Kebebasan
“Pilih-Pilih”
Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL
(JIL)
Sumber : JIL, 5 Desember 2011
Kebebasan
beragama (religious freedom), saya kira, merupakan prinsip yang saat ini sudah
diterima sebagai norma universal oleh banyak umat beragama dari tradisi
keagamaan manapun, tak terkecuali umat Islam. Mungkin masih ada golongan yang
berpikiran triumfalistik (pikiran yang menghendaki agama tertentu mengalahkan
dan menundukkan agama-agama lain [dari kata “triumph” yang artinya: menang])
dan berpendapat bahwa tak ada kebebasan beragama; sebaliknya, semua orang
haruslah dipaksa memeluk agama tertentu yang dianggap “paling benar”.
Golongan
yang triumfalistik itu, saya kira, jumlahnya tidaklah banyak. Sebagian besar
umat beragama saat ini pelan-pelan sudah bisa menerima gagasan tentang
kebebasan beragama sebagai norma dasar yang berlaku universal. Berdasarkan
norma ini, seseorang tak bisa dipaksa untuk memeluk agama tertentu, entah Islam
atau agama-agama lain. Kepemelukan seseorang terhadap agama atau sistem kepercayaan
apapun haruslah didasarkan pada pilihan bebas orang yang bersangkutan.
Yang
menarik, norma kebebasan beragama ini mendapat justifikasi dari dalam tradisi
agama itu sendiri. Dalam kasus Islam, misalnya, kita jumpai sejumlah ayat dalam
Quran yang menegaskan tentang pentingnya norma ini. Ayat yang paling populer
yang menyokong norma kebebasan beragama adalah Al-Baqarah:256. Ayat itu
menegaskan, la ikraha fi ‘l-din—tak ada paksaan dalam beragama.
Marilah
kita tengok sebentar, bagaimana sejarah munculnya ayat di atas itu. (Ingat,
ayat dalam Quran pun memiliki sejarah, konteks yang melatari kemunculannya;
prinsip historisitas ini penting untuk terus diperhatikan). Saya akan kutipkan
keterangan Al-Tabari (839-923 M) dalam tafsirnya yang masyhur Jami’ al-Bayan
‘An Ta’wil Ayi ‘l-Quran, tentang sabab al-nuzul atau alasan turunnya ayat
tersebut:
Ada
“gugon tuhon” atau mitos tertentu yang berkembang di kalangan masyarakat Arab
di Madinah pada zaman pra-Islam. Mereka percaya, jika seorang anak memeluk
agama Yahudi, maka umurnya akan panjang. Sebab, demikian kepercayaan mereka,
agama Yahudi lebih tinggi derajatnya ketimbang Agama bangsa Arab. Demikianlah,
perempuan-perempuan Arab di Madinah yang memiliki anak dan selalu meninggal
saat masih kecil, membuang kaul atau ber-nazar akan meyahudikan anak-anak yang
lahir dari rahim mereka, dengan harapan anak-anak itu akan berumur panjang.
Saat
Banu al-Nadir, salah satu suku Yahudi, diusir oleh Nabi dari Madinah pada 628
M, karena berkomplot dengan suku-suku Arab lain untuk menyerang komunitas Islam
yang baru berdiri di Madinah dalam Perang Parit (Ghazwa al-Khandaq), sebagian
orang-orang Arab dari suku Ansar risau dan bertanya kepada Nabi: Bagaimana
dengan anak-anak kami yang berada di tengah-tengah suku Yahudi dan memeluk agama
itu? Apakah mereka juga harus terusir bersama dengan orang-orang Yahudi dari
Madinah? Bolehkah kami memaksa anak-anak kami itu masuk Islam agar tetap
tinggal bersama kami di Madinah? Saat itulah turun Al-Baqarah:256: tak ada
paksaan dalam agama. Prinsip tentang kebebasan beragama juga ditegaskan oleh
sejumlah ayat lain dalam Quran: 10:99-100, 108; 18:29; 88:21-22.
Yang
menjadi persoalan adalah: jika kebebasan beragama diterima sebagai norma
universal, kenapa kita, saat ini, masih menyaksikan banyak sekali kasus-kasus
diskriminasi dan kekerasan terhadap sekte-sekte minoritas dalam Islam, seperti
Syiah atau Ahmadiyah?
Beberapa waktu terakhir ini, kita menyaksikan sejumlah
kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah di berbagai daerah; juga kekerasan terhadap
Syiah di Madura, misalnya. Di Pakistan, kabar tentang kekerasan terhadap jamaah
Ahmadiyah dan Syiah, hampir rutin kita dengar dari waktu ke waktu.
Pertama-tama,
haruslah dikatakan bahwa tindakan kekerasan semacam itu tak ada hubungannya
dengan Islam, sebab Islam sama sekali tak bisa membenarkan tindakan semacam
itu. Islam menganut norma yang sangat jelas: tak ada paksaan dalam beragama.
Ini norma universal yang tak dapat dikualifikasi atau dibatalkan dalam keadaan
apapun. Juga, Islam adalah agama yang menganut prinsip perdamaian dan kewelasan
(compassion). Setiap hari, umat Islam melaksanakan sembahyang lima kali, dan
mengawali ibadah hariannya itu dengan bacaan al-Fatihah yang dibuka dengan
formula yang sangat terkenal, formula basmalah: Dengan nama Tuhan yang Pengasih
dan Penyayang. Kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang atas nama Islam
beberapa waktu terakhir ini , entah terhadap golongan di dalam atau di luar
Islam, adalah tindakan yang, dari kaca mata Islam, tak bisa dibenarkan.
Hal
berikutnya yang harus dikatakan ialah: kekerasan atas nama agama itu memiliki
faktor yang kompleks. Kerapkali Islam hanyalah dipakai untuk menjustifikasi
atau membungkus alasan-alasan lain yang tersembunyi, misalnya alasan-alasan
yang jauh lebih “material” sifatnya. Meskipun, harus diakui, alasan dan
argumentasi keagamaan tetaplah menduduki posisi penting dalam kerangka berpikir
yang dianut oleh kelompok-kelompok pelaku kekerasan atas nama Islam tersebut.
Kembali
ke pertanyaan awal: kenapa kekerasan terhadap sekte-sekte dan golongan dalam
Islam itu tetap dan terus terjadi? Saya menduga, salah satunya, di luar
faktor-faktor lain yang lebih materialistik sifatnya, ialah karena adanya
kecenderungan pada golongan tertentu dalam Islam untuk mudah menganggap sesat,
kafir, musuh, atau murtad golongan-golongan lain yang mempunyai tafsiran
berbeda dalam lapangan akidah. Ini kecenderungan yang sudah ada sejak ratusan
tahun yang lalu, dan, mestinya, haruslah sudah berhenti saat ini, karena hanya
akan membahayakan kehidupan umat yang damai.
Pandangan
yang mudah mengkafirkan atau menyesatkan golongan lain yang berbeda itu, dalam
banyak kasus, mempunyai implikasi empiris yang membatasi atau bahkan
menghilangkan sama sekali kebebasan keyakinan dan beragama dari golongan yang
disesatkan itu. Ini terjadi pada kelompok Ahmadiyah, juga pada kelompok Syiah,
jika kecenderungan intoleran terhadap kelompok yang terakhir ini tak segera
dihentikan. Membatasi keyakinan sekte tertentu, apalagi melarangnya dengan
alasan, sekte tersebut menyimpang dan sesat, jelas berlawanan dengan pesan
pokok yang terkandung dalam Al-Baqarah:256 di atas, selain, tentunya, dengan
konstitusi negara kita yang menjamin kebebasan keyakinan bagi semua golongan,
tanpa diskriminasi apapun.
Dalam
penafsiran saya, kebebasan yang dimaksud dalam Al-Baqarah:256 mencakup dua
jenis kebebasan sekaligus. Pertama, kebebasan eksternal, yakni kebebasan bagi
seseorang untuk masuk atau tidak masuk ke dalam agama tertentu. Kedua,
kebebasan internal, yakni kebebasan bagi seseorang untuk memilih sekte, mazhab,
dan golongan tertentu dalam agama yang dipeluk oleh yang bersangkutan. Dengan
demikian, sesorang bebas untuk memeluk atau tidak memeluk agama Islam,
misalnya. Manakala orang itu memutuskan untuk masuk Islam, maka ia juga
memiliki kebebasan untuk mengikuti golongan apapun yang ada dalam Islam: Sunni,
Syiah, Mu’tazilah, Wahhabiyah, Ahmadiyah, dsb. Sebab, Islam bukanlah entitas
yang monolitik; di dalam Islam, sejak masa-masa formatifnya sendiri, kita
jumpai banyak sekte, mazhab, dan golongan yang berbeda-beda.
Tampaknya,
penafsiran yang saat ini umum diikuti oleh umat Islam terhadap ayat 2:256 itu
masih sebatas pada kebebasan eksternal saja, yakni kebebasan seseorang untuk
masuk atau tak masuk ke dalam Islam, atau agama-agama yang lain. Tetapi, kebebasan
internal tampaknya kurang diperhitungkan, bahkan cenderung ditolak. Saya
melihat suatu anggapan yang secara sembunyi-sembunyi berkembang di kalangan
umat: bahwa seseorang haruslah mengikuti “sekte” tertentu yang benar, bukan
yang sesat, dalam Islam. Dengan kata lain, seseorang tak bebas untuk mengikuti
sekte yang oleh golongan tertentu dianggap “sesat”. Pertanyaannya: Sesat
menurut siapa? Sebab, golongan tertentu bisa saja dianggap sesat oleh golongan
lain, sementara oleh kelompok yang mengikutinya, tentulah ia adalah sekte yang
lurus, bukanlah sesat sama sekali.
Tafsiran
yang konsisten terhadap Al-Baqarah:256 itu haruslah sedemikian rupa sehingga
mencakup dua jenis kebebasan sekaligus – kebebasan eksternal dan kebebasan
internal. Jika kita hanya membatasi cakupan kebebasan yang dimaksud dalam ayat
itu pada kebebasan eksternal saja, maka saya menyebutnya sebagai kebebasan
selektif, kebebasan yang “pilih-pilih” saja. Wa ‘l-Lahu a’lam bi ’l-shawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar