Capres
2014, Monopoli Parpol
Salahuddin Wahid,
PENGASUH
PESANTREN TEBUIRENG
Sumber
: KOMPAS, 19 Januari 2012
Dua tahun sebelum Pemilihan Umum Presiden
2014 mulai muncul sejumlah nama yang ingin maju sebagai calon presiden atau
yang dianggap sebagai tokoh yang layak ditampilkan. Mereka datang dari dalam
ataupun dari luar partai. Siapa yang betul-betul akan muncul menjadi calon?
Kita bisa belajar dari Pilpres 2004 dan 2009.
Pada pertengahan 2003, Kompas memuat dua halaman foto puluhan tokoh yang
dianggap punya potensi jadi capres/cawapres. Dari sepuluh capres dan cawapres,
hanya satu nama yang tak tercantum dalam daftar itu. Dalam Pilpres 2009, jumlah
calon berkurang jadi enam, empat di antaranya tokoh Pilpres 2004.
Tokoh baru adalah Prabowo dan Boediono. Dari
12 nama capres/cawapres, ada yang pernah jadi jenderal TNI AD, pernah jadi
menteri, pernah jadi pejabat tinggi negara, dan ada tokoh ormas Islam.
Tiga Partai
Dalam Pilpres 2014 diperkirakan batas minimal
perolehan suara untuk bisa mengajukan
capres tetap 20 persen. Diduga tiga
partai yang akan mendapat suara tinggi, yaitu Partai Demokrat (PD), Partai
Golkar, dan PDI-P. Kalau dua dari tiga partai itu bergabung, hanya akan ada dua
pasang calon. Peluang PD dan PDI-P bergabung amat kecil.
Kalau ambang batas minimal jumlah perolehan
suara partai untuk masuk DPR dipatok lima persen, tidak banyak partai menengah
yang bisa lolos, apalagi partai-partai kecil. Kalau ambang batas itu diturunkan
menjadi empat persen, akan lebih banyak yang lolos.
Tampaknya partai-partai yang bisa mengajukan
capres/cawapres tidak punya tokoh yang menjadi idaman masyarakat luas. Aburizal
Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar tampaknya akan menjadi capres dari
partai berlambang pohon beringin ini. Masyarakat tidak banyak tahu apa prestasi
Aburizal Bakrie yang menonjol untuk bangsa dan negara sehingga dapat diharapkan
akan menjadi presiden yang memihak rakyat. Hal yang diingat oleh masyarakat
adalah sikap tidak menepati janji terhadap korban Lapindo.
Megawati masih menjadi andalan PDI-P karena dalam
jajak pendapat masih mendapat suara tertinggi kalau tidak ada Susilo Bambang
Yudhoyono. Kita tidak mencatat prestasi yang menonjol selama Megawati menjadi
presiden 2001-2004. Dengan usia yang meningkat, kita tidak banyak bisa berharap
dari Megawati. Di dalam PDI-P ada sejumlah
tokoh muda berpotensi, tetapi tidak
bisa muncul karena adanya politik dinasti.
PD tidak punya tokoh internal yang layak
ditampilkan. Anas Urbaningrum, walaupun secara hukum tidak atau belum terbukti
telah melakukan tindak pidana korupsi, secara politis sudah sulit menjadi
capres/cawapres. Ada kelompok internal PD yang ingin mengajukan Ny Ani
Yudhoyono, tetapi tampaknya Presiden Yudhoyono tidak mendukung. Mungkinkah PD
mencari tokoh di luar partai yang layak menjadi capres dari berbagai segi:
kemampuan, integritas, dan tingkat keterpilihan (elektabilitas)?
Calon dari Luar Partai
Di luar ketiga parpol itu, ada sejumlah tokoh
parpol yang secara terbuka sudah menyatakan ingin jadi capres, yaitu Prabowo
(Partai Gerindra), Hatta Rajasa (Partai Amanat Nasional), dan Suryadharma Ali
(Partai Persatuan Pembangunan). Ketiganya akan mendapati hambatan dalam hal
minimnya dukungan masyarakat terhadap partai dan pribadi. Mereka harus kerja
keras dan cerdas meningkatkan dukungan masyarakat, tetapi tidak mudah bagi
mereka untuk melakukannya.
Penting untuk dicatat bahwa di luar parpol
ada tokoh yang oleh banyak pihak dianggap punya potensi menjadi cawapres,
bahkan menjadi capres walaupun peluang untuk dicalonkan kecil. Tokoh itu ialah
Jusuf Kalla (JK), Mahfud MD, Jenderal Pramono Edhie, dan yang terakhir muncul
adalah Dahlan Iskan. Fenomena kemunculan Dahlan Iskan menegaskan pola 2004 dan
2009: bahwa untuk menjadi capres/cawapres harus menjadi menteri atau unsur
pimpinan lembaga tinggi negara. Tanpa menjadi Menteri BUMN, tidak mungkin nama
Dahlan Iskan melejit.
Tentu potensi itu akan tetap jadi potensi
kalau tidak ada dasar kuat memunculkan mereka. Namun, yang paling penting
adalah tingkat keterpilihan (elektabilitas) mereka yang perlu diukur secara berkala.
Tiga dari empat tokoh itu dikenal luas oleh masyarakat dan sering tampil di
media cetak dan elektronik. JK telah terbukti menjadi pemimpin yang efektif,
tetapi punya kelemahan dalam masalah usia walaupun kesehatannya masih cukup
baik. Dahlan Iskan perlu membuktikan dulu kinerjanya sebagai Menteri BUMN. Dari
segi usia tidak terlalu tua, tetapi faktor kesehatannya perlu mendapat
perhatian.
Jenderal Pramono Edhie yang mulai
disebut-sebut sejumlah tokoh PD juga harus membuktikan dulu prestasinya. Rakyat
tidak banyak mengenal tokoh ini karena jarang muncul di media. Keberadaan
sebagai ipar Yudhoyono bisa bernilai positif, tetapi bisa juga sebaliknya.
Mahfud MD sudah cukup baik menunjukkan kinerja sebagai Ketua Mahkamah
Konstitusi. Ia dikenal sebagai tokoh yang punya kemampuan, berani, dan
berintegritas.
Mungkinkah Calon non-Partai?
Memang masih ada satu-dua tokoh yang
menjanjikan. Namun, rasanya sulit untuk mengharap mereka muncul sebagai tokoh
baru yang layak ditampilkan sebagai capres/cawapres. Berarti capres/cawapres
yang bisa muncul adalah monopoli parpol besar. Kalau tidak ada hal-hal luar
biasa atau adanya ”langkah kuda” sejumlah parpol menengah untuk berani
menampilkan capres di luar partai, kita akan mempunyai pilihan yang tidak
menyenangkan.
Besar kemungkinan kita terpaksa memilih
capres yang belum jelas seberapa besar sumbangsihnya bagi rakyat, tetapi bisa
menjadi capres hanya karena dia mempunyai dana besar untuk membuat dirinya
terpilih sebagai ketua umum partai besar. Atau mungkin kita terpaksa memilih
capres karena dia adalah ketua umum partai besar tetapi tidak jelas benar apa
kemampuannya untuk bisa memikul tanggung jawab berat memimpin negara dengan 240
juta rakyat yang punya segudang masalah.
Semoga masih ada hati nurani di antara
pemimpin partai-partai menengah untuk mau bersama-sama mencari calon yang
memenuhi kriteria kemampuan, karakter, dan integritas, serta tingkat
keterpilihan tinggi. Kalau mau membuka mata, pikiran, dan hati, masih cukup
waktu untuk mencari tokoh tersebut. Kalau partai-partai itu lebih memikirkan
kepentingan sendiri daripada kepentingan bangsa dan negara, dikhawatirkan tidak
akan mampu membawa rakyat kecil menuju kesejahteraan yang merata sesuai janji
kemerdekaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar