Pahlawan Nasional
Papua Bernarda Meteray : Sejarawan Universitas Cenderawasih, Papua |
MAJALAH TEMPO, 13
Agustus 2023
ANCAMAN disintegrasi terus
membayangi Indonesia dengan konflik berkepanjangan di Papua. Pemerintah
Indonesia mencoba membuat kebijakan keamanan, sosial-budaya, dan ekonomi,
termasuk melalui otonomi khusus serta pembentukan Unit Percepatan Pembangunan
Papua dan Papua Barat. Namun berbagai pendekatan dan kebijakan itu belum
mampu menurunkan tingkat konflik di Papua. Kajian Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (kini Badan Riset dan Inovasi Nasional) pada 2007
mempertanyakan ulang nasionalisme Indonesia. Kajian lain LIPI pada 2009
menemukan empat sumber konflik di Papua, yakni sejarah, integrasi, status,
dan identitas politik. Kajian itu memperlihatkan ada perbedaan tajam dalam
konstruksi nasionalisme Indonesia dan nasionalisme Papua. Kajian Thung Ju Lan pada
2013 juga menjelaskan nasionalisme di Papua. Menurut dia, “Kita perlu
berhati-hati karena pemahaman nasionalisme di wilayah ini bisa mempunyai arti
yang berbeda dengan apa yang kita maksudkan, terutama jika nasionalisme yang
kita bicarakan lebih mengacu pada nasionalisme Indonesia.” Thung Ju Lan
menunjukkan kajian Chauvel dan Widjojo dkk yang menyatakan bahwa
“nasionalisme Papua semakin terkonstruksi sebagai akibat dari kekecewaan
sejarah terhadap proses integrasi ke Indonesia”. Saprilla (2019) dalam
kajiannya tentang siswa Papua dan nasionalisme menunjukkan persoalan
keindonesiaan di antara generasi muda Papua tidak bisa dianggap sebagai
persoalan sederhana. Saprilla menemukan fakta bahwa di ruang tamu rumah orang
tua salah satu siswa sekolah menengah atas di Jayapura terpampang bendera
Bintang Kejora berukuran cukup besar. Saprilla menganalisis, organisasi bawah
tanah bekerja mengkampanyekan gerakan Papua merdeka. Dengan demikian,
guru-guru di Papua memiliki tugas ganda mengajarkan dan menanamkan paham
keindonesiaan di sekolah. Kondisi itu tentu ironis
dibanding upaya yang dirintis para tokoh Papua yang telah menyatukan Papua
kembali ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rumitnya perjuangan
panjang sejak 1945 hingga 1969 mendorong Papua menjadi bagian dari Indonesia.
Keberhasilan perjuangan ini dipengaruhi oleh peran para tokoh itu sehingga
pemerintah menetapkan mereka sebagai pahlawan nasional untuk menghargai dan
mengenang jasa-jasa mereka. Tokoh Papua tersebut adalah Frans Kaisiepo,
Marthen Indey, dan Silas Papare. Frans Kaisiepo, putra
Papua asal Biak, bukan hanya orang Papua pertama yang secara resmi bertemu
dengan tokoh-tokoh Indonesia di Malino. Frans juga salah seorang elite Papua
yang sejak awal bersinggungan dengan keindonesiaan yang berkomitmen
mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Papua. Frans tak hanya pernah
menjabat Gubernur Irian Barat, tapi juga menjadi Ketua Penggerak Musyawarah
Besar Rakyat Irian Barat yang mempersiapkan langkah-langkah penyatuan Irian
Barat menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Pada 1968-1969, Frans
menjadi Kepala Pemerintahan Komando Proyek XII Irian Barat. Suatu beban
tanggung jawab yang sangat berat bagi seorang putra Papua saat itu karena
menentukan keberhasilan Pepera. Al Rahap (2010) menyebutkan otoritas politik
di Indonesia menyatakan seluruh proses integrasi itu telah berjalan sesuai
dengan norma internasional dalam Perjanjian New York yang diakui Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Proses itu telah berjalan mulus dengan “metode demokrasi
Indonesia” yang ditandai pernyataan sikap perwakilan orang Papua dalam Dewan
Musyawarah Pepera yang memilih tetap berada dalam Indonesia. Marthen Indey, seorang
polisi asal Doromena, pada awal perjuangan berkontribusi mensosialisasi isi
Perjanjian Linggarjati dan mengupayakan Papua masuk ke federasi Indonesia
kepada masyarakat Hollandia (Jayapura) dan sekitarnya. Untuk memperoleh
dukungan penduduk Hollandia, Marthen bersama Corinus Krey mengadakan
pertemuan dan membuat edaran yang dikirim ke distrik-distrik di Jayapura. Adapun Silas Papare,
perawat pada perusahaan minyak di Sorong, punya andil besar melayani pasien
dari berbagai wilayah Indonesia yang bekerja di perusahaan minyak. Silas
adalah tokoh yang bertanggung jawab melayani pasien tanpa melihat asal-usul
mereka. Di Hollandia, Silas pun terlibat dalam berbagai diskusi menyangkut
perkembangan proklamasi Indonesia melalui radio. Kesediaan Silas bersama
elite Papua lain di Serui berjuang menentang Belanda mencerminkan
keberhasilan Sam Ratulangi, politikus asal Sulawesi Utara yang diasingkan
pemerintah kolonial Belanda ke Serui, mendorong mereka memahami nasionalisme
Indonesia. Sebab, pemerintah kolonial Belanda mengecap Silas dan para pemuda
sangat anti-Indonesia. Sam Ratulangi bisa mengubah mereka menjadi pejuang
Papua penentang Belanda. Di Yogyakarta, bersama
Soeparno, pemuda asal Jawa, serta tokoh-tokoh Indonesia lain, Silas
mendirikan Badan Perjuangan Irian dan menerbitkan surat kabar Suara Irian
untuk menyuarakan visi dan misi organisasi itu. Melalui Suara Irian, isu
Papua meluas sebagai bagian dari Indonesia hingga membantu pemerintah
Indonesia memasukkan Irian Barat ke wilayah Indonesia pada Oktober 1949. Di bagian lain, masyarakat
Papua, dari generasi ke generasi hingga kini, terus mempersoalkan pelurusan
sejarah yang selama ini menurut mereka diabaikan. Menurut hasil Kongres
Rakyat Papua pada 2000, rakyat di Papua menuntut pelurusan sejarah Papua.
Undang-Undang Otonomi Khusus, terutama Pasal 24, mengisyaratkan pembentukan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang salah satu tugasnya meluruskan sejarah
Papua. Masih terjadi perdebatan tentang bagian mana dari sejarah Papua yang
perlu diluruskan. Bagi orang Papua, pelurusan sejarah merupakan titik awal
penyelesaian masalah status politik Papua. Karena itu, pelurusan sejarah
harus dilakukan melalui penggalian dokumen sejarah, terutama seputar Pepera. Menanggapi tuntutan
pelurusan sejarah masyarakat Papua, Solossa (2005) menyatakan Pepera adalah
peristiwa politik. Ini yang tidak boleh dilupakan sebagai fakta sejarah.
Sebagai peristiwa politik, wajar apabila banyak kepentingan politik Indonesia
di dalamnya. Tidak bisa dimungkiri, Pepera meninggalkan banyak cerita yang
memilukan. Moses Kilangin (dalam
Hanita, 2019) menyatakan, pada 1968, menjelang Pepera 1969, keamanan di
Agimuga dan sekitarnya dijaga ketat oleh tentara Indonesia. Banyak orang yang
dipukul dan ditahan karena menentang pemerintah Indonesia. Sementara itu,
Greg Poulgrain (2022) menyinggung peran Adam Malik dalam Pepera: Adam Malik
mengaku telah berperan dalam pembunuhan mengerikan yang terjadi selama
1965-1966 dan hal ini menjadi beban pikirannya. Semestinya kemenangan
rakyat Papua melalui Pepera 1969 tidak lagi memicu permasalahan di Papua.
Dalam kenyataannya, pada 2021-2022, masih terjadi pengibaran bendera Bintang
Kejora di beberapa tempat di Papua. Masyarakat Papua bahkan masih mengibarkan
bendera itu di Jayapura pada 2 November 2022 setelah kematian tokoh pejuang
kemerdekaan Papua, Filep Karma. Surat kabar Jubi menggambarkan antusiasme
warga Papua mengantar jenazah Filep Karma ke peristirahatannya yang terakhir.
Pertanyaan reflektif perlu
kita ajukan: apakah pemberian gelar pahlawan nasional kepada tokoh Papua
seperti Frans Kaisiepo, Marthen Indey, Silas Papare, Johannes Abraham Dimara,
dan Machmud Singgirei Rumagesan mampu meredam keresahan rakyat Papua dalam
isu integrasi yang selalu memicu polemik dan konflik tak berkesudahan? ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169461/pahlawan-nasional-papua |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar