Kamis, 10 Juni 2021

 

Membaca Polarisasi Politik

Wawan Sobari ;  Associate Professor Bidang Politik Kreatif FISIP Universitas Brawijaya

KOMPAS, 09 Juni 2021

 

 

                                                           

Beberapa hasil riset opini terbaru menunjukkan perbedaan respons publik terhadap kebijakan dan program pemerintah. Dengan membandingkan antara respons pemilih Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi (basis Pemilu Presiden 2019), tampak disparitas opini itu.

 

Hal itu, misalnya, terkait pendapat atas RUU Cipta Kerja, Survei SMRC (8-11 Juli 2020) menemukan pengetahuan pemilih Prabowo lebih tinggi daripada pemilih Jokowi. Namun, di antara responden yang tahu, dukungan pemilih Jokowi terhadap RUU (70 persen) lebih tinggi dari pemilih Prabowo (56 persen).

 

Survei lainnya mengenai kesediaan warga menerima vaksin Covid-19. Survei nasional Indikator (1-3 Pebruari 2021) menemukan kepercayaan terhadap efektivitas vaksin lebih rendah 15,1 persen di kalangan pemilih Prabowo-Sandi (45,4 persen) ketimbang pemilih Jokowi-Ma’ruf (59,5 persen). Kesediaan divaksin para pemilih Prabowo-Sandi (49,2 persen) pun lebih rendah dibanding pemilih Jokowi-Ma’ruf (59,6 persen).

 

Pandangan utama

 

Perbedaan respons terhadap kebijakan dan program pemerintah dalam survei nasional tersebut bisa dimaknai sebagai polarisasi politik. McCarty (2019) menafsirkan situasi polarisasi sebagai keadaan semakin terpecahnya publik dan para pemimpinnya dalam kebijakan publik, orientasi ideologis, dan keterikatan partisan.

 

Bukti-bukti akademik pengutuban politik tampak dalam hasil-hasil jajak pendapat nasional SMRC dan Indikator lainnya. Pertama, survei nasional Indikator (13-17 April 2021) mengungkap bahwa mayoritas publik tahu (82,5 persen) Prabowo merupakan Capres 2019 dan sekarang bergabung menjadi bagian Pemerintah Joko Widodo sebagai Menteri Pertahanan. Mayoritas publik yang tahu (74,4 persen) menyatakan pantas dengan keputusan Prabowo tersebut.

 

Survei yang sama menemukan mayoritas publik (77,2 persen) tahu jabatan Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dari jumlah tersebut, mayoritas menyatakan Sandiaga pantas (79 persen) dengan posisi itu. Data tersebut menunjukkan keputusan rekonsiliasi pada tingkat elite tidak mengikis sepenuhnya perbedaan respons terhadap kebijakan dan program pemerintah.

 

Kedua, bergabungnya Partai Gerindra ke dalam koalisi pendukung Jokowi Pascapilpres 2019 menambah kekuatan gabungan fraksi pro-pemerintah di DPR menjadi 84 persen. Namun, tingginya koalisi parpol pendukung eksekutif itu tidak diikuti peningkatan kepercayaan terhadap parpol dan DPR.

 

Survei Indikator (13-17 April 2021) menemukan kepercayaan (sangat percaya dan cukup percaya) cukup rendah terhadap DPR (44 persen) dan parpol (40 persen).

 

Selain itu, indikasi polarisasi politik tampak dalam lemahnya keterikatan psikologis warga terhadap parpol (party id). Riset opini Indikator (1-3 Februari 2021) menemukan warga yang merasa dekat dengan parpol tertentu hanya mencapai 6,8 persen. Menariknya, dari tiga parpol nonkoalisi, hanya Partai Demokrat yang memiliki party id lebih baik (16,5 persen). Sementara PKS (5,7 persen) dan PAN (3,8 persen) angkanya di bawah party id nasional.

 

Ketiga, tingginya dukungan koalisi parpol terhadap eksekutif tidak secara otomatis diikuti kepuasan kinerja presiden. Rangkaian data survei (Indikator, LSI, SMRC) menunjukkan fluktuasi kepuasan terhadap kinerja presiden dengan kecenderungan stagnan.

 

Survei Januari 2015 mengungkap angka kepuasan mencapai 62 persen. Sempat naik hingga 72 persen (terakhir September 2019), kepuasan mengalami penurunan hingga April 2021 (64 persen).

 

Perspektif alternatif

 

Penjelasan polarisasi tampaknya sulit ditolak dalam menelaah perbedaan respons warga atas kebijakan dan program pemerintah. Bergabungnya Prabowo-Sandi dan Gerindra ke jajaran eksekutif dan legislatif belum mampu sepenuhnya meredam terbelahnya publik dan pemimpin. Karena itu, kita membutuhkan penafsiran lain.

 

Merujuk survei Indikator (1-3 Februari 2021) dan SMRC (28 Februari-8 Maret 2021) yang mengungkap tingkat kesediaan warga untuk divaksin masing-masing mencapai 54,9 persen dan 61 persen. Data tersebut menunjukkan terpecahnya publik dan pemerintah dalam program vaksinasi lebih tinggi daripada selisih basis pilihan Pilpres 2019.

 

Terkait itu, membaca perbedaan respons publik tersebut tak cukup mengandalkan penjelasan polarisasi politik. Kita bisa menggunakan telaahan oposisi politik dengan spektrum lebih luas terkait aktor, hubungan, dan tempat aksi. Oposisi sebagai ketidaksepakatan dengan pemerintah atau kebijakannya, elite politik, atau rezim politik secara keseluruhan, yang diekspresikan di ruang publik oleh aktor terorganisasi melalui metode tindakan berbeda-beda (Brack dan Weiblum, 2011).

 

Oposisi politik menafsirkan ketidaksetujuan terhadap program dan kebijakan pemerintah bukan semata ekspresi lemahnya ikatan publik dan elite (pemimpin, parpol, pemerintah). Namun, mencakup pula kesadaran dan argumentasi kritis warga terhadap kebijakan dan program pemerintah yang berdampak luas.

 

Sudut pandang oposisi lebih beralasan bagi demokrasi ketimbang polarisasi. Studi Haggard dan Kaufman (2021) menunjukkan polarisasi politik menjadi ancaman kemunduran (backsliding) demokrasi.

 

Situasi pengutuban mendukung kebangkitan otokrat dan penerimaan publik terhadap penyimpangan pemerintahan demokratis. Sebaliknya, oposisi dapat menguatkan demokrasi karena praktik check and balances dan akuntabilitas pemerintah.

 

Kesempatan tumbuhnya oposisi politik masih besar seiring kepercayaan publik terhadap demokrasi. Survei Indikator, LSI, SMRC menunjukkan tren peningkatan penerimaan demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik dari 55,6 persen (Juni 2012) ke 71,9 persen (Desember 2020). Tren data yang sama ditunjukkan dengan kepuasan kinerja demokrasi dari 41 persen (Juni 2012) ke 53,7 persen (Februari 2021).

 

Terakhir, bukan sekadar antagonisme dan antitesis, penjelasan oposisi harus memedomani pula oposisi etis.

 

Argumentasi kritis publik berpijak pada pertimbangan kinerja, kewajiban profesional, etika kepedulian, keadilan, dan kebajikan elite, pemerintah, dan parpol. Alhasil, penjelasan oposisi selayaknya lebih dikedepankan ketimbang polarisasi atas perbedaan respons publik terhadap kebijakan dan program pemerintah. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar