Jebakan Presidential
Threshold Opini Tempo : Redaksi Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 10
September 2023
TIAP menjelang pemilihan
umum, partai yang tak bisa mengusung kandidat meratapi ambang batas
pencalonan presiden atau presidential threshold. Mereka sulit memajukan
calon sendiri karena harus membentuk koalisi agar memenuhi syarat memiliki 20
persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen suara secara nasional. Kegaduhan setelah Partai
NasDem dan Partai Kebangkitan Bangsa mendeklarasikan Anies Baswedan dan
Muhaimin Iskandar sebagai calon presiden dan wakilnya mungkin tak terjadi
jika syarat ambang batas pencalonan presiden tak ada. Berkoalisi atau tidak,
setiap partai peserta pemilihan umum bisa mengusung calonnya sendiri. Partai
Demokrat pun tak perlu uring-uringan setelah Anies berpaling kepada Muhaimin.
Tak perlu pula ada yang merasa diberi harapan palsu akan digandeng sebagai
calon wakil presiden. Jika tak ada ambang batas
pencalonan presiden, Demokrat bisa mengusung ketua umumnya, Agus Harimurti
Yudhoyono, sebagai calon presiden sejak awal. Partai Persatuan Pembangunan
bisa langsung memajukan Sandiaga Uno. Golkar tinggal mendaftarkan Airlangga
Hartarto. Gerindra tak perlu menunggu partai lain mendekat agar Prabowo
Subianto bisa dicalonkan. Dengan adanya ambang batas, gerak partai menjadi
terbatas. Dengan syarat itu,
Demokrat yang keluar dari Koalisi Perubahan hanya punya pilihan berlabuh ke
koalisi Gerindra atau Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Meski demikian,
belum tentu Prabowo atau Ganjar Pranowo mau menggamit Agus sebagai calon
wakil presiden. Menjajaki peluang maju dengan Sandiaga dari PPP pun Demokrat
membutuhkan partai lain untuk menggenapi syarat pencalonan. Partai Keadilan
Sejahtera yang hendak ditarik belum tentu bersedia. Situasi yang sama dihadapi
partai kecil dan medioker lain. Manuver mereka selalu terkunci syarat
pencalonan presiden. Bergabung dengan salah satu koalisi pada akhirnya
sekadar menggenapi syarat bisa ikut mengusung calon presiden. Sudah jamak
terdengar: partai kecil meminta “mentahan” sebagai imbalan menggenapi suara
koalisi. Dengan kata lain: politik transaksional. Anehnya, meski tahu ambang
batas pencalonan presiden hanya menguntungkan partai besar, partai kecil
dan medioker setuju tiap kali aturan ini dibahas DPR. Memang ada satu-dua
politikus yang menentang syarat tersebut. Tapi, pada saat Undang-Undang
Pemilihan Umum disahkan, semua kompak setuju. Tak ada gerakan serius untuk mengubah
syarat tersebut. Kini mereka kembali merasakan sendiri akibatnya. Bagi masyarakat, ambang
batas pencalonan presiden menutup munculnya calon-calon alternatif. Para
juragan politik memaksakan segelintir figur untuk dipilih. Tolok ukurnya
adalah survei elektabilitas. Padahal, tanpa kesediaan lembaga survei untuk
membuka informasi penyandang dana riset mereka, independensi survei selalu
bisa dipertanyakan. Harapan untuk
mengembalikan kedaulatan rakyat tinggal di tangan Mahkamah Konstitusi.
Permohonan uji materi yang diajukan Partai Buruh sedang disidangkan. Jika
menganggap hak konstitusional masyarakat sebagai prioritas, semestinya
hakim Mahkamah Konstitusi mengoreksi aturan ambang batas ini. Toh, konstitusi
juga hanya menyatakan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai
atau gabungan partai peserta pemilu. Kalangan yang lebih progresif
berpendapat pasal konstitusi ini pun seharusnya tak ada karena menutup pintu
bagi calon non-partai. Lagi pula, dengan
pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden serentak, mematok jumlah
kursi atau suara pada pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan pada pemilu
berikutnya sungguh tak masuk akal. Alasan bahwa syarat tersebut dibutuhkan
agar pemerintahan terpilih stabil juga mengada-ada. Negara kita menganut
sistem presidensial, bukan parlementer. Namun Mahkamah Konstitusi
sukar diandalkan. Lebih dari 30 kali aturan ambang batas ini digugat, para
hakim konstitusi berkukuh tak mau mengoreksinya. Hari-hari ini politik yang
berpihak kepada publik memang cuma angan-angan. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/169687/jebakan-presindetial-threshold |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar