Hukum
Bak Sarang Laba-laba
M. Ali Zaidan,
PENGAMAT
HUKUM
Sumber
: KOMPAS, 19 Januari 2012
Sejatinya semua orang sama di hadapan hukum.
Namun, dalam praktik, yang kuat dan yang lemah punya kedudukan tak seimbang,
dalam pengertian terjadi diskriminasi dalam penanganan hukum.
Masyarakat kecil dengan mudah
dikriminalisasi, sementara yang kuat menikmati berbagai fasilitas yang
disediakan oleh hukum. Kasus yang terjadi di Mesuji dan Bima mengindikasikan
hal itu. Masyarakat dengan gampang dikriminalisasikan, bahkan harus
mempertaruhkan jiwa, sementara aparat atas nama hukum dengan leluasa melakukan
aksi yang memilukan.
Kasus pencurian sandal di Palu merupakan
gambaran nyata kedudukan yang timpang tersebut. Jauh sebelumnya, sejumlah kasus
pernah terjadi di negara yang menyebut dirinya negara hukum ini.
Hukum dipahami sebagai teks undang-undang
yang kaku dan keras, tetapi abai dihayati bahwa substansi hukum adalah
memberikan perlindungan terhadap siapa pun meskipun pelanggar hukum sekalipun.
Konsep-konsep ideal tentang hukum menjadi kata-kata absurd yang tidak terwujud
dalam kenyataan. Jauh sebelumnya, di kalangan hukum dikenal adagium lex dura
sed tamen scripta: hukum/undang-undang itu memang keras karena memang
demikianlah tujuan diciptakannya.
Namun, harus dipahami bahwa hukum adalah
buatan manusia. Oleh karena itu, hanya manusia yang dapat menjadi subyek hukum.
Artinya, hukum diciptakan untuk melahirkan keadilan karena memang demikianlah
amanah kemanusiaan yang diemban oleh hukum. Dalam ranah faktual, misi tersebut
harus semakin mengemuka.
Menegakkan hukum bukan untuk tujuan keadilan
hanya akan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Jika hati nurani kemanusiaan
terusik, cara-cara lunak, seperti aksi mengumpulkan sandal jepit, sampai
tindakan anarkistis merupakan wujud ketidakpuasan publik akibat penegakan hukum
yang bertentangan dengan hati nurani.
Si Kuat dan si Lemah
Mereka yang kuat mampu membeli fasilitas
hukum, sementara yang lemah jadi korban. Dengan tepat Daniel Drew melukiskan
keadaan itu dengan kiasan bahwa hukum ibarat sarang laba-laba. Ia hanya efektif
untuk menjerat serangga-serangga kecil. Ketika berhadapan dengan monster yang
lebih besar, sarang laba-laba itu dihancurkannya.
Keadaan inilah yang tengah terjadi di negeri
ini. Para pelaku korupsi—mulai dari hulu hingga hilir—menikmati berbagai
privilese sehingga korupsi semakin menjadi-jadi. Membicarakan efek jera menjadi
tidak relevan. Awam memahami bahwa hukum itu hanya tajam ke bawah, tetapi
tumpul ke atas. Hukum hanya dipahami sebagai teks undang-undang, tetapi
dilupakan bahwa substansi hukum itu sesungguhnya adalah keadilan. Sementara
kepastian hukum hanya sarana untuk mencapai tujuan akhir yang menyejahterakan.
Mengapa hukum hanya tajam ke bawah, tetapi
tumpul ke atas? Talcott Parson memberi jawaban bahwa dalam tataran faktual,
kekuasaan (politik) memiliki arus energi yang kuat dibandingkan subsistem
sosial lain, termasuk di dalamnya hukum. Apabila politik berhadapan dengan
hukum, yang terakhir ini (baca: hukum) akan disubordinasikan oleh politik.
Maka, jangan heran jika dalam kasus korupsi,
penegakan hukum berjalan terseok-seok, bahkan terkadang tanpa arah, kalau tidak
ingin dikatakan berbalik arah. Penghukuman pun terkadang hanya bersifat
minimalis.
Mengapa? Karena aktor-aktor itu memiliki
sumber daya yang jauh melebihi hukum. Akan tetapi, ketika untuk kepentingan
powerless, hukum jauh panggang dari api. Hal itu tidak lain karena kelompok
terakhir ini tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan prosedur hukum yang
harus dibayar mahal.
Lebih ironis lagi, penegak hukum
terus-menerus meneriakkan jargon kepastian hukum. Padahal, jika kepastian hukum
terlalu disanjung-sanjung akan membenarkan ungkapan summum ius, summa iniuria:
keadilan yang tertinggi adalah ketakadilan yang tertinggi. Itulah yang terjadi
dalam kasus AAL di Palu.
Itukah tujuan penegakan hukum kita? Penulis
terkenal William Shakespeare menuangkannya dengan ungkapan the first thing we
do, let’s kill all the lawyers tidak lain karena para pengacara telah
kehilangan hati nurani. Keadilan kepastian hukum yang digembar-gemborkan tidak
lain hanya sebuah slogan yang hanya berpihak kepada yang berpunya. Sarang
laba-laba itu hanya efektif ketika berhadapan dengan orang kecil, tetapi
bertekuk lutut di kaki penguasa. Haruskah kejadian seperti yang dialami AAL
terus berulang?
Orang di Selandia Baru mengolok-olok kita
dengan ungkapan Indonesia’s new simbol for injustice: sandals. Dalam tajuk
Washington Post ditulis: Indonesians dumb flip-flops at police station in
symbol of frustration over uneven justice.... Kiranya reformasi paradigmatis penegakan
hukum harus dimulai saat ini untuk menjawab cemoohan publik internasional itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar