Rocky Gerung, Rendra, dan Kritik yang Merdeka Raudal Tanjung Banua : Penyair dan Anggota Grup Kuncen
Pantai Barat |
JAWA
POS, 11 Agustus 2023
KRITIK Rocky Gerung (RG) yang terbilang keras
(sebagian menyebut kasar) atas kinerja Presiden Joko Widodo sejatinya tak
mengejutkan di negara demokrasi, boro-boro bikin heboh. Setidaknya jika
dikaitkan dengan dua hal pokok: sosok dan posisi. Sosok RG selama ini dikenal
kritis dengan narasi-narasi filosofisnya. Posisinya pun di luar ring
kekuasaan.
Ada memang tambahan ketiga: situasi. Kita tahu,
sekarang adalah ’’tahun politik” di mana segala sesuatu menyangkut politik
rawan memancing kehebohan publik. Tapi, benarkah ’’bonus” tahun politik
membuat kasus RG heboh? Atau ketidaksiapan menerima risiko demokrasi? Lalu, siapa
gerangan paling heboh?
Menurut saya, ada dua kategori. Pertama, mereka
yang heboh karena ’’terkejut” atau ’’pura-pura terkejut” lantaran risalah
moral. Dalam tradisi masyarakat timur, kata mereka, kritik harus santun dan
sopan. Cara dan kata yang dianggap tak sesuai unggah-ungguh niscaya batal
demi adab, sekalipun konten kritiknya benar.
Hal ini dapat ditengarai dari sebagian pihak yang
gusar karena istilah verbal pelaku dalam mengkritik. Mereka anggap itu
pelecehan simbol negara sehingga perlu dibawa ke ranah hukum. Sebagian
menghadang acara RG dan unjuk rasa ke kediamannya. Pangsa ini sebenarnya
sudah direngkuh pemain politik yang berkepentingan dengan tahun politik.
Kedua, mereka yang menyoal hal substansial. Bagi
mereka bukan tetek bengek istilah teknis, melainkan efek kritik bagi
kemaslahatan. Jika kritik meminimalkan efek mubazir, itu lebih baik karena
terbebas dari kehebohan sesaat dan kritik pun jernih sampai alamat.
Kritik
yang Merdeka
Akan tetapi, bagi penyoal substansial, termasuk
saya, dua hal pokok di atas –sosok dan posisi pengkritik– jauh lebih
menentukan. Sosok RG yang kritis sangat dibutuhkan bangsa ini, sekalipun
kadang verbal, itu soal lain. Bahasa bisa beda, apalagi mengekspresikan
situasi yang, pinjam Chairil Anwar, terasa ’’menekan-mendesak’’.
Hanya saja, dari segi posisi, RG tampak mudah
’’digeret” ke sana kemari oleh jaringan yang mengatasnamakan kelompok kritis.
Posisinya jadi kurang jelas. Alih-alih membuatnya tampak sebagai artis
ketimbang aktivis. Pikiran-pikirannya ’’tercecer” dan terfragmen, karena
posisinya yang ngambang, akademisi atau praktisi? Inilah soalnya.
Dewasa ini, dalam level tertentu,
kritik-mengkritik bukan barang mahal. Di media sosial berseliweran aneka
kritik parsial. Sebagai sosok akademis, RG seharusnya bisa lebih
mengelaborasi dan mengonstruksi persoalan. Tentu melampaui lintasan isu di
media sosial yang potensial ’’digoreng”.
Tapi ingat, belakangan RG bermetamorfosis dari
sosok akademik ke intelektual publik. Karena itu, simbol dan aksesnya juga
bersifat publik yang relatif cair seperti media sosial atau YouTube. Beda
dengan publikasi sebelumnya, di majalah, koran, atau jurnal. Dulu gagasannya
ditulis dan dipresentasikan, kini berupa opini lisan yang direkam dan
disebarkan.
Tak mudah memang bermetamorfosis menjadi
intelektual publik karena arenanya beda sekali. Risiko juga tanggung sendiri.
Buktinya, tak banyak sosok berlatar akademik mau mengambil posisi tersebut.
Lebih mudah beralih dari ruang akademik ke kursi kekuasaan, misalnya dilantik
menjadi pejabat publik. Sebagaimana tak mudah bagi sebagian pihak menggeser
sosok dan posisi seseorang –seperti RG– dari citra akademis ke arena
pragmatis.
Posisi baur tersebut membuat sosok dan posisi RG
rentan bias dan rawan serangan lawan. Ia mesti memperjelas posisi,
sebagaimana Arief Budiman era 90-an berhimpun bersama sejawat dalam wadah dan
gerakan publik serta fokus ke isu utama seperti golput.
Di atas semua itu, kita butuh ruang kritik yang
merdeka. Tanpa itu, kritik mudah dipelintir oleh situasi. Jika perlu dalam
bulan kemerdekaan ini, kibarkan bendera ’’kurikulum kritik merdeka” supaya
situasi tak jadi ruang aji mumpung.
Pertama, merdeka sejak dalam pikiran, artinya
bebas merawat dan menyatakan pikiran. Bagaimanapun ekspresi seseorang
–sepanjang bisa dipertanggungjawabkan– perlu mendapat jaminan kebebasan.
Kedua, merdeka dari posisi di mana pikiran itu disampaikan. Pengkritik tidak
tersandera oleh kepentingan kelompok yang mengundang dan
menggadang-gadangnya. Kritik adalah untuk kemaslahatan bersama.
Ketiga, merdeka dari ancaman dan tuntutan, fisik
maupun nonfisik. Baik tuntutan maaf maupun hukum. Meski tuntutan hukum jelas
lebih baik dibanding tindakan di luar hukum, tapi juga jadi preseden jalan
pintas. Apalagi jika memakai UU ITE yang bermasalah.
Spirit
Rendra
Dulu, sosok Rendra dikenal tajam mengkritik rezim
Orde Baru. Ideologi pembangunanisme jadi bulan-bulanan dalam apa yang ia
namakan ’’puisi pamflet”.
Tanggal 28 April 1978 Rendra dilempari amonia
ketika membaca puisi di TIM. Tapi, acara dilanjutkan setelah mantan Kapolri
Hoegeng yang duduk sederet dengan Bung Hatta berdiri di atas kursinya.
”Terus, terus,” teriaknya (Tempo, 6 Mei 1978 dalam Ketika Rendra Baca Sajak,
ed Edi Haryono, 2004: 59).
Rendra menjawab, ”Saya tidak mundur. Apakah
saudara akan mundur?” Penonton menyambut: ’’Tidaaaak.” Maka, Rendra membaca
puisinya kembali: Apabila kritik hanya boleh melalui saluran resmi, maka
kehidupan akan menjadi sayur tanpa garam…”
Tapi, besoknya justru Rendra dipanggil Kodim 0501
Jakarta Pusat. Setelah diinterogasi, ia ditahan Laksusda Jaya. Tak kepalang
tanggung: enam bulan tanpa pengadilan. Ia dituduh melanggar Pasal 154, 155,
dan 156 KUHP tentang Penyebaran Kebencian (Kompas, 18 Oktober 1978, ibid).
Situasi saat itu memang represif. Akan tetapi, Rendra tak mundur. Sosok dan
posisinya jelas sampai ia berpulang, 6 Agustus 2009.
Kita pantas mengenang 14 tahun Rendra berpulang
dengan mewarisi spiritnya yang kritis dan merdeka. Rendra juga mencetuskan
gagasan ’’gagah dalam kemiskinan” untuk aktor-aktor Bengkel Teater supaya
semangat berpentas dalam keterbatasan. Begitu pula kiranya di pentas
kebangsaan. HUT Ke-78 RI perlu jadi momentum bagi aktor-aktor cendekiawan,
termasuk seniman, untuk tetap kritis dalam situasi apa pun. Meski miskin
apresiasi dari penguasa dan para pendukungnya. Merdeka! ●
Sumber :
https://www.jawapos.com/opini/012652852/rocky-gerung-rendra-dan-kritik-yang-merdeka |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar