Syiah
Sampang Versus Syiar Kebencian
Achmad Fauzi, AKTIVIS
MULTIKULTURALISME, KELAHIRAN MADURA
Sumber
: KORAN TEMPO, 6 Januari 2012
Sejarah
panjang penghakiman terhadap perbedaan agama dan keyakinan yang kerap diwarnai
pertumpahan darah seakan tak mengenal kata tamat. Estafet kekerasan dan invasi
iman terus direproduksi dan didukung kelompok di setiap era sebagai pilihan
pragmatis meneguhkan dominasi. Jika demikian, pandangan Karl Marx tidak keliru.
Manusia dipersepsikan sosok yang ambisius memperebutkan wilayah dominasi,
termasuk dominasi keagamaan.
Contoh
paling menarik adalah, sebagaimana ditulis Goenawan Mohamad (2003), ihwal Syekh
Siti Jenar yang dipenggal mati seusai salat Jumat di hadapan para wali dan
pembesar istana lantaran dianggap melawan kekuasaan para ulama yang
mengunggulkan ortodoksi. Cerita dari Bagdad pada abad X mengatakan bahwa darah
Jenar muncrat membentuk 84 tetes dan menulis kata "Allah". Sepotong
kepala yang lepas dari tubuhnya itu lantas tertawa sembari berseru agar
darahnya segera kembali ke tubuh sehingga bercak darah tidak tampak lagi.
Peristiwa itu menjadi pertanda bahwa barang siapa yang menghukum mati seseorang
karena iman dan pendirian akan mendengar sepotong kepala yang tertawa.
Peristiwa
mutakhir terkait dengan invasi iman dan pemberangusan atas nama agama datang
dari Kabupaten Sampang, Madura. Sebagai masyarakat yang dikenal santri, tentu
penyerangan dan pembakaran rumah ataupun pondok pesantren milik kelompok Syiah
di Kecamatan Omben, Sampang, Madura, menjadi ironi dan tanda tanya banyak
orang. Pasalnya, ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) masih hidup, Madura menjadi
basis Nahdlatul Ulama dengan tingkat penghargaan dan toleransi yang tinggi
terhadap isu keragaman. Gus Dur tidak hanya berhasil menanamkan kultur damai
terhadap sesama dan inklusif dalam berteologi, tapi juga tegas melindungi kaum
minoritas dengan mengerahkan pengikutnya melakukan penghadangan bagi kelompok
radikal yang akan melakukan penyerangan.
Tapi
kultur itu kini telah mengalami degradasi. Secara struktural aparat keamanan
tidak mampu melakukan deteksi dini dan melakukan langkah persuasif terhadap
potensi konflik masyarakat di sana. Penanganan kasus Sampang sama sekali tidak
berpihak kepada kelompok Syiah yang rentan diserang. Polisi lebih memilih
menangkap dan mengevakuasi korban daripada mencegah dan menindak para pelaku
kekerasan. Pemerintah Kabupaten Sampang juga gagal melaksanakan tanggung
jawabnya dalam melindungi jemaah Syiah sebagai kelompok minoritas dari serangan
dan pemberangusan hak kebebasan beragama serta berkeyakinan yang dilakukan oleh
kelompok pro-kekerasan terhadap Syiah. Ini berarti pemerintah mengingkari
kewajibannya menghormati, melindungi, memajukan, dan menegakkan hak asasi warga
negara yang diamanatkan Pasal 71 dan 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
Begitu
pula secara kultural, peran dan pesan keagamaan Gus Dur sebagai kiai karismatik
bagi masyarakat Madura kini tergerus oleh arogansi kelompok tak bertanggung
jawab. Hasutan dan syiar kebencian terhadap kelompok Syiah ditanamkan di benak
masyarakat, sehingga mereka teracuni serta gampang terprovokasi dalam memandang
Syiah berikut ajarannya. Lihat saja bentuk serangan kepada kelompok Syiah yang
berlangsung secara sistematis dan masif. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kekerasan itu terencana, yang diawali dengan kolektivikasi rasa kebencian di
antara masyarakat. Pokok penting inilah yang luput dari perhatian pemerintah,
sehingga memandang pemberangusan terhadap kelompok Syiah sebagai peristiwa
insidental yang terjadi secara tiba-tiba.
Menyelesaikan
perbedaan keyakinan dengan cara biadab dan melanggar hukum menimbulkan
permusuhan yang sangat keras, ribuan kali lebih keras. Betapa berbahaya apabila
masing-masing umat beragama hendak menyelesaikan ketegangan teologis dengan
sikap ingin berlomba cepat masuk surga. Atas nama sebuah iman atau Tuhan,
seseorang berani menjadi algojo bagi yang lain. Seakan-akan untuk memperoleh
taman firdaus, kedamaian di bumi Indonesia diabaikan.
Dua
Pilar
Meledaknya
kekerasan bernuansa agama di Sampang, Madura, lekat dengan lemahnya dua pilar
utama, yakni tokoh agama yang salah haluan dan peran negara yang mandul. Selama
ini materi khotbah keagamaan yang dikumandangkan tokoh agama cenderung
provokatif dan menyinggung keyakinan lain, sehingga rentan memicu permusuhan,
yang dapat memecah belah kehidupan umat beragama.
Mimbar-mimbar
masjid yang sejatinya menjadi momentum terbaik untuk mendiseminasikan ajaran
agama yang moderat, toleran, dan menjunjung tinggi kepelbagaian dibajak sebagai
ajang menanamkan kebencian serta eksklusivisme. Simak pandangan eksklusif
Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Sampang yang meminta agar aliran Syiah segera
dibekukan. Semestinya MUI menyadari bahwa manusia dalam menjalankan iman tidak
bisa diseragamkan. Kelompok radikal yang mengoyak kebatinan bangsa yang
seharusnya dibekukan, bukan kelompok Syiah.
Karena
itu, di masa mendatang lembaga-lembaga keagamaan harus proaktif merumuskan
kembali strategi dakwah bernapaskan toleransi, inklusivisme, kebangsaan, dan
kemanusiaan, sehingga Islam menjadi jalan spiritual yang sejuk serta mengayomi
umat manusia. Gus Dur pernah mengajarkan kepada kita perihal makna sejati
toleransi. Toleransi, menurut dia, adalah perbuatan, bukan ikrar lisan yang
indah diucapkan di podium orasi.
Betapa
seringnya kita menyaksikan penerapan konsep toleransi di masyarakat yang
cenderung artifisial. Kita dituntut untuk bertoleransi antara yang satu dan
yang lain tanpa dibarengi kesadaran untuk mengerti serta mempelajari agama
lain. Menurut almarhum Gus Dur, kondisi semacam ini masih rawan konflik, karena
tuntutannya hanyalah toleransi, bukan saling mengerti. Maka, ketika unsur yang
mendamaikan hilang, konflik yang lebih besar tidak dapat dihindarkan.
Faktor lain meledaknya kekerasan bernuansa
agama adalah negara mengalami kegagalan dalam mengelola secara demokratis
pluralisme agama, globalisasi, dan modernisasi. Dengan demikian, ruang kebebasan
bagi kelompok marginal sangat sempit. Bangunan keharmonisan umat beragama
berjalan rumit karena tereduksi oleh pengaturan formal negara. Negara sebagai
yang menguasai dominasi politik terlalu gegabah melakukan kebijakan kontrol
yang sangat ketat pada wilayah privat, sehingga kelompok minoritas suka atau
tidak suka harus tunduk pada kepentingan penguasa. Tidak ada pendewasaan (maturation)
dan pemberdayaan (empowerment) individu dalam beragama, karena politik surveillance
oleh negara telah melumpuhkan peluang agama mengembangkan landasan etik bagi
dirinya. Dampak bekerjanya kendali politik rezim tersebut menyebabkan
keberdayaan komunitas warga dalam mewujudkan kehidupan demokratis dan setara
dalam bingkai keragaman semakin jauh dari harapan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar