Musim
Semi Arab dan Demokrasi Kita
Kiki Syahnakri,
KETUA
BIDANG PENGKAJIAN PERSATUAN PURNAWIRAWAN
TNI
ANGKATAN DARAT
Sumber
: KOMPAS, 12 Januari 2012
Belakangan ini media nasional diramaikan oleh
pembahasan tentang pergolakan yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara
yang dikenal dengan ”musim semi Arab” dan diberi label sebagai gerakan
demokratisasi.
Namun, apakah itu murni dalam rangka
demokratisasi? Akankah membawa perbaikan bagi dunia Arab?
Tampaknya jauh panggang dari api. Hingga
kini, pergolakan belum usai kendati rezim lama telah dijatuhkan. Bahkan,
revolusi di Mesir dan Libya telah bergeser jadi konflik horizontal yang juga
menelan korban tak sedikit.
Keterlibatan Nato di Libya yang kaya minyak
tak bisa diterjemahkan bahwa mereka mengusung nilai demokrasi. Indikasi
kepentingan di belakang aksi militer tersebut amat transparan. Bahkan,
kemungkinan pergolakan tersebut ditunggangi atau dirancang dari luar pun tidak
bisa kita nafikan. Ironisnya, Nato tak kunjung masuk ke Suriah kendati
pergolakan di negeri ini telah menelan korban ribuan jiwa. Mengapa? Karena di
sana tidak ada minyak seperti di Libya.
Nilai
Demokrasi
Renaisans di Perancis yang menghidupkan
kembali gagasan demokrasi Yunani kuno membawa nilai selengkapnya: kebebasan,
kesetaraan, dan persaudaraan. Ketiga nilai inilah yang seharusnya diusung dan
menuntun proses demokrasi sehingga menghasilkan kesepakatan dan keputusan
bersama untuk menuju tujuan bersama. Namun, kenyataannya negara-negara Barat
yang mengadopsi renaisans tak pernah mengimplementasikan ketiga nilai dasar
demokrasi tersebut.
Dalam praktik, kapitalisme kolonialismelah
yang mengedepan. Demokrasi hanya dijadikan bungkus bagi penyaluran syahwat
kolonialisme. Kesetaraan dan persaudaraan hanya semboyan. Rasialisme yang
bertentangan mutlak dengan nilai kesetaraan hingga kini masih hidup dalam
masyarakat mereka. Nilai persaudaraan tidak punya ruang dalam dunia
kapitalisme. Eksploitasi antarbangsa merupakan watak sejati kolonialisme.
Rakyat Timur Tengah dan Afrika Utara bergolak
untuk melawan otoritarianisme dan oligarki. Sesungguhnya tidak berbeda dengan
gerakan pendudukan Wall Street di Amerika Serikat yang juga bertujuan melawan
oligarki yang diaktori kaum kapitalis. Kedua pergerakan tersebut jadi bukti
bahwa otoritarianisme ataupun kapitalisme, berikut individualisme-liberalisme
sebagai induknya, pada hakikatnya bertentangan dengan demokrasi.
Demokrasi
Pancasila
Sama halnya dengan ide demokrasi pada era
Yunani kuno yang berkembang di negara-negara kota, demokrasi Pancasila pun
digali para bapak bangsa dari kultur masyarakat pedesaan yang telah hidup
berabad-abad. Sistem demokrasi Pancasila berjiwa kekeluargaan, menggunakan
mekanisme perwakilan dengan memegang prinsip keterwakilan (bukan keterpilihan).
Musyawarah mufakat, yang belakangan muncul
dan berkembang di Barat dengan sebutan consociational
democracy,
merupakan cara dalam pengambilan keputusan. Namun, sistem demokrasi cemerlang
itu belum pernah diimplementasikan secara konsekuen.
Kedua presiden yang berkuasa paling lama,
Bung Karno dan Pak Harto, mulanya teguh dan serius mengusung semangat demokrasi
Pancasila. Namun, kemudian keduanya justru memperlihatkan inkonsistensi, bahkan
penyelewengan terhadap spirit dan nilai dasar demokrasi Pancasila.
Era reformasi yang visinya antara lain
demokratisasi ternyata malah melanggar prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
Sebab, praktik demokrasi liberal yang mengutamakan keterpilihan kenyataannya
telah menipiskan aspek keterwakilan sehingga ”membunuh” nilai egaliter dan
kekeluargaan. Sebagai contoh empiris, seharusnya suku Dani, Amungme, Dayak, Anak
Dalam, dan berbagai kelompok minoritas lain terwakili secara proporsional
dengan cara ”ditunjuk”, bukan dipilih, agar kepentingan mereka dapat
diperjuangkan di parlemen. Sesungguhnya keterwakilan juga perekat bagi
masyarakat/bangsa yang serba majemuk seperti Indonesia.
Liberalisme justru berkembang luas dalam
berbagai kehidupan bangsa sehingga menyuburkan kapitalisme. Amandemen UUD 1945
sebanyak empat kali (1999-2002) telah mengubah platform kenegaraan kita secara
total dan mendasar sehingga menjadi amat liberal dan tentu tak lagi sesuai
dengan jiwa Pancasila.
Kita patut berkaca pada apa yang terjadi di
Timur Tengah dan Afrika Utara ataupun di Wall Street, AS, yang berpotensi
berkembang ke Eropa, Australia, dan Asia. Otoritarianisme dan individualisme-liberalisme-kapitalisme
sama-sama berbahaya karena ternyata keduanya menyimpan bom waktu.
Oleh karena itu, kini saatnya bangsa
Indonesia bergegas, kembali membenahi sistem demokrasi kita yang sudah
tercemar. Sebelum terlambat, kita harus segera mengkaji ulang UUD 1945 hasil
amandemen, yang berarti menyelaraskan kembali batang tubuh dengan jiwa
pembukaannya, mengembalikannya kepada roh Pancasila, bukan kembali kepada UUD
1945 asli. ●
mohon izin repost tulisannya, di manadosoft.com
BalasHapus