Pembatasan
BBM
Pri
Agung Rakhmanto, DOSEN
FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS TRISAKTI; PENDIRI REFORMINER
INSTITUTE
Sumber
: KOMPAS, 17 Januari 2012
Meski terus-menerus dikritik, pemerintah
bersikukuh menerapkan pembatasan BBM. Pemerintah mengklaim pembatasan akan
menekan konsumsi BBM bersubsidi sehingga menghemat anggaran puluhan triliun
rupiah.
Untuk mengantisipasi potensi kebocoran,
pemerintah menguji coba penggunaan alat canggih radio frequency identification
(RFID) di trayek angkutan kota Senen-Kampung Melayu. Sejalan dengan itu,
pemerintah juga gencar mengampanyekan proyek penggunaan bahan bakar gas (BBG)
untuk transportasi.
BBG yang harganya lebih murah dikampanyekan
sebagai pilihan bagi masyarakat yang tidak mampu membeli pertamax dan
sejenisnya saat kebijakan pembatasan BBM diterapkan 1 April mendatang. Intinya,
pemerintah merasa siap menjalankan kebijakan itu.
Mengimbau Pemerintah
Tulisan ini tak hendak membahas secara
”berat” sisi positif-negatif dari kebijakan pembatasan BBM itu. Tak juga hendak
membandingkannya dengan pilihan kebijakan lain yang oleh banyak kalangan
dikatakan lebih rasional, yaitu menaikkan harga BBM. Sudah terlalu banyak yang
membahasnya dan sudah terlalu lelah dan jenuh pula kita membacanya. Tulisan ini
hanya ingin menyampaikan sedikit catatan (atau imbauan) berikut.
Pertama, jika pemerintah memang lebih memilih
menerapkan pembatasan BBM daripada menaikkan harga BBM, sebaiknya diakui saja
bahwa hal itu lebih karena pertimbangan politis (popularitas dan pencitraan)
dan bukan karena secara substansi kebijakan pembatasan BBM itu lebih rasional
dan lebih membawa perbaikan fundamental dibandingkan menaikkan harga BBM. Tidak
perlu membungkusnya dengan beraneka argumen yang memusingkan masyarakat.
Kedua, jangan terlalu yakin dan jangan
membuai masyarakat bahwa alat canggih RFID akan efektif menanggulangi potensi
kebocoran yang hampir pasti akan terjadi. Apalagi yang dilakukan baru sebatas
mencoba di satu jalur trayek, itu pun evaluasinya belum jelas.
Lebih baik secara apa adanya menyampaikan
bahwa salah satu kelemahan mendasar yang melekat pada kebijakan pembatasan ini
adalah rawan terjadi kebocoran. Apalagi dengan perbedaan harga antara BBM
subsidi dan nonsubsidi yang saat ini saja sudah hampir dua kali lipat. Belum
nanti kalau harga minyak terus naik karena ketegangan geopolitik Iran-Amerika
Serikat.
Ketiga, sebaiknya tidak usah menjanjikan
bahwa masyarakat yang tidak mampu membeli pertamax dan sejenisnya akan dapat
menggunakan gas sebagai alternatif. Sebab, ketersediaan infrastruktur gas untuk
transportasi pada April 2012, bahkan 2-3 tahun ke depan, masih akan sangat jauh
dari memadai.
Beda dengan Konversi
Mendorong pemakaian gas di sektor
transportasi tidak sama dengan konversi minyak tanah ke elpiji 3 kilogram. Di
negara yang sudah lebih maju dalam penggunaan gas untuk sektor transportasi,
seperti Pakistan, Argentina, dan Brasil, dibutuhkan lebih kurang 10 tahun untuk
membuat gas benar-benar memasyarakat di sektor transportasi. Itu pun dengan
catatan kebijakan tersebut dijadikan program nasional, dengan koordinasi dan
dukungan semua pemangku kepentingan dari hulu hingga hilir. Mulai dari produsen
gas, pengembang infrastruktur, industri otomotif, perbankan, perpajakan,
masyarakat, hingga bengkel perawatan.
Jika baru sebatas ”proyek” percontohan di
tiga kota dengan skala cakupan hanya 200–300 kendaraan, yang juga belum jelas
keberlanjutannya ke depan, sebaiknya tak usah dibicarakan berlebihan. Apalagi
dikatakan sebagai alternatif bagi yang tidak mampu membeli pertamax dan
sejenisnya. Jelas masih jauh panggang dari api.
Jadi, jika memang akhirnya tetap akan
memaksakan penerapan pembatasan BBM 1 April 2012, ya silakan saja, karena
memang pemerintah punya kekuasaan untuk itu. Namun, sebaiknya pemerintah
buka-bukaan saja dengan mengatakan bahwa pembatasan BBM artinya mobil pelat
hitam harus beralih ke pertamax dan sejenisnya. Itu saja. Tidak perlu
diembel-embeli kebohongan kepada rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar