Mengendalikan
Defisit Anggaran
Makmun Syadullah, PENELITI UTAMA BADAN KEBIJAKAN FISKAL KEMENTERIAN KEUANGAN
Sumber : KORAN TEMPO, 5 Desember 2011
Kebijakan utang luar negeri telah ada sejak masa Orde Lama, namun
pembengkakan utang terjadi pada masa ketika pemerintahan Orde Baru berkuasa.
Pada saat itu mungkin tidak terpikirkan bahwa dampak utang luar negeri akan
terus membebani dan
menggerus anggaran negara hingga masih terasa sampai saat ini.
Akibatnya, alokasi anggaran untuk belanja pembangunan semakin minim.
Akumulasi utang luar negeri terus menggunung akibat bertambahnya
jumlah utang luar
negeri, khususnya saat terjadi krisis moneter pada 1998. Krisis
mengakibatkan rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS, sehingga negara terbebani
oleh membengkaknya jumlah utang. Kondisi ini ikut menyumbang keterpurukan anggaran
negara dengan defisit yang semakin besar, belum lagi beban pembayaran bunga utang
luar negeri setiap tahunnya.
Dalam RAPBN 2011, pemerintah mematok rasio utang terhadap PDB
sebesar 1,8 persen. Namun, karena adanya perubahan sejumlah asumsi, terutama
terkait dengan harga minyak global, Kementerian Keuangan memperkirakan defisit
anggaran 2011 akan meningkat mencapai 2,1 persen atau setara dengan Rp 151,1
triliun. Padahal, sebelumnya, defisit anggaran hanya dipatok Rp 124,7 triliun.
Dilihat dari rasio utang terhadap PDB, yang merupakan salah satu
indikator dari kondisi perekonomian suatu negara, rasio utang terhadap PDB saat
ini sebesar 28,2 persen.
Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan pada masa krisis
tahun 1998, yang
mencapai 151,2 persen. Pemerintah memperkirakan rasio utang
terhadap PDB dapat
ditekan hingga 25 persen pada 2011.
Meskipun rasio utang terhadap PDB terus menurun, pemerintah perlu
mewaspadai
dampak utang, mengingat pada 2012 ekonomi global terancam terkena
dampak krisis Eropa dan Amerika. Dampak langsung dari krisis ini mungkin kecil,
mengingat ekspor Indonesia ke kawasan Eropa hanya mencapai 10 persen, namun
dampak tidak langsung diperkirakan cukup besar. Dampak tidak langsung ini datang
melalui Jepang dan Singapura, di mana kedua negara ini diperkirakan akan terkena
dampak krisis keuangan global itu. Apabila dampak krisis terhadap kedua negara ini
cukup signifikan, secara tidak langsung Indonesia juga terkena imbasnya karena
pasar ekspor utama Indonesia dewasa ini adalah Jepang dan Singapura.
Dampak ini dikhawatirkan akan memberi pengaruh yang sangat tinggi
terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Apabila pertumbuhan ekonomi Indonesia
terganggu, penerimaan negara juga berpotensi terganggu. Ujungujungnya adalah
defisit keuangan negara perlu diwaspadai akibat risiko tidak tercapainya target
penerimaan negara. Krisis global secara tidak langsung juga akan berdampak
semakin mahalnya biaya penerbitan surat utang negara. Meskipun pada 2012
pemerintah tidak akan memanfaatkan sumber pembiayaan dari luar negeri,
pemanfaatan dana dalam negeri pun akan kena imbas krisis global. Ini karena sumber-sumber
dalam negeri sebenarnya juga berasal dari capital inflow.
Gambaran di atas mengisyaratkan bahwa APBN 2012 sangat rentan
terhadap defisit. Di satu sisi volatilitas harga minyak global akan berdampak
pada defisit anggaran negara, di sisi yang lain krisis yang melanda Amerika Serikat
dan kawasan Eropa akan berdampak semakin mahalnya biaya untuk menutup defisit anggaran.
Tentunya, menghadapi kondisi seperti ini diperlukan kebijakan
pemerintah yang super hati-hati. Pemerintah harus mencari alternatif lain untuk
mencapai target pertumbuhan
ekonomi yang telah ditetapkan untuk 2012. Salah satu terobosan
yang dapat ditempuh
adalah dengan memacu laju konsumsi dalam negeri. Dalam konteks
inilah, pemerintah
tampak ragu dalam mengambil kebijakan apakah akan menaikkan harga
bahan bakar
minyak, membatasi bahan bakar minyak bersubsidi, atau melakukan
penjatahan bahan
bakar minyak bersubsidi. Apa pun pilihannya secara langsung akan
berdampak pada daya beli masyarakat, yang ujung-ujungnya akan menurunkan laju
konsumsi masyarakat.
Dalam konteks dengan utang, pemerintah sebaiknya terus berusaha
menekan laju pertumbuhan defisit anggaran agar rasio utang terhadap PDB dapat
diturunkan. Hal ini dapat ditempuh melalui keharusan, bukan sekadar imbauan,
kepada seluruh kementerian, khususnya pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran
pada kementerian/lembaga/pemerintah daerah untuk menghemat anggaran yang akan
dialokasikan pada tahun 2012. Penghematan yang bisa dilakukan, misalnya, mengurangi
frekuensi perjalanan dinas, baik dalam perjalanan dinas dalam negeri maupun luar
negeri, yang tidak perlu dan tidak mendesak; mengurangi acara seminar,
sosialisasi, dan rapat-rapat dinas di luar kota dengan menggunakan hotel mewah;
dan sebagainya. Selama ini kegiatan-kegiatan seperti itu lebih bersifat untuk
menambah penghasilan pegawai sehingga, kalaupun dikurangi, anggarannya tidak
akan berdampak pada pencapaian target-target APBN.
Sementara itu, dari sisi belanja modal, dilakukan penghematan
dengan mengkaji kembali hal-hal yang tidak perlu dan kurang bermanfaat, serta
melakukan evaluasi atas standar berbagai jenis kegiatan, barang, dan jasa yang dapat
ditugaskan kepada kementerian terkait untuk menutup ruang terjadinya
penyimpangan oleh siapa pun yang bertanggung jawab atas program tersebut. Di
lain pihak, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran harus dapat
mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan kepada
kementerian/lembaga/pemerintah daerah secara transparan dan akuntabel. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar