Di Balik Pembatalan Kenaikan Harga Gas
Industri Retno Sulistyowati : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 10
September 2023
KEPUTUSAN Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral sudah bulat: tak mengizinkan PT Perusahaan Gas
Negara Tbk alias PGN menaikkan harga gas bumi. Tadinya PGN akan menaikkan
harga gas untuk industri mulai 1 Oktober mendatang. Namun, kata Direktur
Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi Tutuka Ariadji, PGN tidak
bisa membuat kebijakan sepihak. “Jangan menaikkan harga sendiri seperti itu,”
tuturnya kepada Tempo pada Kamis, 7 September lalu. Sebelum Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral membuat keputusan, Kementerian Perindustrian sudah
lama menolak rencana PGN tersebut. “Kami akan terus mengawal agar ini tidak
akan terjadi," ucap Ignatius Warsito semasa menjabat pelaksana tugas
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian
pada Senin, 28 Agustus lalu. Warsito kini menjadi Staf Ahli Bidang Penguatan
Kemampuan Industri Dalam Negeri Kementerian Perindustrian. Warsito mengaku menerima
keluhan dari pelaku industri yang sangat berharap kenaikan harga gas pipa
tidak terjadi. Kementerian Energi dan Kementerian Perindustrian pun berupaya
meredam kegaduhan yang berlangsung sejak Juli lalu itu. Saat itu PGN
melayangkan surat edaran kepada pelanggan mengenai kenaikan harga gas bagi
segmen industri non-harga gas bumi tertentu (HGBT). HGBT adalah insentif yang
diberikan pemerintah kepada tujuh golongan industri yang memakai gas sebagai
bahan baku dan sumber energi secara masif. Tujuh sektor, yaitu industri
pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet,
berhak mendapat pasokan gas dengan harga US$ 6 per million metric British
thermal unit (MMBTU), jauh di bawah harga untuk sektor lain. Penyediaan gas murah ini
diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga
Gas Bumi. Selain mencakup tujuh kelompok industri tersebut, peraturan ini
menetapkan harga gas US$ 6 per MMBTU untuk penyediaan listrik bagi
kepentingan umum, termasuk buat PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Adapun industri yang tidak
masuk kelompok tersebut harus membayar harga gas komersial. Berdasarkan surat
edaran PGN kepada konsumen, kenaikan harga gas akan berlaku dengan beberapa
kategori. Misalnya, pelanggan Gold menghadapi kenaikan tarif dari US$ 9,16
menjadi US$ 11,89 per MMBTU. Sedangkan tarif kelompok Silver akan naik dari
US$ 9,78 menjadi US$ 11,99 per MMBTU. Selain itu, harga gas
untuk konsumen segmen Bronze 3 bakal naik dari US$ 9,16 menjadi US$ 12,31 per
MMBTU dan tarif kelompok Bronze 2 disesuaikan dari US$ 9,20 menjadi US$ 12,52
per MMBTU. Adapun pelanggan kategori Bronze 1 akan mendapat kenaikan harga
dari Rp 6.000 menjadi Rp 10 ribu per meter kubik. Sesuai dengan perjanjian,
PGN mengumumkan rencana kenaikan harga setidaknya tiga bulan sebelum
pemberlakuannya. Setelah mengadu ke
sana-kemari, pelaku industri merasa tak kunjung mendapat kepastian hingga
akhirnya mereka melambung ke Istana. Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan
Plastik Indonesia atau Inaplas melayangkan sepucuk surat kepada Presiden Joko
Widodo pada Senin, 4 September lalu. Dalam surat itu, Sekretaris Jenderal
Inaplas Fajar Budiono menjelaskan, pengusaha meminta Jokowi turun tangan
menahan rencana kenaikan harga gas. Ternyata bukan hanya
Inaplas, Forum Industri Pengguna Gas Bumi atau FIPGB pun mengirim surat
serupa ke Istana pada Kamis, 31 Agustus lalu. Ketua Umum FIPGB Yustinus
Gunawan mengatakan organisasinya meminta pemerintah membatalkan kenaikan
harga gas bagi segmen industri non-HGBT atau yang selama ini membayar harga
komersial. Alasannya, dia menuturkan, mereka baru membayar kenaikan harga gas
pada 19 Mei lalu, yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Nomor 91 Tahun 2023. Yustinus mengatakan para
pengusaha berharap pasokan gas dari PGN optimal sesuai dengan keputusan
menteri tersebut agar mereka terhindar dari harga komersial alias non-HGBT
yang sangat mahal. “Selama ini pasokan nyaris tidak mencapai volume yang
ditetapkan dalam keputusan menteri,” ujarnya pada Jumat, 8 September lalu. Sedangkan Gabungan
Produsen Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) melayangkan surat kepada Menteri
Energi Arifin Tasrif. “Kami keberatan/menolak kenaikan (harga gas) tersebut,”
demikian isi surat yang diteken Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman dan
Sekretaris Jenderal Gapmmi Indrayana pada 15 Agustus lalu. Surat itu
ditembuskan kepada Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. Gapmmi
menyebutkan ada 29 produsen makanan dan minuman, seperti Wingsfood,
Garudafood, dan Indofood, yang berkeberatan terhadap keputusan sepihak PGN. Gapmmi menyatakan
kebijakan PGN akan makin memberatkan dunia usaha. Saat ini pengusaha makanan
dan minuman menghadapi ketidakpastian akibat kelangkaan bahan baku, cuaca
ekstrem dan bencana alam, juga fluktuasi nilai tukar rupiah serta tingginya
suku bunga. "Hal ini akan mempengaruhi harga produk dan berdampak bagi
perekonomian masyarakat.” Gapmmi meminta pemerintah memasukkan industri
makanan dan minuman ke kelompok industri yang mendapat insentif HGBT US$ 6
per MMBTU. Jalan lain ditempuh oleh
Asosiasi Bi-Axially Oriented Films lndonesia (ABOFI), produsen lembaran
plastik yang menjadi bahan baku kemasan. ABOFI merapat ke Asosiasi Pengusaha
Indonesia (Apindo), meminta dukungan agar Kementerian Perindustrian
merekomendasikannya masuk ke kategori industri penerima harga gas murah. Para
pengusaha menggelar sederet pertemuan dengan Kementerian Perindustrian,
Kementerian Energi, Apindo, serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia
sepanjang tiga pekan terakhir. Toh, PGN punya alasan
menaikkan harga gas industri. Menurut Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat
Hutama, ada "dinamika" kondisi di sektor hulu atau ladang minyak
yang menjadi sumber gas industri. Menurut dia, PGN menemukan indikasi akan
adanya perubahan harga dan volume pasokan gas dari ladang gas di Sumatera.
"Dari hitungan yang ada, kami menginformasikan perkiraan rencana
penyesuaian harga kepada pelanggan,” kata Rachmat pada Jumat, 8 September
lalu. Ia menambahkan, informasi dini tersebut dimaksudkan untuk memberikan
transparansi dan memenuhi persyaratan dalam perjanjian jual-beli gas dengan
pelanggan industri. Saat ini pasokan terbesar
untuk PGN berasal dari Blok Corridor, lapangan produksi gas yang terletak di
Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Blok Corridor dikelola oleh beberapa
perusahaan, yaitu PT Medco Energi Internasional Tbk, Talisman Corridor Ltd
(Repsol Energy), dan PT Pertamina Hulu Energi. Medco menjadi pemegang saham
terbesar Blok Corridor dengan porsi 46 persen. Medco mengakuisisi saham ini dari
ConocoPhillips senilai US$ 1,35 miliar atau sekitar Rp 20 triliun. Sedangkan Pertamina Hulu
Energi (PHE) dan Talisman Corridor Ltd masing-masing memegang saham 30 persen
dan 24 persen. Medco memegang kendali operator pada tiga tahun pertama mulai
2023. Selanjutnya, kendali operator akan diambil alih PHE Corridor pada 2026.
Pemerintah baru saja memperpanjang kontrak blok ini, yang akan berlaku
efektif mulai 20 Desember 2023 hingga 2043. Blok Corridor memiliki dua
lapangan produksi minyak dan tujuh lapangan produksi gas. Mayoritas produksi
gas dijual melalui kontrak jangka panjang ke pasar domestik dan sebagian
diekspor ke Singapura. Saat ini jumlah produksi gas Blok Corridor mencapai
820 juta standar kaki kubik per hari (MMCSFD) atau menyumbang 17 persen
produksi gas nasional. Seorang pejabat bercerita,
perjanjian pasokan gas PGN dari Blok Corridor segera berakhir. Perpanjangan
kontrak sedang dalam pembahasan, di antaranya tentang penyesuaian harga dan
volume. Di tengah pembahasan ini, PGN berupaya mencari sumber pasokan lain,
antara lain dengan mengkombinasikan gas pipa dengan gas alam cair atau
liquefied natural gas. Rencana ini yang diperkirakan mempengaruhi harga gas
untuk konsumen. Ketua Bidang Industri
Manufaktur Apindo Bobby Gafur Umar mempertanyakan rencana kenaikan harga yang
tiba-tiba. Ia mengaku telah berdiskusi dengan para pemain hulu sektor minyak
dan gas. “Intinya, tidak mungkin ada kenaikan harga dari hulu di tengah
kontrak," ujarnya. Menurut Bobby, kontrak gas bersifat jangka panjang
dan harga jualnya sudah ditetapkan di awal. “Yang menetapkan harga itu
menteri, lho.” Bobby menambahkan, jika
PGN beralasan harga gas di sektor hulu naik, berarti mungkin ada sumber
pasokan baru yang dibeli. “Mungkin ada yang habis masa kontraknya," dia
menduga. Tapi, Bobby melanjutkan, apabila ada kondisi seperti itu, seharusnya
hal tersebut sudah disampaikan kepada pemerintah agar bisa membantu, misalnya
dengan mengurangi porsi bagian negara supaya harga gas di sisi hulu tidak
naik. “Kalau soal peraturan, pembagian, segala macam sudah fixed. Tidak ada
alasan menaikkan harga,” tuturnya. Kepala Satuan Kerja Khusus
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto
mengatakan lembaganya sedang mengevaluasi harga gas di sektor hulu. Apabila
harga gas di sisi hulu naik, pemerintah harus mengkompensasinya dengan
menurunkan penerimaan negara. Langkah ini harus diambil agar harga jual gas,
termasuk untuk industri yang mendapat insentif harga khusus, tidak berubah.
"Ini yang kami tidak mau,” ucapnya pada Kamis, 7 September lalu. Menurut Dwi, yang terjadi
kali ini adalah PGN menduga akan ada kenaikan harga di sisi hulu. Dengan
dasar dugaan tersebut, PGN berupaya mengantisipasi dengan membuat pengumuman
kenaikan harga bagi konsumennya. Padahal, kata Dwi, kenaikan harga di hulu
harus mendapat persetujuan pemerintah. Dwi pun menyesalkan pengumuman
kenaikan harga oleh PGN yang mendahului ketetapan di hulu. “Akhirnya yang
terjadi malah ribut.” Dwi menegaskan, kontraktor
Blok Corridor dan wilayah kerja minyak dan gas lain tidak boleh menaikkan
harga di sisi hulu secara sepihak. Kontraktor juga dilarang membuat komitmen
tertentu tanpa persetujuan pemerintah karena kewenangan penetapan alokasi dan
harga gas ada di tangan pemerintah. Ihwal rencana pengurangan
suplai dari Blok Corridor, Dwi mengatakan ladang ini memang dalam posisi
decline. Artinya, produksinya menyusut seiring dengan kondisi sumur yang
makin tua. Namun masalah ini bukan alasan untuk menaikkan harga karena harus
dievaluasi dulu oleh pemerintah. “Tidak bisa, misalnya, Medco minta naik,
kemudian langsung ada penyesuaian harga untuk konsumen.” SKK Migas berupaya mencari
opsi pasokan dari wilayah kerja lain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,
terutama bagi industri. Opsi yang sempat muncul adalah pasokan dari Blok
Sakakemang yang lokasinya berdekatan dengan Blok Corridor. Tapi opsi ini
butuh waktu karena Repsol selaku pengelola lapangan Sakakemang masih
menyelesaikan revisi rencana pengembangan. Opsi lain, Dwi
mengungkapkan, adalah mempercepat pembangunan pipa transmisi gas
Semarang-Cirebon. “Ini akan menyelesaikan soal kekurangan gas industri di
Jawa Barat, karena kita punya kelebihan di Jawa Timur.” Pembangunan pipa gas
Semarang-Batang tahap I telah rampung pada pertengahan Agustus lalu. Tahap
selanjutnya adalah penyambungan pipa dari Batang ke Cirebon. Pipa ini akan mengalirkan
gas dari Jawa Timur, yang memiliki potensi produksi yang belum digunakan
sebanyak 100 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Sumber gas terbesar berasal
dari proyek Jambaran Tiung Biru di Bojonegoro serta Blok Madura Strait yang
digarap Husky-CNOOC Madura Limited. Produksi gas dari Blok Madura Strait akan
dimulai tahun ini. Karena itu, Dwi berharap pembangunan pipa transmisi gas
bisa segera rampung. "Dalam dua tahun ke depan beres.” Di tengah kondisi ini, Dwi
mengatakan, harga gas di hulu tidak berubah. “Pak Menteri Energi sudah
menginstruksikan tidak ada kenaikan,” ujarnya. Karena keputusan itu, rencana
PGN menaikkan harga gas bagi konsumen industri tak bisa berjalan. Sekretaris
Perusahaan PGN Rachmat Hutama menyatakan, "Apabila pemerintah
berpendapat lain, PGN akan mengikuti ketentuan tersebut." ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/169699/kenaikan-harga-gas-industri |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar