengambil alih kendali perusahaan-perusahaan minyak asing. Bagi mereka,
ini keniscayaan ideologis agar bisa membanderol harga yang lebih terjangkau
masyarakat demi menjaga kesejahteraan minimum masyarakat miskin mereka.
Masalahnya, tidakkah ironis bak ayam mati di lumbung padi kalau rakyat banyak
negeri produsen minyak tidak sanggup membeli minyak?
Ekonomi Sebagai Panglima
Bagi mereka yang terlalu percaya bahwa
subsidi sekadar perkara kalkulasi anggaran dan lalu menilik pencabutan subsidi
sebagai kewajaran konsekuensi kenaikan harga minyak dunia belaka, mungkin perlu
mengunyah kritik Slavoj Zizek lebih saksama. Pemikir terkemuka ini berulang
kali mengingatkan bahwa dewasa ini ”ekonomi
sendiri—logika pasar dan kompetisi—secara progresif telah mendesakkan dirinya
sendiri menjadi ideologi yang menghegemoni” (New Left Review 64: 2010).
Dengan formula rahasia ”biaya lebih rendah, efisiensi lebih tinggi”, rasionalitas pasar dan
persaingan bebas ini merangsek ke segenap sektor kehidupan sehingga berpikir
secara ekonomis seolah-olah kewajaran tunggal dalam kehidupan manusia. Laik
pertimbangan para petinggi kita akan kewajaran harga pasar sebagai pertimbangan
kebijakan penentuan harga BBM, logika ekonomi yang sebetulnya dan seharusnya
hanyalah salah satu rasionalitas sektoral dalam kehidupan, lalu berkembang
menjadi kewajaran logis satu-satunya bagi segenap kehidupan manusia.
Menanggapi krisis ekonomi Eropa, Zizek
beranggapan, justru inilah sumber kedaruratan permanen ekonomi dewasa ini.
Baginya, pengagulan logika pasar dan kompetisi semacam ini hanya akan
mewujudkan pernyataan profetik Antonio Gramsci bahwa ”dunia lama sedang sekarat dan dunia baru berjuang untuk dilahirkan:
sekarang adalah zaman para monster”.
Maksudnya jelas, mengagulkan berlebihan
logika pasar, dan bahkan menganggapnya sebagai kewajaran, hanya akan berujung
pada pengukuhan dominasi para raksasa transnasional (TNC). Krisis dewasa ini
bahkan memperlihatkan mereka tak terbukti memberi contoh corporate governance
yang lebih saksama. Namun, celakanya, seperti penanggulangan krisis di AS, dan
sebetulnya juga di Indonesia, akhirnya negara justru terpaksa menyelamatkan
mereka dengan uang pajak rakyat banyak karena besaran dampaknya membuat mereka
dianggap terlalu besar untuk dibiarkan gagal.
Menganggap wajar ekonomi sebagai ideologi
melalaikan satu hal penting: logika pasar dan persaingan bebas merupakan
rasionalitas ideologis kapitalisme liberal. Jadi, hanyalah rasionalitas sebuah
ideologi tertentu belaka. Menganggapnya sebagai kewajaran, mempersempit ragam
rasionalitas alternatif kita, bahkan memerosotkan kritisisme dan obyektivitas
metodologis menyeluruh kita karena telah menganggapnya sebagai semacam ”metabahasa” (Parekh: 2003).
Dalam pengibaratan Biksu Parekh, seperti mata
uang dollar AS, padahal hanya merupakan salah satu mata uang yang jadi ukuran
bagi segenap mata uang lain di dunia. Kita tahu bahwa dalam diskursus ideologi
klasik, kecenderungan menerima sebuah rasionalitas ideologis atau logika
sektoral tertentu sebagai kewajaran alamiah untuk memahami segenap realitas
semacam ini dihujat sebagai gejala kesadaran palsu, false consciousness.
Kiranya dalam kerangka inilah kita harus
membatalkan keputusan DPR menambahkan Pasal 7 Ayat 6a pada UU APBN 2012 yang
memberi kebebasan bagi pemerintah menaikkan/menurunkan harga BBM bersubsidi
jika dalam enam bulan berjalan, harga minyak mentah melampaui 15 persen di atas/di
bawah asumsi APBN. Ini eufemisme terhadap rasionalitas pasar UU Migas No
22/2001 Pasal 22 Ayat 2 (baca: ”mekanisme
persaingan usaha yang sehat dan wajar”) yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi
pada 2004.
Secara ideologis, seperti termaktub pada
Pasal 33 UUD 45, kita tak menempatkan ekonomi sebagai ideologi, apalagi pada
perkara-perkara yang menyangkut hajat hidup orang banyak semacam ini.
Penguasaan negara terhadap bumi, air, dan segenap kekayaan di dalamnya dalam
konteks ini haruslah berada dalam kerangka sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
banyak.
Dalam kerangka itu, dalam ungkapan gaya Orde
Lama, kita tidak boleh menempatkan ”ekonomi
sebagai panglima” seperti halnya tidak boleh menempatkan ”politik sebagai panglima”. Rasionalitas
ideologis tidak boleh terpasung pada logika ekonomi semata karena idolatri-nya
tertuju pada perwujudan gambaran kolektif ideal kita sebagai bangsa.
Idolatri semacam ini jelas mengandaikan
sebuah bangsa dengan segenap matranya. Oleh karena itu, dalam pancaran
ideologi, seperti halnya kita harus memikirkan kemaslahatan bersama, sebagai
strategi temporal kita, misalnya saja, bahkan boleh dan bisa saja memutuskan
untuk lebih baik sementara ”melarat bersama” seperti tersirat dalam pekikan ”go to hell with your aid” dari Bung
Karno. Persoalannya, Bung Besar kita ini sadar betul bahwa eksistensi dan
martabat sebuah bangsa jauh lebih penting daripada kalkulasi ekonomi.
Ekonomi memang merupakan salah satu matra
penting, bahkan boleh jadi juga terpenting dalam kehidupan manusia sebagai pribadi,
apalagi dalam bermasyarakat dan berbangsa. Kiranya tetaplah ekonomi tidak boleh
kita perlakukan sebagai panglima, apalagi sebagai ideologi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar