Sandal
Jepit di Muka Hukum
Yudhistira ANM Massardi, SASTRAWAN,
WARTAWAN,
PENGELOLA SEKOLAH GRATIS UNTUK KAUM DUAFA, TK-SD
BATUTIS AL-ILMI, BEKASI
Sumber
: KORAN TEMPO, 6 Januari 2012
Dunia
peradilan kita tampak begitu tak bermoral. Para penegak hukum (polisi, jaksa,
dan hakim) seolah tidak punya rasa malu. Lembaga yudikatif, yang diagungkan
sebagai salah satu pilar demokrasi, lebih menunjukkan diri sebagai hamba dari
para pemilik uang dan kuasa. Keluhan dan kritik masyarakat yang bertubi-tubi
dan terus dipekikkan hingga hari ini tak juga digubris. Dunia hukum pun menjadi
tak ubahnya monster keji pemangsa rasa keadilan dan hati nurani rakyat.
Fakta
bahwa, sejak Orde Baru, hukum kita lumpuh di hadapan kasus-kasus yang melibatkan
jumlah uang sangat besar, para juragan besar, dan para petinggi negara adalah
kenyataan pahit yang hingga kini menggelapkan langit keadilan. Harapan
masyarakat, khususnya kaum muslimin, yang mendambakan proses penegakan hukum
seperti pada zaman Khalifah Abubakar, Umar bin Khattab, atau Umar bin Abdul
Aziz, masih terbenam jauh di alam mimpi. Sebab, jangankan ayat-ayat dalam kitab
suci Al-Quran, ayat-ayat dalam kitab-kitab hukum pidana dan perdata pun mereka
telikung maknanya dan mereka manipulasikan penggunaannya.
Alih-alih
memberi rasa keadilan kepada kaum lemah dan teraniaya, sidang-sidang pengadilan
yang berlangsung justru lebih menikam jantung para pencari keadilan serta
membunuh harapan terakhir mereka. Berkali-kali kita menyaksikan betapa supremasi
hukum ditegakkan begitu perkasa dan angkuhnya jika menghadapi kasus remeh-temeh
yang melibatkan wong cilik melarat tanpa daya.
Pada
Oktober 2009, kita dikejutkan oleh tragedi Nenek Minah, 55 tahun, yang diseret
ke depan meja hijau di Banyumas, hanya karena mengambil tiga buah kakao seberat
3 kilogram seharga Rp 30 ribu. Ia diancam hukuman 6 bulan penjara, dan divonis
hukuman 3 bulan percobaan. Pada November 2009, empat bersaudara ditahan polisi
di Purwokerto karena dituduh mencuri 1,5 kg kapuk seharga Rp 6.000. Mereka
diancam hukuman penjara maksimal 7 tahun. Pada Oktober 2010, Nenek Rasminah
diadili gara-gara dituduh oleh majikannya mencuri enam buah piring dan bahan
sup buntut. Ia sempat meringkuk di dalam bui, dan divonis bebas oleh pengadilan
di Tangerang.
Pada
hari-hari terakhir ini, kita pun terenyak menyaksikan anak di bawah umur, AAL,
15 tahun, diinterogasi dan dipukul polisi serta diseret ke pengadilan di Palu
gara-gara dituduh mencuri sandal jepit milik dua anggota Kepolisian Daerah
Sulawesi Tengah. AAL diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara. Masyarakat pun
bereaksi dengan menggalang pengumpulan ribuan pasang sandal jepit untuk dikirim
kepada Kepala Kepolisian RI, sebagai ungkapan solidaritas dan rasa marah. Aksi
ini mengingatkan kita pada gerakan pengumpulan sejuta koin bagi Prita yang
diadili di Tangerang dan sempat dipenjarakan secara keji dalam kasus pencemaran
nama baik, Juni 2011.
Kasus
pencurian sandal jepit oleh AAL itu juga mengingatkan kita pada tragedi yang
menimpa Hamdani, 25 tahun, mantan buruh pabrik sandal yang harus mendekam di
balik terali besi Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Tangerang, hanya gara-gara
pinjam-pakai sandal jepit bolong apkiran di gudang pabrik untuk berwudu dan
salat. Oleh perusahaannya, buruh aktivis itu dikenai tuduhan pencurian.
Pengadilan menghukumnya 3 bulan kurungan pada Januari 2002. Kisah tentang
Hamdani ini telah disinetronkan oleh Dedi Setiadi, Sandal Bolong untuk
Hamdani, dan menjadi film televisi terbaik dalam Festival Film Indonesia
2004, yang mengukuhkan Dedi Setiadi sebagai sutradara terbaik, serta pemeran
Hamdani, Epi Kusnandar, sebagai aktor terbaik.
Semangat
para penegak hukum dalam mengadili kasus-kasus kelas "sandal jepit"
tersebut sungguh mencengangkan sekaligus melengkapi tragedi dunia hukum di republik
ini. Sebab, pada saat yang sama, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Mahkamah
Agung ramai-ramai membebaskan puluhan tersangka koruptor dengan dalih tidak
terbukti menimbulkan kerugian negara. Sementara itu, beberapa kasus korupsi
yang tengah diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi hanya berputar-putar
atau jalan di tempat.
Maka,
tidaklah aneh jika masyarakat tak lagi percaya bahwa lembaga yudikatif di sini
bertujuan menegakkan keadilan, serta memperlakukan setiap orang sama di depan
hukum, tanpa pandang bulu. Sebab, fakta-fakta yang muncul membuktikan hal-hal
yang sebaliknya.
Dunia
hukum kita bagaikan sebuah gua panjang menuju lembah kegelapan. Siapa pun,
terutama rakyat jelata, yang memasukinya akan kehabisan oksigen dan energi
hidupnya tanpa punya harapan bisa melihat setitik cahaya di ujung terowongan.
Puncak dari ironi ini adalah para manusia pencari keadilan itu justru
dikalahkan oleh sandal jepit dan tetek-bengek yang tak penting!
Dunia
hukum kita tetap absurd, tanpa ada pintu masuk bagi setiap orang yang hendak
mencari keadilan di dunia, seperti yang digambarkan secara tragis dalam cerita
mini Nobelis Franz Kafka (1883-1924), Before the Law (1914). Itu adalah
cerita singkat yang paling menohok dunia hukum, dengan satu pertanyaan
pesimistis: mungkinkah manusia bisa menegakkan keadilan di muka bumi?
Dalam
Islam, agama yang merupakan rahmat bagi alam semesta, sesungguhnya tidak ada
lagi yang patut dipertanyakan. Sejumlah ayat dalam Al-Quran, misalnya,
Al-Baqarah 143, menegaskan: "Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu." Juga An-Nissa 135:
"Wahai, orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu,
bapak, dan kaum kerabatmu."
Dalam
kalimat filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1626), "Demi keadilan, manusia
adalah Tuhan bagi manusia, dan bukan serigala." Artinya, pintu hukum bagi
tokoh lelaki dalam cerita Kafka tersebut seharusnya selalu terbuka dan bisa
dimasuki oleh siapa saja, kapan saja, selamanya, demi Allah yang Maha Adil,
bukan demi sandal jepit yang remeh-temeh!
Ribuan pasang sandal jepit yang terkumpul
dalam aksi solidaritas bagi AAL seharusnya menjadi penampar terakhir muka para
petugas hukum di sini. Jika tidak, itulah gambaran paling tepat bagi harkat dan
derajat mereka: kasut-kasut butut yang dibuang para pemiliknya dengan penuh
amarah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar