Masa
Depan Demokrasi Kita
Franz
Magnis-Suseno, GURU
BESAR DI SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, JAKARTA
Sumber
: KOMPAS, 17 Januari 2012
Tiga belas tahun lalu Presiden Habibie—hanya
seminggu sesudah ia diangkat—dengan berani membuka keran demokrasi. Setengah
tahun kemudian, Sidang Istimewa MPR mengangkat hak-hak asasi manusia ke tingkat
konstitusional.
Pada 1999, Indonesia melakukan pemilihan umum
bebas pertama sejak 1955. MPR pilihan 1999 itu lalu mengamandemen UUD 1945
untuk mengamankan demokrasi di Indonesia pasca-Orde Baru.
Belum pernah dalam sejarah Indonesia terdapat
konsensus sedemikian luas bahwa Indonesia harus betul-betul demokratis. Sampai
sekarang belum ada satu kelompok sosial politik berarti yang menolak demokrasi.
Konsensus itu dibenarkan dalam keberhasilan pelaksanaan dua pemilu: 2004 dan
2009.
Kecewa
Namun, antusiasme semula sekarang menguap.
Kekecewaan mendalam, bahkan rasa putus asa, semakin mengambil alih. Otonomi
daerah ternyata menghasilkan otonomisasi korupsi. Pilkada bisa menjadi sumbu
konflik etnis dan agama.
Perekonomian meski pada hakikatnya tangguh,
tidak mencapai kapasitas yang sebenarnya: mungkin dihambat oleh pengabaian
ekonomi rakyat, kerapuhan infrastruktur, dan hambatan-hambatan dari birokrasi
yang korup.
Hak-hak asasi manusia yang menjadi dasar
harkat etis demokrasi masih tetap banyak diabaikan. Di daerah-daerah yang jauh,
kekerasan aparat terhadap rakyat masih terjadi.
Yang amat mengkhawatirkan: negara semakin
gagal menjamin kebebasan beragama dan beribadah minoritas-minoritas. Kecaman
elite terhadap kekerasan atas nama agama tinggal verbal.
Di basis intoleransi, bahkan kebencian
terhadap mereka yang berbeda meluas. Kelompok-kelompok yang ajarannya dicap
sesat oleh mayoritas diancam dengan kekerasan dan—malu-malu!—tidak dilindungi
oleh negara. Pengaruh ekstremisme eksklusivis dibiarkan meluas. Bahwa dalam
negara hukum, pemerintah pusat tidak mampu menjamin bahwa keputusan Mahkamah
Agung mengenai hak beribadat dilaksanakan (Gereja Yasmin di Bogor) adalah
mengkhawatirkan dan memalukan.
Yang paling serius adalah politik duit di
kelas politik. Sindiran miring bahwa sila pertama sudah diubah menjadi
”keuangan yang maha esa” mencerminkan persepsi masyarakat tentang para
politisi. Persepsi ini—kalau tetap—akan menghancurkan demokrasi—dan negara
Pancasila—kita.
Kelas politik dipersepsi kongkalikong dalam
sebuah konspirasi untuk merampas kekayaan bangsa. Seakan-akan negara sudah
jatuh ke tangan sebuah mafia. Korupsi yang muncul di Kementerian Keuangan,
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Kementerian Pemuda dan
Olahraga dalam masyarakat dipersepsi sebagai hanya puncak gunung es. Sistem
yudikatif dan aparat kepolisian dianggap korup.
Paling gawat adalah jatuhnya harkat moral
Dewan Perwakilan Rakyat di mata rakyat yang seharusnya diwakili. Di sini urat
nadi demokrasi kena. Kemalasan mencolok para anggota DPR, jumlah mereka yang
terlibat dalam perkara korupsi, fakta bahwa wakil rakyat menjadi calo proyek,
reaksi marah waktu KPK mulai meneliti mafia Panitia Anggaran Negara, kenyataan
bahwa pembuktian positif asal usul kekayaan tidak mau diperundangkan, usaha
mencolok untuk memperlemah KPK (yang kalau mereka korup memang masuk akal):
semua itu memberi kesan bahwa tempat tepat DPR bukan di Senayan, melainkan di
Salemba dan Cipinang.
Pada saat yang sama, kepemimpinan nasional
kelihatan tidak mau atau tidak mampu mengambil tindakan-tindakan yang
diharapkan.
Pada 1955 pernah ada situasi yang mirip.
Pemilu tahun itu berhasil, tetapi tidak berhasil mengatasi masalah-masalah yang
dihadapi bangsa Indonesia waktu itu. Akhirnya, empat tahun kemudian, Presiden
Soekarno mengakhiri demokrasi pertama Indonesia itu, menyatakan diri ”Pemimpin
Besar Revolusi” (Pembesrev), dan menempatkan bangsa Indonesia ke suatu jalur
dinamika politik yang menghasilkan tragedi nasional teramat mengerikan pada
1965 serta 32 tahun pemerintahan Orde Baru.
Belajar Demokrasi dengan Berdemokrasi
Ada bisik-bisik bahwa satu-satunya jalan
keluar dari segala kebusukan itu adalah sebuah revolusi. Lalu, perlu dibentuk
pemerintahan sementara, diadakan perubahan konstitusional, akhirnya pemilihan
umum.
Namun, apa mereka tahu apa yang mereka
bisikkan? Yang mungkin di Indonesia bukan sebuah revolusi, melainkan kerusuhan.
Siapa yang berwenang memegang pemerintahan sementara? Apa kita mau militer
berkuasa kembali? Atau pemerintahan seorang strongman? Apa kita ingin suatu
situasi seperti sekarang di Mesir?
Melawan khayalan-khayalan macam itu kiranya
perlu disadari bahwa pemecahan-pemecahan mendadak paksa-paksa bukan jalan
keluar. Demokrasi hanya dapat dipelajari dengan berdemokrasi dan, untuk itu,
kita harus bertolak dari apa yang sudah tercapai dalam 13 tahun terakhir.
Hanya dengan maju di jalan demokratis yang
digariskan oleh reformasi, bangsa Indonesia yang majemuk dapat menjadi kukuh
bersatu, maju ke arah kesejahteraan yang adil dengan menjamin harkat
kemanusiaan segenap warga.
Tak ada alternatif terhadap langkah-langkah
kecil korektif. Perbaiki sistem kepartaian! Akhiri sistem kampanye yang
memaksakan calon politisi untuk mencari duit miliaran! Perkuat posisi Presiden—
kalau kita tetap mempertahankan sistem presidensial—tanpa memperlemah unsur-
unsur demokratis! Jalankan reformasi-reformasi, misalnya menyangkut pilkada!
Memang kita tidak boleh putus asa. Dari DPR
sekarang kita tagih sisa tanggung jawab kebangsaan yang masih mereka punya agar
mereka berani mereformasi diri dan mengubah struktur-struktur yang menunjang
politik duit.
Dan, Presiden masih punya dua tahun lebih.
Sekarang saatnya Presiden membuktikan diri dengan berani mengambil
tindakan-tindakan yang decisive. Beliau pasti akan didukung oleh rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar