Mobil
Esemka: Heroisme Ekonomi?
Mukhaer
Pakkanna, PENELITI EKONOMI-POLITIK CENTER FOR INFORMATION AND DEVELOPMENT STUDIES
(CIDES); REKTOR STIE AHMAD DAHLAN, JAKARTA
Sumber
: KOMPAS, 18 Januari 2012
Menarik melihat euforia pejabat dan
masyarakat menyambut peluncuran mobil merek Esemka, produk para remaja kreatif
sekolah menengah kejuruan negeri di Solo.
Setelah beberapa kali pemerintah gagal
membangun proyek mobil nasional—seperti Timor, Maleo, Kancil, dan Gea—kali ini
antusiasme menyembul kembali. Bedanya, proyek mobil nasional masa Orde Baru
yang diinisiasi pemerintah cenderung lebih politis, sementara mobil Esemka
lebih partisipatif. Mengapa respons publik begitu dahsyat?
Setidaknya, pertama, di tengah laju impor
yang membanjiri pasar domestik, terutama produk kebutuhan pokok masyarakat, ada
kerinduan konsumen untuk menikmati produk lokal berkualitas. Mobil Esemka
adalah jawaban atas kerinduan itu.
Kedua, di tengah tergerusnya keteladanan
pemimpin, Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi), yang membeli langsung mobil
Esemka untuk kendaraan dinas, menjadi contoh menarik strategi pemasaran
sekaligus menghapus kerinduan masyarakat atas lahirnya pemimpin teladan. Publik
merindukan pemimpin yang memberi contoh dalam ucapan dan laku, antara jabatan
dan kebersahajaan.
Ketiga, bibit nasionalisme dan heroisme yang
menstimulasi kebanggaan terhadap produk lokal ternyata masih ada. Mobil Esemka
bisa jadi momentum menyentakkan kesadaran publik terhadap produk dalam negeri
yang dihasilkan anak-anak bangsa.
Nasionalisme Terkubur
Apakah euforia terhadap mobil Esemka bisa dijustifikasi
sebagai wujud bibit nasionalisme di masyarakat? Nasionalisme ekonomi sejatinya
terkait sikap mental (mindset)
bahwa pengelolaan ekonomi negara seharusnya memprioritaskan proses ”nilai
tambah” dari hasil kreativitas anak-anak negeri dalam membangun nasionalisme
ekonomi.
Menurut Bung Hatta (1933), masyarakat adalah
bagian penting dari kegiatan produksi. Merekalah sebenarnya yang menjalankan,
memimpin, dan mengawasi jalannya perekonomian.
Maka, denyut nadi perekonomian sejatinya
dilaksanakan dalam model partisipatif, dengan prakarsa rakyat sebagai
kontribusinya. Bahkan, produknya pun harus berorientasi untuk semua.
Selama ini denyut ekonomi dikelola negara dan
usaha swasta sehingga abai dalam proses pelibatan rakyat. Dasar ekonomi dari
rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat telah lama tergerus karena negara
berkolaborasi dengan korporasi global yang memiliki ”centeng” di dalam negeri.
Liberalisasi ekonomi yang digerakkan negara
kian membuka peluang lahirnya kerakusan korporasi global ataupun domestik. Korporatokrasi
ekonomi semakin menancapkan kukunya (Perkins, 2007). Korporatokrasi
sesungguhnya adalah wujud penyelenggaraan negara oleh orang-orang kaya.
Nyaris semua lini gerak ekonomi tidak luput
dimangsa pengusaha kakap. Hanya ampas-ampas kegiatan ekonomi yang diberikan
kepada rakyat. Rakyat dihisap kekuatan ekonomi raksasa dengan dukungan negara
demi surplus produsen (Sritua Arief, 2003). Tidak mengherankan jika muncul
kekecewaan rakyat, apalagi setelah lahan hidup mereka dirampas pengusaha kakap.
Meletusnya kasus Mesuji (Lampung dan Sumatera Selatan) serta Sape, Bima (Nusa
Tenggara Barat), adalah puncak gunung es yang bisa menular ke tempat lain.
Produk lokal yang selama ini diproduksi oleh
industri rakyat juga dilibas oleh arus liberalisasi. Laju importasi produk yang
sejatinya bisa diproduksi oleh industri rakyat semakin tergilas. Maka,
ketahanan ekonomi rakyat pun semakin rentan dan tidak berdaya.
Secercah Heroisme
Di tengah kemuakan rakyat terhadap penguasaan
aset-aset ekonomi oleh segelintir pengusaha kakap, produk mobil Esemka menjadi
penghibur hati. Mobil lokal ini diproduksi oleh para remaja kreatif. Anehnya,
pejabat yang selama ini memberi ruang liberalisasi ekonomi ternyata ikut
antusias. Itu tandanya pejabat yang sesungguhnya bisa mengambil keputusan untuk
meminimalkan banjirnya barang-barang impor dan membangun prakarsa kekuatan
ekonomi/industri rakyat selama ini sebenarnya tidak mampu atau tidak mau
berbuat apa pun. Pejabat itu telah dikendalikan oleh kekuatan korporatokrasi.
Maka, di tengah euforia mobil Esemka, menjadi
”tamparan” bagi pemerintah bahwa kekuatan laten ekonomi rakyat masih dahsyat.
Tampaknya, mereka kurang bergerak dan melaju cepat karena kurang disapa oleh
berbagai jenis perlindungan negara. Kebijakan insentif, kebijakan pajak rendah,
biaya transportasi murah, dan tingkat suku bunga pinjaman rendah kurang mereka
dapatkan. Mereka didorong bertarung tanpa bekal berarti.
Selain itu, kreativitas anak-anak muda
ternyata selama ini terpendam. Mereka kurang diberi ruang berkreasi dan
berimprovisasi. Ini menandakan pemerintah dan lembaga pendidikan harus
introspeksi diri bahwa pendidikan butuh ruang untuk menggali potensi anak
didik.
Oleh karena itu, antusiasme publik terhadap
produk mobil Esemka seharusnya tidak hanya menjadi euforia, tetapi juga
memunculkan rasa heroisme ekonomi. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar