Petualangan Marthen
Indey Francisca Christy Rosana : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 13
Agustus 2023
DARI tangan orang-orang
Jepang, Marthen Indey dan rombongan polisi Hindia Belanda merebut sebuah peti
mati pada suatu malam di Manokwari, pada sekitar 1941. Orang-orang Jepang itu
akan mengubur peti ketika Marthen dan kawanannya datang. Marthen lantas menanyakan
isi peti itu kepada mereka. Kumpulan orang Jepang itu pun menjawab isi peti
adalah mayat pekerja perkebunan. Tak percaya begitu saja, Marthen lalu
membongkarnya. “Ternyata isinya meriam kecil, granat tangan, senapan mesin
berbagai ukuran, dan berbagai jenis peluru,” kata Marthen kepada George Junus
Aditjondro pada 1985. Wawancara Marthen terekam dalam tulisan yang
diterbitkan majalah Prisma edisi Februari 1987. Marthen, yang bekerja
untuk Belanda sebagai agen polisi kelas II, lalu merampas peti itu. Nicodemus
Risakota, anak angkat Marthen, mengatakan bapaknya terbiasa menangani granat,
termasuk menjinakkan bom tangan, selama menjadi polisi. Karena itu, dia kerap
diandalkan untuk menaklukkan ranjau. Tak hanya menundukkan
granat, Marthen sering ditugasi tentara Belanda untuk melempar bom tangan ke
arah persembunyian Jepang. Lemparannya pun hampir selalu tepat. “Bapak pernah
bercerita, pada tengah malam ia mengangkat granat, turun ke jalan, dan
melempar granat itu ke arah kamp Jepang. Semua habis meledak,” kata Nicodemus
ketika ditemui di rumahnya di Kampung Kertosari, Distrik Sentani Barat,
Jayapura, Sabtu, 22 Juli lalu. Menjelang Perang Pasifik
meletus, banyak orang Jepang menyebar di Papua. Mereka umumnya menyaru
sebagai pekerja perkebunan kapas Nanyo Kohatsu Kabushiki Kaisha. Ada juga
yang menjadi nelayan. Orang-orang itu berkeliaran di sekitar Manokwari,
Nabire, hingga Sarmi dan tinggal dalam kemah dengan cara berpindah-pindah.
Sebagai agen polisi Belanda, Marthen diberi tugas membuntuti mereka. Tugas
itu dia terima pada 1940-1941, sebelum akhirnya Perang Pasifik pecah. Tentara
Jepang menguasai wilayah Pasifik hingga pantai utara Papua dalam waktu
singkat. Untuk menembus
kawasan-kawasan yang ditinggali orang Jepang, Marthen menyamar sebagai warga
lokal yang sedang berburu di hutan. Saat menyamar dia berkomunikasi dengan
warga lokal di distrik-distrik yang dilewati. Nicodemus bercerita,
Marthen mengajari para penduduk bercocok tanam. Keterampilan itu dia peroleh
saat menempuh pendidikan di sekolah kepolisian di Sukabumi, Jawa Barat, pada
1933-1934. “Ia suka mengajari orang menanam sayur-sayuran, buah-buahan.
Kepada keluarga pun begitu,” ucap Nicodemus. Dua tahun sebelum mulai
membuntuti Jepang, Marthen mendapat perintah melaksanakan Ekspedisi Leher
Burung. Ekspedisi yang bertujuan membuka jalur Belanda untuk masuk ke
daerah-daerah pedalaman ini berlangsung pada 1938-1940. Perjalanan
Marthen—yang kala itu berusia 30 tahun—dimulai dengan menyisir pantai utara
Napan. Dari situ, ia melewati hutan belantara sampai Danau Paniai. Menyusuri
medan berat, rute pengembaraan Marthen berakhir di pantai selatan
Mimika. Karena ekspedisi itu
Marthen menjadi sangat kuat berjalan kaki. Dia mampu berjalan kaki
berhari-hari, seperti yang ia ceritakan kepada anak-anaknya. Nico
menggambarkan otot kaki Marthen keras, bahkan sampai dia tua. Selama Ekspedisi Leher
Burung, Marthen mengawal sejumlah pejabat Belanda. Salah satunya Komisaris
Kelas Dua Polisi Manokwari Jan Pieter Karel van Eechoud. Tak jelas
susur-galur tim ekspedisi itu. Tapi delapan bulan setelah ekspedisi itu
berlangsung, pemerintah Belanda memberi Marthen penghargaan Trouw en
Verdienste sebagai imbalan atas loyalitasnya.
••• KEMAMPUAN Marthen Indey
tak datang tiba-tiba. Ia akhirnya menempuh karier sebagai polisi Belanda
setelah beberapa kali berpindah sekolah, dari Indonesia timur ke Indonesia
barat. Dalam nukilan buku berjudul Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey
dan Silas Papare yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada
1997, Marthen menempuh pendidikan kepolisian di Sukabumi selepas lulus dari
sekolah kelautan di Makassar, Sulawesi Selatan. Pendidikan di Sukabumi ia
jalani selama setahun pada 1934-1935. Seperti ditulis dalam berbagai
literatur, Marthen mengambil spesialisasi ilmu spionase atau mata-mata.
Karena itu, dalam berbagai operasi, ia diterjunkan sebagai mata-mata kubu
Belanda. Selesai bersekolah di
Sukabumi, Marthen ditempatkan di Ambon. Ketika menjadi polisi di Ambon, ia
beberapa kali dikirim untuk bertugas ke Papua. Dalam wawancara dengan George
Junus Aditjondro yang terbit di majalah Prisma, Marthen menceritakan
pengalamannya menyusup di suku Asmat, Papua, yang tak terlupakan pada masa awal
ia menjadi polisi mata-mata untuk Belanda.
Suatu hari pada 1935,
Kampung Ayam yang dihuni penduduk Asmat berkonflik dengan polisi-polisi asal
Ambon. Bentrokan itu dipantik oleh serangan warga Kampung Ayam terhadap
masyarakat di Kokonao, Mimika. Alih-alih memakai jalan damai untuk meredam
konflik, polisi Belanda malah menembaki warga. Walhasil, perang meluas.
Marthen lalu menyusup ke Kampung Ayam untuk bernegosiasi. Dia berpenampilan
seperti warga lokal, bertelanjang dada, dan berkomunikasi dengan para kepala
suku. “Akhirnya mereka setuju untuk tidak menyerang lagi,” ujar Marthen
kepada George. Penyamaran juga pernah ia
lakukan ketika menjalankan operasi di Tobati, Jayapura. Menurut anak
angkatnya, Nicodemus Risakota, saat itu Marthen sedang ditugasi menangani
konflik yang terjadi di sekitar Teluk Youtefa. Lagi-lagi Marthen membaur
seperti warga lokal dan mengajak mereka makan bersama. “Papa makan papeda
dengan orang-orang itu, lalu berunding. Itu cara dia menyelesaikan konflik,”
ucapnya. Kemampuan dan
kecerdasannya itu mungkin berasal dari orang tuanya yang berstatus petinggi
adat. Marthen yang lahir di Doromena, Jayapura, pada 16 Maret 1912 adalah
anak Indey, seorang ondoafi atau kepala marga. Marthen kecil diberi nama
Sorowai Indey oleh orang tuanya. Pada usia delapan tahun,
Sorowai kecil diangkat anak oleh seorang pendeta asal Ambon keturunan Jerman,
yakni Johannes Bremer. Bremer tinggal bersama keluarga Indey saat Marthen
berumur dua tahun. Pemuka agama Kristen yang dibawa zending Belanda masuk Doromena
itu membaptis Sorowai dengan nama Marthen. Bremer pula yang memboyong
Marthen ke Ambon bersama saudara kandungnya, Karel Indey, pada 1921 untuk
menempuh sekolah tinggi. Setelah tiba di Ambon, Marthen menjalani pendidikan
di volkschool atau sekolah desa. Untuk bersekolah di sana, Marthen mengubah
nama belakangnya menjadi Bremer agar diterima oleh sekolah milik Belanda itu.
Nama Bremer bercokol terus sebagai nama belakang Marthen sampai ia menikah
dengan Agustina Heumasse pada 1936. Adapun sekolah dasar
volkschool Marthen tamatkan dalam lima tahun. Tumbuh remaja, Marthen yang
sudah lulus pendidikan tingkat pertama memilih bekerja ketimbang meneruskan
sekolah. Ia bekerja di Department van Burgerlijk Openbare Werken, semacam
kantor pekerjaan umum sipil, di Kota Ambon. Pekerjaannya adalah membangun
infrastruktur di sejumlah daerah. Marthen pun berkeliling ke banyak tempat,
dari Ambon, Banda Neira, sampai Fakfak, untuk membangun gedung pemerintah dan
fasilitas umum. Tapi pekerjaan yang mapan
itu tak membuat dia terbuai dan puas. Pada 1932, Marthen merantau ke Makassar
untuk menempuh pendidikan di Kweekschool voor Inlandsche Schepelingen atau
sekolah pelayaran. Dari belahan Indonesia timur, Marthen kembali bertualang
ke Sukabumi untuk masuk sekolah polisi. Sejarawan Universitas
Cenderawasih, Albert Rumbekwan, mengatakan Marthen satu dari sejumlah tokoh
angkatan awal di Papua yang namanya dikenal sampai ke luar negeri.
Kedekatannya dengan pendeta membantu dia lebih mudah mengakses pendidikan
sampai menjadi polisi. Bekerja di bawah Belanda,
Marthen pun berada pada sejumlah peristiwa penting, seperti Perang Dunia II.
Dia juga berada dalam pusaran peristiwa politik saat operasi perebutan
kembali Papua oleh Indonesia dari Belanda berlangsung. “Marthen masuk lingkaran
aktor sentral di Papua setelah kemerdekaan Indonesia,” ucap Albert di
Jayapura, Selasa, 25 Juli lalu. Marthen menerima gelar
pahlawan dari Presiden Soeharto pada September 1993. Dia dianggap menjadi
salah satu pejuang yang ikut menyatukan Papua dan Indonesia. Toh, di akhir
episode hidupnya, Marthen kerap menceritakan kekecewaannya terhadap
pemerintah Indonesia kepada sejumlah orang. Termasuk kepada Sekretaris
Jenderal Presidium Dewan Papua Thaha Alhamid.
Mimpi Marthen Indey soal
kesejahteraan Papua yang dia bayangkan tak juga terwujud. Padahal, menurut
Thaha, Marthen dan tokoh Papua lain berangan-angan Papua bisa sejahtera jika
menjadi bagian dari Indonesia. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169464/petualangan-marthen-indey |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar