Polusi
Visual
Eko Budihardjo, GURU BESAR ARSITEKTUR DAN PERKOTAAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
Sumber : KOMPAS, 21 Januari 2012
Saat ini di berbagai pelosok kota di
Indonesia bertaburan spanduk, poster, dan baliho yang menyuguhkan tampang para
tokoh yang siap bertarung dalam ajang pemilu atau pilkada.
Saya melihatnya sebagai polusi visual karena
sungguh amat mencemari keindahan kota. Apalagi jika kita baca slogan, janji,
dan pesan-pesan terselubung yang ditulis di bawahnya.
Ada seorang kiai yang mempromosikan dirinya
dengan kalimat, ”Liriklah Kakbah, pilihlah saya.” Fotonya menampilkan sosok
berserban, badan berlilit sarung, dan selempang putih di pundak yang
menyiratkan keulamaannya.
Bukan main nekatnya. Kakbah hanya untuk
dilirik, ujung-ujungnya agar wajah sang kiai itu yang mesti dicontreng untuk
dipilih dalam pilkada.
Memang yang lebih banyak nampang adalah
tokoh-tokoh pejabat dengan baju seragam, lengkap dengan atribut kebesarannya.
Sering kali mereka memanfaatkan peristiwa-peristiwa khusus, seperti Natal dan
Tahun Baru. Kadang-kadang mereka tampil berdua dengan wakil atau calon
wakilnya. Di saat lain tampak tokoh eksekutif berdam pingan dengan
pimpinan legislatifnya.
Semua sama sekali tidak berkontribusi
terhadap peningkatan kualitas kota yang seharusnya merupakan social works of
art. Bahkan, sebaliknya, malah merusak keindahan kota. Apalagi, papan-papan
reklame pribadi itu juga bertebaran di kawasan bersejarah, kota lama, pantai,
atau perbukitan yang alamiah. Amat sangat mengganggu pandangan.
Kiranya sudah saatnya diatur perizinan yang
lebih ketat mengenai iklan ruang luar yang tidak hanya berurusan dengan
penempatan dan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD), tetapi juga
menyangkut keindahan sebagai suatu karya seni.
Kita pakai kaidah Mies Van de Rohe: Less is
More. Lebih sedikit wajah pejabat yang nampang di jalan, lebih indah wajah
kotanya.
”Urban Art”
Dengan judul ”Menarik tapi Belum Maksimal”,
Kompas (7 Januari 2011) berkisah tentang kawasan Kota Tua di Jakarta yang
semrawut, kumuh, dan banyak sampah. Paling sedikit 13 dari 59 bangunan
bersejarah di kawasan tersebut rusak parah, tidak terpelihara, dan mangkrak.
Bahkan, tahun lalu, salah satu gedung kuno bersejarah, yaitu bekas kantor West
Java NV—dibangun 1912—rusak berat dan roboh.
Kondisi bangunan-bangunan tua di kawasan Kota
Lama di Semarang (yang sering saya populerkan dengan nama paradaban Belanda
Kecil) pun tidak jauh berbeda. Memang harus diakui sudah banyak upaya untuk
merevitalisasi kawasan bersejarah peninggalan kolonial tersebut.
Jalan-jalan aspal sudah diganti dengan paving
block. Gedung tua bekas pengadilan negeri yang bertahun-tahun telantar sudah
direnovasi jadi rumah makan. Salah satu gedung tua lain dialihfungsikan jadi
Galeri Semarang, ajang untuk pameran seni. Namun, banyak gedung kuno lain yang
dibiarkan kosong, tidak difungsikan, dan tidak dirawat.
Tatkala
berkunjung ke Madrid, Spanyol, beberapa waktu
lalu, saya mengamati bergulirnya gerakan urban art. Dinding fasade
bangunan-bangunan tua yang telantar dengan wajah yang kotor dan kumuh disulap
oleh para seniman lokal menjadi kanvas lukisan yang indah dengan tema yang
beragam.
Kenapa gerakan ”seni perkotaan” itu tidak
digalakkan juga di negeri ini, bukan hanya di kawasan Kota Tua atau Kota Lama,
melainkan juga ke seluruh penjuru kota. Ketimbang dinding dan pagar bangunan
umum dirusak oleh tangan-tangan jahil dengan grafiti liar yang penuh kata-kata
vulgar, mari kita dahului dengan lukisan-lukisan mural karya seni.
Patung Sebagai ”Tengeran”
Sungguh amat mengagetkan berita dirobohkan
dan dibongkarnya patung-patung Bima, Gatotkaca, dan Semar di lokasi berbeda di
pusat Kota Purwakarta. Peristiwa perusakan patung-patung itu sudah tiga kali
terjadi sejak beberapa bulan sebelumnya. Kelompok propatung pun nyaris bentrok
dengan kelompok antipatung yang mengaku datang dari Cianjur, Sukabumi, Bandung,
dan Tasikmalaya.
Setiap arsitek dan perencana kota pasti
sependapat: patung merupakan karya seni yang bisa menyandang amanah sebagai
tetenger, penanda, atau landmark. Sebutlah seperti patung Selamat Datang di
Bundaran HI, Jakarta; patung Sri Rama yang sedang memanah di kawasan Gelora
Bung Karno; dan patung Pancoran yang menjadi tengeran bagi kawasan
masing-masing.
Di sepanjang Jalan Pahlawan yang merupakan
jalan protokol paling bergengsi di Semarang pun terdapat deretan patung wayang
yang amat indah, khas, dan mengesankan. Saya tidak bisa membayangkan jika
patung-patung wayang itu sampai dibongkar dan dibakar para ekstremis yang tidak
paham arti kesenian.
Kalau kelompok antipatung bersikukuh mau
membongkar patung yang ada dan menolak pembuatan patung-patung baru dengan
dalih agama, mereka dipersilakan menikmati kota Jeddah, Arab Saudi, dengan
puluhan patung di berbagai sudut kota. Yang paling menarik dalam pandangan saya
adalah sepeda raksasa yang dikisahkan sebagai perlambang sepeda yang dinaiki
Nabi Muhammad SAW.
Rasanya, kota-kota di Indonesia masih sangat
kekurangan patung sebagai karya seni sebagai penanda kawasan. Patung tak selalu
harus mahal. Ketika saya singgah di Bilbao, di depan Museum Guggenheim karya
Frank Gehry pun dibangun patung untuk menyambut para wisatawan dalam bentuk
kucing, terbuat dari komposisi bunga-bunga lokal. Sangat indah dan murah.
Bergantung kreativitas para senimannya. Semua karya seni itu akan mengimbangi
gejala merebaknya polusi visual berupa wajah-wajah yang rata-rata menyebalkan
itu. Kembalilah ke hakikat kota sebagai karya seni sosial, menambah keindahan
hidup manusia, melengkapi keindahan alam karya Tuhan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar