Absurditas
Ekonomi Nasional
Ahmad Erani
Yustika, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS,
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA; DIREKTUR EKSEKUTIF INDEF
Sumber
: KOMPAS, 18 Januari 2012
Pascareformasi ekonomi 1998 telah memunculkan
kenyataan ganjil. Ekonomi nasional kerap dipuji di luar negeri dan
lembaga internasional, tetapi miskin tepuk tangan dari publik di dalam negeri.
Pemerintah sering mengutip penilaian pihak
luar untuk melegitimasi prestasi, sekaligus menepis fakta-fakta keseharian yang
disampaikan rakyat, yang membalikkan semua klaim pemerintah.
Apa yang aneh dari fenomena ini? Jawabannya
mungkin terdapat dalam tarik-menarik indikator untuk mendefinisikan makna
kemakmuran dan keberhasilan kinerja ekonomi itu sendiri.
Pemerintah merasa cukup melihat kinerja
ekonomi dari pertumbuhan ekonomi (yang
disumbang dari sektor jasa), gemuruh
investasi (yang didorong oleh investasi asing), kepercayaan investor (asing)
terhadap surat utang negara, rasio utang terhadap PDB yang kian kecil (meskipun
APBN berdarah-darah), dan beragam indikator sejenis lainnya.
Paradoks Ekonomi Indonesia
Sebaliknya, rakyat mengukur kemakmuran dan
kinerja ekonomi dari perkara sepele yang dialami setiap hari: harga pangan
pokok, kesempatan pendidikan, keterjangkauan kesehatan, akses transportasi,
partisipasi dalam pekerjaan yang layak, dan jaminan keamanan hidup.
Pertarungan memilih indikator penentu
kemakmuran dan kemajuan ekonomi itulah yang menjadi sumbu perbedaan cara
pandang. Negara dan lembaga asing melihat Indonesia sebagai kawasan yang begitu
memesona dengan alat ukur mereka, sedangkan rakyat merasakan kehidupan semakin
pahit sesuai kenyataan hidup yang mereka rasakan.
Angka pengangguran terbuka diberitakan terus
turun, tetapi rakyat dibiarkan berjuang mencari penghidupan di sektor informal
karena 65 persen dari total angkatan kerja berada di sektor informal. Pola yang
sama terjadi pada data kemiskinan. Maka, paling tidak ada empat paradoks
pemantik pudarnya apresiasi rakyat terhadap kinerja ekonomi pemerintah.
Pertama, kebutuhan untuk menyelenggarakan
pelayanan dan jaminan sosial semakin besar, tetapi negara justru terus-menerus
dijepit untuk menjual aset ekonominya via privatisasi. Akibatnya, negara justru
terjebak menyantuni pelayanan publik dasar akibat privatisasi.
Profit BUMN semakin besar, tetapi sebagian
sahamnya tidak lagi dimiliki negara. Kekuasaan pemerintah untuk menafkahi
kebutuhan masyarakat kecil juga meredup, misalnya memengaruhi bank (BUMN) untuk
menyalurkan kredit ke sektor pertanian. Kedua, pertumbuhan ekonomi bisa dihela
dengan relatif cepat pascareformasi ekonomi, bahkan pada 2011 bisa mencapai 6,5
persen. Namun, data ketimpangan pendapatan secara sadar disembunyikan. Gini
Rasio Indonesia pada 2007 dan 2010 mencapai rekor tertinggi selama ini: 0,38
(BPS, 2011).
Rezim ini percaya liberalisasi akan
menyehatkan persaingan ekonomi, tetapi melupakan aspek yang mendasar: menata
kekuatan ekonomi domestik.
Ketiga, sumber daya ekonomi dan otoritas
negara sebagai regulator dipereteli lewat privatisasi dan deregulasi. Namun,
ketika korporasi ambruk (entah oleh krisis ataupun kejahatan yang dilakukan),
negara diminta untuk menyelamatkan. Inilah absurditas paripurna itu!
Krisis ekonomi 1997/1998 menjadi babak baru
kisah ini ketika negara harus mengeluarkan lebih dari Rp 600 triliun untuk
mengongkosi (bail out) perusahaan dan perbankan yang bangkrut, diteruskan lagi
kasus Bank Century. Paradoks terakhir, ilusi modernisasi lewat proyek
industrialisasi. Transformasi ekonomi telah berjalan sejak dekade 1980-an, yang
menggeser peran sektor pertanian setahap demi setahap, digantikan dengan sektor
industri dan jasa. Namun, seperti halnya liberalisasi, transformasi ekonomi
melangkah di atas kealpaan-kealpaan yang kasatmata: keterampilan dan pendidikan
tenaga kerja yang keropos, praktik mafia ekonomi yang menjamur, dan ekonomi
yang rapuh.
Mendamaikan Tegangan
Paparan di atas menjelaskan bahwa apabila
pemerintah berharap kinerjanya mendapat simpati dari rakyat (bukan hanya dari
pihak luar), pilihan-pilihan kebijakannya tidak boleh terjebak dalam situasi
saling meniadakan (trade-off).
Pertama, pemisahan tanggung jawab sosial
negara dan pelepasan kewenangan negara untuk mengelola sumber daya ekonomi
merupakan sesat pikir yang tidak boleh diamini. Konstitusi justru mengamanatkan
tiga bidang penting yang wajib dikuasai negara: hajat hidup orang banyak,
sektor strategis, dan sumber daya alam. Di luar itu, seluruh kegiatan ekonomi
diserahkan kepada privat. Jadi, sama sekali tidak ada benturan antara kebebasan
ekonomi individu dan pengelolaan sumber daya ekonomi oleh negara.
Kedua, memagari kebebasan ekonomi
(liberalisasi) di satu sisi dan penataan aset ekonomi di sisi lain merupakan
paket kebijakan yang tidak bisa ditunda. Sebab, dalam lima tahun terakhir terdapat
tendensi percepatan pertumbuhan ekspor yang semakin tertatih menghadapi
pertumbuhan impor sehingga surplus perdagangan mengecil. Tahun 2006, saat nilai
ekspor menembus 100,6 miliar dollar AS, surplus perdagangan mencapai 44 miliar
dollar AS. Namun, pada 2010, ketika nilai ekspor 168 miliar dollar AS, surplus
perdagangan justru merosot tinggal 22 miliar dollar AS (BPS, 2011).
Berikutnya, konsentrasi aset ekonomi, seperti
modal dan tanah, yang menumpuk pada segelintir individu/korporasi membuat ketimpangan
semakin besar sulit dinalar. Jadi, agenda reforma agraria bukan hanya
kebutuhan, melainkan juga keniscayaan. Berdasarkan data Perkumpulan Prakarsa
(2011), diolah dari The New York Times (2011) dan Forbes (2010), 40 orang
paling kaya di Indonesia memiliki aset setara 10,3 persen dari PDB! Angka ini
bahkan lebih parah dari AS, Inggris, dan Jepang.
Ketiga, membangun kerangka pikir yang jelas
dan logis. Jika peran negara dalam perekonomian relatif eksesif, pemerintah
boleh bertanggung jawab atas sebagian kebangkrutan ekonomi, termasuk sektor
privat. Sebaliknya, jika negara tidak ikut campur dalam dinamika ekonomi, tidak
ada alasan bagi pemerintah untuk menanggung kejatuhan korporasi swasta. Jika
model abu-abu yang dipilih, pemerintah selalu menjadi bandar saat pelaku
ekonomi sekarat.
Terakhir, modernisasi ekonomi boleh saja
menyundul langit, tetapi keberadaannya harus menjejak aktivitas ekonomi yang
membumi. Bayangkan absurditas ini: 53 persen garam, 60 persen kedelai, 30
persen daging, dan 70 persen susu harus diimpor. Akibatnya, meskipun rata-rata
inflasi sepanjang 2005-2010 dapat ditekan, harga beras naik 120 persen, kedelai
85 persen, telur 100 persen, cabai 120 persen, daging 90 persen, dan jagung 700
persen! Inilah inflasi riil yang dibayar oleh masyarakat. Jadi, bagaimana
mungkin mereka memberikan tepuk tangan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar