Tahun
Perburuan
Sukardi
Rinakit, PENELITI SENIOR SOEGENG SARJADI SYNDICATE
Sumber
: KOMPAS, 17 Januari 2012
Minggu (15/1) malam, saya menghadiri ulang
tahun Indonesian Democracy Monitor. Dalam pidato politiknya yang singkat,
sebagai salah satu tokoh sentral Indemo, Hariman Siregar kembali menegaskan
bahwa sejatinya hubungan antara pemerintah dan massa rakyat itu telah terputus.
Telah bercerai. Masing-masing jalan sendiri.
Pemerintah selalu mengklaim bahwa pembangunan
nasional yang dijalankan sudah mendongkrak bangsa ini menjadi lebih sejahtera.
Seluruh kalkulasi ekonomika, seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, dan investasi,
menunjukkan ke arah perbaikan signifikan. Sebaliknya, publik yang diwakili
pelaku usaha dan masyarakat sipil pada umumnya merasa bahwa rakyat ini berjalan
sendiri. Bahkan, untuk rasa aman pun, rakyat harus melindungi diri sendiri.
Ekspresi itu tergambar gamblang dalam spanduk ”Negeri Autopilot”.
Tidak mengherankan jika di tengah kejenuhan
kita untuk berkata-kata, malam itu Hariman Siregar masih memompa optimisme para
oposan independen dengan mengatakan, ”Bersama/kita teruskan perjuangan
ini/karena belum lagi selesai/kita lanjutkan perjalanan ini/karena belum
berakhir.”
Tirani Dadakan
Keterbelahan ekstrem antara pandangan
pemerintah dan masyarakat mengenai pembangunan ekonomi serta perang terhadap
korupsi dan penegakan hak asasi manusia, untuk menyebut beberapa contoh,
menurut hemat saya, dipicu oleh kultur elite yang selama ini gemar akan
tindakan dadakan. Dalam diskusi pendek penulis dengan Daoed Joesoef beberapa
waktu lalu, ia mengatakan bahwa salah satu candu dari para elite kita adalah
urgensitas. Semua dianggap kekinian. Mereka menderita miopia waktu. Akibatnya,
terjadi tirani urgensi.
Dalam praksis, sesuai watak dari tirani
urgensi, para pengambil keputusan akhirnya hanya menghasilkan
kebijakan-kebijakan yang dangkal karena gagal memahami secara komprehensif akar
persoalan. Kebijakan yang mereka hasilkan tidak lebih dari sekadar respons
terhadap gejala yang ada. Tidak mengherankan jika hasilnya sak
dadine (asal jadi) dan bukan strategi besar masa depan dengan seluruh kalkulasi
risikonya.
Situasi tersebut tentu saja menyedihkan
mengingat bangsa-bangsa lain di dunia sudah mencanangkan mimpi besar mereka.
Sementara itu, elite Republik hanya gaduh dengan politik transaksional. Syahwat
kekuasaan mereka sebatas mendapatkan privilese ekonomi dan politik jangka
pendek. Mereka tidak gaduh membicarakan postur Indonesia masa depan di tengah
percaturan bangsa-bangsa di dunia. Mereka tidak gaduh membangun utopia
Indonesia menjadi negara adidaya.
Padahal, para bapak bangsa sudah mengajarkan
pentingnya utopia sebagai spirit masa depan: kemerdekaan sebagai jembatan emas
menuju masyarakat adil makmur tempat seluruh anak bangsa seharusnya hidup
bahagia. Kebahagiaan hidup, ketenteraman lahir batin, dan kegotongroyongan
adalah utopia itu. Ia ibarat bintang, tak mungkin kita terbang ke sana. Namun,
dia menjadi petunjuk ke kaki langit mana perahu harus menuju.
Dalam konteks sekarang ini, absennya utopia
pada sebagian besar elite kita membuat tahun ini akan menjadi ”tahun
perburuan”. Berbeda dengan 2010 yang menjadi ”tahun saling menyandera” dan 2011
sebagai ”tahun saling menyerang”, tahun ini ranah politik akan diisi oleh
aktivitas perburuan.
Sesuai dengan karakter perburuan, politik
tahun ini diduga akan semakin berisik. Akan tetapi, kegaduhan itu bukan karena
terjadinya saling menyerang antarpolitisi atau partai politik, tetapi karena
masing-masing bergerak sendiri. Dengan istilah lain, terjadi ”gencatan senjata”
antarpartai politik. Ibarat beberapa kelompok pemburu, masing-masing sibuk
mengejar target buruan karena masing-masing sadar, tahun ini adalah saatnya
perburuan dimulai. Terlambat sedikit saja, mereka akan ketinggalan dan digilas
oleh lawan politik pada pemilihan umum nanti.
Target Buruan
Sehubungan dengan hal tersebut, ketika
pengawasan publik pada proyek-proyek pemerintah semakin ketat, target pertama yang
akan diburu para politisi tentu saja mereka yang mempunyai dana. Tahun ini,
para politisi akan sibuk membuat daftar nama pengusaha dan siapa pun yang subur
dana di dalam iPad mereka. Langkah selanjutnya adalah melakukan pertemuan
sembari menyeruput kopi pagi di tempat yang aman.
Target perburuan kedua adalah para tokoh yang
populer dan mudah mendapatkan dukungan publik. Syukur-syukur kalau tokoh
tersebut juga berkantong tebal. Mereka akan didekati, lalu dilakukan matriks
untuk mengukur kekuatan dan kelemahan, untuk selanjutnya dielus-elus sebagai
calon presiden dan wakil presiden. Perburuan ini tentu saja membuat politik
menjadi gaduh karena berseliwerannya isu dan klaim masing-masing pihak. Di
sini, manuver Partai Golkar, PDI-P, dan Partai Demokrat yang harus dicermati.
Merekalah penentu akhir.
Pada tahun perburuan ini, berdasarkan diskusi
dengan banyak pihak, secara hipotesis saya menduga, nama-nama tokoh yang akan
mulai sering disebut adalah Megawati Soekarnoputri, Sultan Hamengku Buwono X,
Jusuf Kalla, Wiranto, Joko Suyanto, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Ani
Yudhoyono, Mahfud MD, Endriarto Sutarto, Sukarwo, Alex Noerdin, Puan Maharani,
Pramono Edhie Wibowo, Hatta Rajasa, Rustriningsih, dan Joko Widodo.
Menurut Anda, siapa yang punya utopia di
antara mereka? Saya tahu jawabannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar