Watak Paternalisme
Dalam Istilah Senior Dhoni Zustiyantoro : Dosen Universitas Negeri Semarang dan
Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) |
MAJALAH TEMPO, 27
Agustus 2023
SEORANG rektor yang baru
dilantik mengucapkan terima kasih kepada rektor terdahulu dengan menyebutnya
sebagai “rektor senior”. Dalam kesempatan lain, sebutan itu ditirukan oleh
pejabat di bawahnya: ada “wakil rektor senior”, “dekan senior”, “wakil dekan
senior”, hingga “ketua jurusan senior”. Bahkan ada pula sebutan “sangat,
sangat senior” untuk seseorang yang sudah lama lengser dari jabatannya. Sebutan-sebutan tersebut
menunjukkan bekerjanya bahasa di dalam konteks kekuasaan, patronase, dan
paternalisme yang telah mendarah daging dalam struktur birokrasi Indonesia.
Situasi sosial tertentu memang bisa mempengaruhi pola kebahasaan. Sebutan
“senior” juga memposisikan orang yang menjadi atasan sebagai bapak dan orang
yang menyebutnya demikian sebagai anak. Watak paternalisme yang
feodalistis ini sesungguhnya tak relevan dengan semangat reformasi birokrasi.
Di samping menjadi penghalang terbesar untuk menyampaikan kritik dan
menyuarakan ketidaksetujuan, sebutan itu menunjukkan bahwa pejabat dan mantan
pejabat menjadi patron yang mesti diteladankan. Untuk memahami
beroperasinya bahasa dalam struktur kekuasaan, kita mendapat penjelasan dari
Pierre Bourdieu (1930-2002). Dalam Language and Symbolic Power (1991),
sosiolog Prancis tersebut menyatakan bahwa bahasa bukan sekadar sarana
transmisi pesan, tapi, lebih dari itu, bahasa berfungsi sebagai instrumen
atau mekanisme simbolik untuk memperoleh kekuasaan dan mempertahankan
dominasi. Dalam konteks itu, kata-kata mendapatkan kekuasaan dari penuturnya,
yang secara sosiologis menggambarkan cara hidup sebuah komunitas dan secara
esensial memberikan pelayanan bagi tercapainya tujuan-tujuan praktis dan
pragmatis. Kamus Besar Bahasa
Indonesia versi dalam jaringan secara gamblang memaknakan senior sebagai,
salah satunya, “orang yang lebih dahulu dalam hal pekerjaan, pengalaman, dan
sebagainya”. Di Indonesia, di samping
doktrin birokratis yang mempengaruhi pola kebahasaan, senior juga paralel
dengan ungkapan khas militeristik. Dari tradisi militer pula kita acap mendengar
jawaban “siap” ketika seseorang menyampaikan perintah atau permintaan
tertentu. Ungkapan tersebut juga acap ditirukan dalam percakapan sehari-hari
di tengah masyarakat. Tak ayal jika kita acap mendengar ucapan “siap,
senior!” dalam percakapan sehari-hari. Dalam bahasa Jawa, senior
disebut juga sesepuh, yang dalam Kamus Bausastra antara lain dimaknakan
sebagai “wis mateng”, “kang dianggep tuwa, dituwani”, sudah matang, dianggap
sudah tua, dituakan. Dalam konteks kebudayaan Jawa, sesepuh tak selalu menandakan
umur yang lebih tua. Jikalau ada orang yang relatif muda secara umur tapi
memiliki kemampuan atau keterampilan tertentu dan lebih mumpuni, ia layak
disebut sesepuh atau yang dituakan. Dalam perspektif Bourdieu,
kata senior juga terkait dengan gagasan kapital sosial. Kapital sosial
merujuk pada jaringan hubungan sosial yang dimiliki seseorang dan senior
dapat menyiratkan adanya akses ke jaringan yang lebih luas dan berpengaruh.
Misalnya, seseorang yang dianggap sebagai senior dalam suatu profesi atau
komunitas mungkin memiliki akses yang lebih mudah ke peluang kerja atau
sumber daya lain. Penggunaan kata senior dapat memperkuat ketidaksetaraan
sosial dan privilese yang melekat pada mereka yang dianggap senior. Michel Foucault dalam The
Archeology of Knowledge and the Discourse on Language (1972) menjelaskan
bahwa bahasa juga alat kekuasaan yang digunakan untuk membentuk realitas
sosial. Penggunaan kata senior dapat dilihat sebagai bagian dari permainan
kekuasaan dan konstruksi sosial. Foucault menekankan
pentingnya peran bahasa dalam membangun dan mempertahankan sistem kekuasaan.
Dengan demikian, penggunaan kata senior membantu memperkuat struktur
hierarkis di masyarakat. Kata itu menciptakan perbedaan dan hierarki antara
mereka yang dianggap senior dan yang bukan. Dalam konteks ini, senior
menghasilkan representasi kuasa dan mempengaruhi cara individu memahami dan
berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka. Di sisi lain, Foucault
menggariskan bahwa bahasa juga tempat perlawanan dan transformasi. Individu
dapat menggunakan bahasa untuk menantang atau meruntuhkan struktur kekuasaan
yang ada. Dalam hal ini, ada potensi bahwa penggunaan kata senior juga dapat
menjadi subyek perdebatan dan perubahan sosial. Misalnya, melalui gerakan
kesetaraan atau advokasi, istilah senior dapat digantikan atau dikritik untuk
menghadirkan pendekatan yang lebih inklusif atau egaliter. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/bahasa/169572/makna-kata-senior |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar