Penyebab Krisis
Pangan Opini Tempo : Redaksi Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 20
Agustus 2023
SUNGGUH malang El Niño.
Pemerintah terus-terusan menjadikannya kambing hitam atas pelbagai persoalan
yang timbul akibat cuaca. Setelah ikut dituding sebagai penyebab memburuknya
kualitas udara Ibu Kota, fenomena iklim ini harus bersiap-siap dijadikan
alasan jika potensi krisis pangan strategis nasional terjadi dalam beberapa
waktu mendatang. Seperti yang sudah-sudah,
cuaca akan menjadi dalih utama pemerintah ketika stok pangan langka. El Niño,
yang ditandai dengan naiknya suhu permukaan laut dan atmosfer di Samudra
Pasifik, menyebabkan curah hujan di wilayah Indonesia menurun drastis. Kekeringan
memicu penurunan jumlah produksi di sentra-sentra pangan. Begitulah yang akan
disampaikan Kementerian Pertanian. Penyebab utama krisis
pangan jelas bukan El Niño, fenomena lima tahunan yang sudah lama diprediksi
akan datang tahun ini. Biang masalahnya mengakar di tubuh pemerintah yang
gagal membenahi buruknya tata kelola pangan di Indonesia. Para pemangku
kebijakan sektor pangan kembali bersilang pendapat mengenai angka produksi
dan stok beras nasional. Mereka mengulang kekisruhan serupa yang saban tahun
terjadi sepanjang dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo. Menurut Badan Pangan
Nasional, per 11 Agustus 2023, stok beras cuma 1,5 juta ton, baik cadangan
beras pemerintah di gudang Bulog dan mitranya maupun di pasar komersial.
Sedangkan kebutuhan beras nasional 2,5 juta ton. Defisit pasokan dan
permintaan ini perlahan mendekati perkiraan dua tahun lalu yang
melatarbelakangi dibukanya keran impor beras 2,3 juta ton pada 2022-2023. Sebaliknya, Kementerian
Pertanian menyatakan semuanya terkendali. Menteri Syahrul Yasin Limpo tetap
optimistis neraca beras tahun ini bakal surplus. Kementerian mengklaim telah
menyiapkan sejumlah program untuk mengantisipasi dampak El Niño yang ditaksir
menyebabkan jumlah produksi berkurang sekitar 380 ribu hingga 1,2 juta ton. Penyebab defisit adalah
buruknya kualitas data pangan yang setiap tahun tak pernah sinkron di antara
kementerian dan lembaga. Data yang buruk hanya melahirkan kebijakan yang
menimbulkan masalah baru. Lihat saja program antisipasi yang disiapkan Kementerian
Pertanian. Tergagap menghadapi
ancaman El Niño, sawah irigasi seluas 500 ribu hektare yang padinya baru saja
dipanen akan dipaksa kembali segera ditanami. Sudah banyak studi yang
menunjukkan pola tanam tanpa jeda merusak lingkungan serta membuka peluang
munculnya hama dan penyakit tanaman. Program yang dipaksakan tanpa
perhitungan matang ini mengancam ketahanan pangan nasional, seperti halnya
proyek cetak sawah dan lumbung pangan yang kini terbukti berantakan. Mencegah krisis pangan
merupakan bagian dari mitigasi perubahan iklim. Selama ini kebijakan
pemerintah cenderung menggunakan pendekatan pembangunan sarana-prasarana
pertanian, seperti membangun waduk dan saluran irigasi, menambah alokasi
subsidi pupuk, serta menyediakan varietas tahan hama, kering, dan cepat
tanam. Mereka lupa mendidik petani membaca arah pergeseran musim. Mereka juga
tak kunjung membenahi tata niaga yang oligopolistik. Korban pertamanya adalah
petani. Buruknya tata kelola pangan menyebabkan petani merugi—penyebab jumlah
mereka terus menyusut. Seretnya produksi dan stok pangan juga akan membuat
harga melambung sehingga daya beli masyarakat menurun. Tak terbayangkan
malapetaka yang bakal terjadi jika pemerintah terus lepas tangan. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/169538/penyebab-krisis-pangan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar