Demokrasi
Bukan Eskatologia!
Boni Hargens,
PENGAJAR
ILMU POLITIK DI UI;
TENGAH
BELAJAR DI HUMBOLDT UNIVERSITÄT-ZU BERLIN, JERMAN
Sumber
: KOMPAS, 12 Januari 2012
Konon pada dinding gudang persembunyian
Yahudi di Ghetto Warsawa tertulis: ”Aku percaya kepada matahari sekalipun ia
tak bersinar. Aku percaya kepada cinta walau aku tak merasakannya. Aku percaya
kepada Tuhan sekalipun Ia diam.”
Realitas ketertindasan tidak saja menghapus
masa depan, tetapi juga menghancurkan seluruh dimensi hidup. Satu-satunya
dimensi dalam diri manusia yang tak terhancurkan, tak dapat dibelenggu, dan tak
pernah lebur bersama tubuh adalah keyakinan. Itulah pesan tertinggi dari
coretan pada dinding itu.
Kejatuhan komunisme di akhir 1980-an bukanlah
kekalahan komunisme sebagai keyakinan, melainkan sebagai kekuatan politik.
Sebaliknya, kemenangan demokrasi liberal, yang dicap ”akhir sejarah” oleh
Fukuyama (1992), bukan semata kemenangan kekuatan politik berdimensi kental
”Barat”, melainkan kemenangan sebuah prinsip hidup beradab. Sebuah kemenangan
”demokrasi sebagai roh” dalam bahasa Larry Diamond (2008)!
Masihkah demokrasi hidup sebagai roh dalam
dunia dewasa ini? Inilah pertanyaan sekaligus masalah kita.
Tahun 2012 dikukuhkan oleh PBB sebagai tahun
kerja sama. ”Kerja sama adalah sebuah peringatan kepada masyarakat
internasional bahwa adalah mungkin mengembangkan sekaligus kelangsungan ekonomi
dan tanggung jawab sosial,” kata Sekjen PBB Ban Ki-moon.
Pernyataan ini seharusnya membawa konsekuensi
serius kalau kita lihat dalam konteks sosial global, yaitu dari tujuh miliar
penduduk dunia tahun 2011, 925 juta mengalami kelaparan (13,1 persen). Artinya,
satu dari tujuh orang pasti lapar. Ada 7,6 juta bayi mati (mayoritas akibat
nutrisi buruk); 129 juta anak di negara berkembang underweight alias berat
badan di bawah normal; dan satu dari setiap 15 bayi meninggal di bawah lima
tahun. Jumlah pengangguran dunia 8,7 persen atau sekitar 690 juta orang dan ada
18 persen buta aksara atau 1,3 miliar orang.
Dari seluruh masalah tersebut, porsi
terbanyak ada di negara berkembang. Padahal, negara berkembang adalah pangsa
pasar terluas dan lahan pengerukan sumber alam terbesar. Paradoks ini memberi
konteks yang logis bagi lahirnya kritik terhadap agenda demokratisasi global.
Kritik itu lahir dari kegelisahan yang
konkret. Demokrasi sebagai keyakinan, sebagai roh, telah dipinggirkan oleh
hegemoni materiil para aktor internasional yang berwajah ganda: ”nabi
demokrasi” sekaligus tirani!
Fareed Zakaria dalam The Post-American World
(2008) menguak peluang the rise of the rest, bangkitnya kaum tersisa, sebagai
konsekuensi politik global Amerika yang hitam-putih. Pada titik paling akhir,
kaum tersisa bisa mengakhiri mimpi Amerika.
Maka, musuh demokrasi hari ini dan di masa
depan bukanlah kebangkitan aristokrasi di Timur atau radikalisasi agama di
mana-mana, melainkan tata dan penataan dunia yang tak adil. Inilah konteks yang
paling tepat untuk memaknai seruan Ban Ki-moon.
Prinsip
Keselamatan
Demokrasi bukan eskatologia yang menjanjikan
keselamatan di akhir zaman. Demokrasi adalah prinsip hidup bersama yang tampak,
terukur, dan bersasar pada keselamatan hic et nunc, di sini dan saat ini. Oleh
karena itu, demokrasi tak perlu dibungkus dengan simbol, dengan bahasa
perumpamaan, seperti para penulis apokaliptik pada abad kedua sampai abad
pertama sebelum Masehi yang berusaha mempertahankan keyakinan tentang
Mesianisme di tengah kekosongan wahyu Ilahi agar Israel tabah dalam penindasan.
Demokrasi sebagai keyakinan hidup kekal dalam
diri setiap orang. Maka, tak perlu determinasi agama atau kultural untuk
mengekalkan ”agenda demokratisasi” yang tak demokratis. Juga tak perlu
berlindung di balik dalil ”perang melawan terorisme” untuk mengekalkan kepentingan
ekonomi-politik global.
Demokrasi hidup dalam setiap peradaban. Ia
adalah—meminjam istilah Anthony D Smith (1998)—kekuatan yang membebaskan. Tak
perlu kiasan untuk mempertahankannya, tetapi perlu kebijakan konkret. Demokrasi
benar jadi ”akhir sejarah” kalau tercipta realitas sosial dan politik global
yang betul-betul berorientasi pada pembebasan manusia dari kemiskinan
struktural, diskriminasi, buta huruf, penindasan politik, dan sebagainya.
Kiranya, tahun 2012 sebagai tahun kerja sama
bukan pepesan kosong yang sekadar dipicu oleh keresahan ekonomi setelah
”kejutan Yunani” yang tak mampu membayar utang sehingga turut mengancam masa
depan euro. Perspektif kerja sama 2012 haruslah kerja sama berbasis masalah dan
kebutuhan. Negara yang dalam masalah dan membutuhkan dukungan internasional
menjadi prioritas.
Gejolak politik di Timur Tengah dan kawasan
utara Afrika serta kemiskinan dan pelanggaran HAM di negara berkembang adalah
masalah mendesak. Implikasinya, kerja sama mondial mesti mengarah pada
pencarian solusi yang riil, bukan sekadar propaganda. Demokrasi adalah prinsip
keselamatan yang nyata, bukan sekadar eskatologia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar