UN,
PTN, dan Otonomi Daerah
M. Rifqinizamy Karsayuda, PENGAJAR HUKUM TATA
NEGARA FH UNLAM, BANJARMASIN; MAHASISWA PROGRAM DOKTOR HUKUM TATA NEGARA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Sumber : KOMPAS, 21 Januari 2012
Bagi para pengkaji hukum tata negara, ujian
nasional yang diselenggarakan pemerintah pusat adalah antitesis otonomi
pendidikan: penyerahan urusan di bidang pendidikan oleh pusat kepada daerah.
Pasal 18 Ayat 2 UUD 1945 menegaskan,
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pasal
itu memberikan pesan kepada kita bahwa setiap daerah memiliki kewenangan
mengurus sendiri pemerintahannya berdasarkan asas otonomi (daerah).
Ketentuan konstitusi itu semakin ditegaskan
dalam Pasal 10 Ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
menyatakan seluruh urusan pemerintahan diserahkan kepada pemerintah daerah,
kecuali enam urusan pemerintahan di bidang politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, serta agama.
Tafsir atas ketentuan konstitusi dan UU Pemda
di atas adalah bahwa urusan pemerintahan di bidang pendidikan (mestinya)
menjadi ranah daerah yang dikelola secara otonom. Sayang, otonomi daerah di
bidang pendidikan masih jauh panggang dari api. Kehadirannya semata dalam mata
pelajaran muatan lokal yang memberikan ruang bagi setiap daerah untuk
menentukan kurikulumnya. Di luar itu, otonomi pendidikan dirampas pusat secara
sengaja atas nama standardisasi pendidikan nasional.
Ingkari Falsafah Bernegara
Dalam konteks konstitusional itulah kehadiran
ujian nasional (UN) menjadi masalah besar. Ia menjadi bagian dari kebijakan
nasional yang mencederai falsafah bernegara untuk merajut persatuan Indonesia
berbasis kebinekaan. Para pendiri bangsa amat menyadari, negara-bangsa yang
didirikannya terdiri atas bangsa-bangsa dengan multi-perbedaan, bukan hanya
soal kultur, etnik, dan ras, melainkan juga ekonomi dan pengetahuan.
Otonomi daerah sesungguhnya dihajatkan
sebagai terapi atas perbedaan-perbedaan itu. Dengan otonomi setiap daerah
dipersilakan mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan berbasis kebutuhan dan
kekhasannya. Pemerintah pusat hanya mengurusi enam urusan pemerintahan, sisanya
menjadi koordinator dan supervisor atas jalannya pemerintahan di sejumlah
daerah. Dengan cara demikian, daerah yang satu membedakan dirinya secara sentrifugal
dengan daerah lain.
Pengingkaran atas otonomi daerah di bidang
pendidikan— melalui UN—berisiko mencederai tujuan negara untuk menghadirkan
kecerdasan bangsa. UN yang menuntut persamaan nilai standar untuk mata
pelajaran tertentu bagi setiap siswa di Tanah Air sulit diaktualisasikan di
tengah sarana penunjang pendidikan yang serba njomplang, mulai dari SDM guru,
ruang dan peralatan sekolah, hingga jarak tempuh sekolah.
Para siswa di pedalaman Fak-Fak, Kapuas Hulu,
Mentawai, dipaksa memiliki standar yang sama dengan para siswa sekolah favorit
di kota-kota besar di Jawa. Maka lahirlah kecurangan di sana-sini. Bukan
rahasia umum lagi, setiap kali UN digelar beredar pula berbagai kunci jawaban
soal.
Sebagian daerah malah menyiasatinya dengan
menggunakan pendanaan APBD untuk bekerja sama dengan lembaga bimbingan belajar
tertentu demi sukses UN. Saat hari-H UN digelar, para mentor bimbingan belajar
itu disinyalir berubah fungsi menjadi pemasok kunci jawaban UN untuk para
siswa.
Kecurangan UN pun menghasilkan mata rantai
setan. Ia tidak hanya menjadi kebutuhan siswa agar bisa lulus UN, tetapi juga
dimaklumi oleh orangtua siswa atas nama gengsi dan martabat. Bagi pihak
sekolah, UN bukan sekadar alat ukur prestasi, melainkan juga prestise. Lebih
jauh, karier kepala sekolah salah satunya ditentukan oleh berapa persen siswa
yang lulus UN.
Rendahnya tingkat kelulusan UN juga menjadi
pukulan bagi karier kepala dinas pendidikan di daerah tersebut. Bahkan, seorang
kepala daerah pun bisa merasa amat dipermalukan apbila di daerahnya banyak yang
tidak lulus UN. Ia akan merasa gagal mengurusi bidang pendidikan.
Jika ini terus dibiarkan, alih-alih kita
hendak mencerdaskan bangsa, yang terjadi justru menyuburkan benih generasi
bangsa yang bermental curang dan cenderung menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan. Itu semua kita lakukan karena kita menabrak hakikat bahwa kita
nyatanya berbeda. Maka, seharusnya standardisasi dibuat menurut perbedaan itu,
bukan semua dipaksakan jadi sama.
Usulan Syarat Masuk
Jika UN hadir dengan wajah compang-camping,
bahkan menjadi wujud pengingkaran kehendak berbangsa kita, amatlah wajar jika
ide Mendikbud Mohammad Nuh untuk menggunakan UN sebagai syarat masuk perguruan
tinggi negeri (PTN) ditentang banyak pihak, bahkan juga kalangan PTN.
UN yang membuka pintu kecurangan amat mungkin
meloloskan orang-orang yang tak berkualifikasi masuk ke PTN. Pada masa lalu,
penerimaan mahasiswa PTN non-tes melalui jalur penelusuran minat dan kemampuan
(PMDK) dapat dimanfaatkan oknum-oknum tak bertanggung jawab dengan memanipulasi
nilai siswa karena nilai rapor
menjadi syarat masuk PTN lewat jalur ini.
Hasilnya banyak siswa hasil PMDK kesulitan bersaing di bangku kuliah. Oleh
karena itu, pola penerimaan mahasiswa berbasis prestasi diubah, dilakukan
melalui tes kendati dipisahkan dengan tes penerimaan pada umumnya.
Jika pemerintah pusat berniat memberikan
ruang bagi setiap anak bangsa masuk PTN, caranya bukan dengan menjadikan UN
sebagai syarat masuk PTN. Pekerjaan rumah pemerintah untuk menghadirkan PTN
sebagai rumah bagi generasi bangsa yang cerdas kendati lemah secara ekonomi
adalah tantangan besar saat ini.
PTN-PTN hari ini menjelma menjadi korporasi
pendidikan tinggi yang justru menargetkan pendapatan tertentu, bahkan profit,
dalam pengelolaan perguruan tinggi. Caranya, dengan mematok persentase tertentu
bagi jalur penerimaan mahasiswa, mulai dari nilai masuk sampai dengan biaya
pembangunan yang harganya terus melambung. Celakanya, jalur semacam ini
sekarang tampaknya mendominasi cara masuk ke PTN sehingga PTN tak lagi ramah
bagi kalangan yang tak berpunya.
Jika demikian realitasnya, UN jelas bukan
terapi terhadap sulitnya orang miskin untuk kuliah di PTN. Jalan satu-satunya
untuk mengembalikan PTN sebagai rumah kaum cerdas Indonesia adalah dengan
membangun seleksi masuk ke PTN yang berbasis kompetensi, bukan materi.
Negara yang telah diamanahkan konstitusi
untuk mengalokasikan 20 persen dana APBN dan APBD untuk pendidikan mestinya
menginsafi ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar