Anggi Afriansyah :Peneliti Sosiologi
Pendidikan Pusat Riset Kependudukan BRIN |
KOMPAS, 11 Agustus 2023
Sambil antre di kasir ketika membeli
minuman segar, saya mendengar dua ibu bercerita tentang anak-anak mereka.
Salah satu obrolannya adalah tentang lokasi kursus matematika salah satu anak
dari ibu tersebut. Salah satu ibu merekomendasikan salah satu lokasi kursus
matematika yang menurutnya bagus. Memilih sekolah, tempat kursus, atau
guru privat menjadi penanda seseorang memiliki kapital ekonomi yang memadai.
Sebab, ia dapat memiliki multipilihan terhadap pendidikan anak-anaknya. Itu
juga menjadi penanda bahwa pendidikan formal semata, bagi sebagian orangtua,
tak cukup untuk menjadi bekal anak-anak mereka. Perlu ada tambahan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk mengarungi zaman yang berat ini.
Pertukaran informasi seperti yang dilakukan oleh dua ibu tersebut tak bisa
dilakukan oleh para ibu lain yang kapital ekonominya ringkih, yang masih
sibuk untuk bekerja keras di tengah rumitnya persoalan hidup. Coba tengok beberapa analisis dari
lembaga internasional mengenai keterampilan yang dibutuhkan di masa depan.
Dalam Definingthe skills citizens will need in the future world of work yang
dirilis oleh lembaga McKinsey and Company, misalnya, beberapa keterampilan
yang perlu dimiliki, seperti pemikiran kritis, perencanaan dan cara kerja,
komunikasi, fleksibilitas mental, sistem mobilisasi, mengembangkan hubungan,
efektivitas kerja tim, kepemimpinan diri, kesadaran diri dan manajemen diri,
kewirausahaan, pencapaian tujuan, kefasihan digital dan kewarganegaraan,
penggunaan dan pengembangan perangkat lunak, memahami sistem digital, serta
keterampilan lainnya. Bagaimana membangun keterampilan
tersebut secara praktikal? Apakah keterampilan tersebut dapat dibangun di
ruang pendidikan yang tidak ramah anak? Atau di tengah guru yang belum
terpenuhi kesejahteraannya? Atau yang minim fasilitas penunjang dan buku-buku
berkualitas? Lebih lanjut, dalam ruang pendidikan yang tak memiliki visi misi
memadai dan peta jalan yang mudah digapai. Investasi pendidikan Ketika pendidikan menjadi investasi,
melakukan investasi sebaik mungkin semenjak dini bagi anak-anak menjadi
kewajiban dan tugas utama orangtua. Tak mengherankan, para orangtua, wabil
khusus yang memiliki kapital memadai, tidak hanya memasukkan anak-anak mereka
ke sekolah formal. Mereka memiliki rancang bangun pendidikan anak yang
relatif presisi. Setelah pulang sekolah, anak-anak mereka belajar kembali di
lembaga-lembaga kursus sesuai dengan minat dan bakat. Anak-anak mereka memiliki jadwal yang
penuh di setiap pekan, diasupi gizi yang memadai, dan ditemani oleh orangtua
ataupun pengasuh yang telaten. Fokus belajar untuk meraih masa depan
cemerlang. Untuk mengetahui minat dan bakat anak, orangtua kelas menengah
atas melakukan tes minat dan bakat serta berkonsultasi kepada psikolog.
Asupan informasi terkait dengan di mana sekolah yang berkualitas, lembaga
kursus yang piawai mendidik, atau guru privat yang cakap sudah dimiliki mereka. Dalam bahasa Bourdieu (1986) dalam
The Forms of Capital, para orangtua tersebut memiliki kultural kapital atau
kapital sosial (cultural capital or social capital) dan kapital ekonomi
(economic capital). Kultural kapital atau kapital sosial merupakan stok
pengetahuan yang didapat melalui interaksi keseharian di berbagai ruang dan
melalui proses sosialisasi. Dalam konteks tersebut, konstruksi budaya dan
internalisasinya terbangun berdasarkan pengalaman yang berbeda-beda. Obrolan ibu-ibu kelas menengah atas
dengan sesamanya terkait dengan di mana lokasi kursus atau les yang tepat
untuk anak-anak mereka termasuk bagian dari kultural kapital. Dan, perwujudan
pilihan di mana mereka akhirnya memutuskan anak-anak mereka kursus, dengan
nominal biaya tertentu merupakan perwujudan dari kapital ekonomi. Sebab pendidikan diposisikan sebagai
bagian dari investasi, maka kecenderungan orangtua yang memiliki kapital
ekonomi yang memadai akan memiliki kesempatan untuk mengeluarkan investasi
yang besar pula. Pilihan mereka untuk mengakses beragam fasilitas terbaik
untuk anak-anaknya menjadi lebih besar dan terbuka. Keributan yang terjadi setiap tahun
ketika mekanisme penerimaan peserta didik baru (PPDB) zonasi mulai diterapkan
misalnya menjadi salah satu penanda bahwa pendidikan terbaik diraih jika
anak-anak dapat masuk ke sekolah-sekolah terbaik atau sekolah favorit. Para
orangtua berjibaku memilih sekolah-sekolah negeri terbaik tersebut dengan
caranya masing-masing. PPDB zonasi yang bertujuan
menciptakan pemerataan pendidikan menjadi ruang yang lebih kompleks karena
ada problem mendasar yang belum terpenuhi, seperti jumlah sekolah yang merata
di berbagai lokasi di Indonesia. Pada akhirnya, orangtua berlomba-lomba untuk
mencari sekolah-sekolah favorit yang letaknya terkumpul di wilayah perkotaan. Di wilayah yang akses pendidikan
formal mudah dijangkau, pilihan sekolah menjadi lebih banyak. Dalam satu
kecamatan minimal ragam pendidikan formal, mulai dari pendidikan anak usia
dini (PAUD) hingga sekolah menengah, tersedia. Sekolah negeri dan sekolah
swasta bisa dipilih berdasarkan berbagai pertimbangan. Kondisi yang berbeda dengan wilayah
perdesaan yang dalam satu kecamatan yang tak punya banyak pilihan jenjang
persekolahan. Di beberapa daerah Indonesia bahkan ada kecamatan yang tak
memiliki SMA/SMK. Tak usah jauh ke wilayah Indonesia timur, Bappeda Jawa
Barat dalam rilis persnya menyebut terdapat 17 kecamatan di Jawa Barat yang
belum memiliki SMA/SMK, baik itu negeri maupun swasta (detik.com, 2023). Kebijakan pendidikan yang kurang
berpihak kepada rakyat menjadikan setiap orang menggunakan strateginya
masing-masing untuk memperoleh hak pendidikan yang memadai. Mekanisme pasar
yang berlangsung menjadikan orangtua yang memiliki kapital ekonomi dan
kapital budaya menjadi lebih diuntungkan. Jika tak mendapat sekolah negeri
favorit, mereka dapat dengan mudah memutuskan pilihan ke sekolah-sekolah
swasta favorit. Jika pendidikan di sekolah tak cukup memadai, mereka dapat
mencari lembaga kursus dan guru privat yang kredibel. Pilihan terbuka karena
mereka memiliki kapital yang memadai. Bagi orangtua yang memiliki kapital
ekonomi dan tak mau repot, memilih sekolah swasta terbaik menjadi pilihan
mereka. Sekolah-sekolah swasta ini memberi tawaran menarik bagi pendidikan
anak-anak. Orangtua yang memiliki kapital ekonomi memadai kemudian melakukan
penyeleksian terhadap sekolah-sekolah yang dalam pandangan mereka
masing-masing sesuai dengan kebutuhan anak dan rancang bangun pendidikan yang
sudah mereka susun. Bayangkan saja, meski berbiaya mahal,
sekolah-sekolah swasta favorit tetap diburu oleh orangtua. Satu tahun sebelum
tahun ajaran baru, sekolah-sekolah swasta sudah membuka pendaftaran dan
orang-orangtua sudah bersiap. Ketika mengenyam pendidikan di
sekolah-sekolah swasta favorit, mereka mendapatkan fasilitas terbaik dan
guru-guru telaten yang siap dihubungi 24 jam untuk membicarakan persoalan
pendidikan anak-anak mereka. Di sekolah-sekolah yang kebanyakan input
siswanya berasal dari kelas menengah atas pun pihak sekolah bersiap memfasilitasi
ragam ekstrakurikuler. Saya amati di beberapa sekolah swasta unggulan,
setidaknya ada puluhan ekstrakurikuler yang dapat dipilih oleh para siswa
sesuai dengan keinginan mereka. Keluarga miskin Lalu, bagaimana bagi keluarga miskin?
Di tengah situasi pertarungan tersebut tentu merekalah yang memiliki pilihan
paling terbatas. Sekolah yang dapat digapai adalah sekolah-sekolah yang
lokasinya paling dekat dengan rumah. Jika mereka beruntung, mereka mendapat
sekolah dan guru-guru yang baik dan telaten. Jika sebaliknya, ya, disyukuri
saja, sudah beruntung bisa bersekolah. Jika tak mendapatkan kursi di sekolah
negeri dekat rumah, mereka memilih sekolah swasta yang paling terjangkau dari
segi biaya, yang biasanya kualitasnya pun kurang baik. Sekolah-sekolah yang
mirisnya memiliki guru-guru yang dibayar murah. Akhirnya, juga bergantung
pada ketangguhan guru dalam mendidik. Sebab, di sekolah-sekolah tersebut pun
selalu ada guru berjiwa mulia, yang tetap mendidik dengan tekun meski tak
mendapatkah hak yang memadai. Namun, situasi timpang selalu menyertai
anak-anak tersebut, sehingga proses untuk meraih hak pendidikan memadai
akhirnya tidak terpenuhi. Pada akhirnya, tujuan luhur
pendidikan ”mencerdaskan anak bangsa” tak dipenuhi secara optimal karena yang
menjadi cerdas adalah sebagian anak-anak bangsa. Meski anggaran pendidikan
Indonesia naik setiap tahun, porsi tersebut belum terdistribusi secara
merata. Ada banyak kompleksitas yang menyertai setiap kebijakan pendidikan,
yang sering kali masih sangat bias kelas menengah perkotaan. Pada konteks ini beberapa usulan yang
dapat diajukan antara lain, pertama, peningkatan layanan dasar pendidikan
secara merata di seluruh wilayah Indonesia secara bertahap. Kedua, distribusi
guru secara merata diimbangi dengan pemenuhan hak bagi guru terkait aspek
kesejahteraan. Ketiga, fokus pada humanisasi dan internalisasi pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang relevan dengan kondisi wilayah, kebutuhan
pekerjaan, dan aspek pembentukan karakter kebangsaan dan kewarganegaraan. Keempat,
sinkronisasi data kependudukan dan data pendidikan untuk memberi layanan
pendidikan yang optimal. Pertarungan meraih pendidikan
merupakan konstruksi pendidikan yang selalu mengaitkan sisi ekonomi. Jika
kita meyakini sila kelima Pancasila ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”, pendidikan bukan arena pertarungan yang kemudian cenderung
berpihak pada mereka yang memiliki kapital memadai. Sebab setiap warga negara
memiliki hak untuk mendapat pendidikan yang berkualitas, tanpa membedakan
status sosial ekonomi. Negara harus menjamin hal tersebut. Apalagi jika
dambaan meraih Indonesia Emas 2045 ingin diraih. Jika tidak, semua tentu
hanya impian belaka..● |
Sumber
:https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/09/pertarungan-meraih-pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar