Mentalitas Bangsa dan Pembangunan Menuju Indonesia Emas Martani Huseini :Guru Besar Ketua Center for Innovative Governance
(CIGO) Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia |
KOMPAS, 12 Agustus 2023
Antropolog Indonesia, Profesor Koentjaraningrat,
sebelum meninggal pada 1999 telah mengingatkan kita bahwa kelemahan
mentalitas yang bisa menghambat percepatan pembangunan bangsa Indonesia
adalah mentalitas yang meremehkan mutu, mentalitas yang suka menerabas, sifat
tidak bisa percaya diri sendiri, sifat tidak disiplin, sifat tidak
bertanggung jawab. Peringatan ini sudah disampaikan dalam tulisan dan
berbagai ceramah di kampus Universitas Indonesia jauh sebelum era
digitalisasi dan era industrialisasi 4.0. Ironisnya, peringatan Koentjaraningrat
justru banyak yang dilanggar di kampus pula. Tengoklah halaman parkir di
gedung rektorat dipenuhi reservasi untuk para pejabatnya sehingga layanan
parkir umum yang ramah untuk tamu diabaikan, termasuk penyediaan lift khusus
yang eksklusif. Bahkan, para pejabat dilengkapi mobil patroli khusus dengan
warna seperti mobil Polri, tetapi menggunakan plat merah. Perlakuan eksklusif
ini tidak hanya terjadi di kampus-kampus perguruan tinggi negeri, tetapi juga
diberlakukan di kementerian-kementerian dan pemerintah daerah di seluruh
Indonesia. Pelat nomor mobil khusus yang
dilengkapi strobo dan rotator semakin marak digunakan oleh para pejabat
legislatif, TNI, pejabat pemerintahan, dan lain sebagainya. Padahal, Presiden
Jokowi sudah memberi contoh agar tidak ada eksklusivisme, perlakuan khusus
yang berlebihan dalam pengawalan. Bahkan, di beberapa negara Uni Eropa,
seperti Belanda, Denmark, dan Norwegia, para pejabatnya termasuk perdana
menteri dan presiden sering menggunakan sepeda ontel untuk menuju ke kantornya,
walaupun tetap dalam penjagaan keamanan yang efisien. Jika mentalitas eksklusif terus
dibiarkan, mentalitas feodalisme akan seiring berkembang biak sehingga para
pejabat yang melakukan perjalanan dinas selalu harus dikawal dan dilayani
oleh staf yang khusus mengurus tiket perjalanan, membawakan tas, dan lain
sebagainya. Dampaknya, biaya perjalanan dinas para pejabat makin boros dan
menggerogoti anggaran APBN. Peristiwa lain yang menyedihkan para
cendekiawan Indonesia adalah pemberian gelar profesor kehormatan, doktor
honoris causa oleh kampus-kampus di Indonesia dan di mancanegara. Pemberian
gelar semacam ini, apabila tidak ditertibkan, mentalitas feodalisme semakin
tertanam kuat dan merusak mental bangsa. Padahal, di negara Uni Eropa,
pengalaman penulis sewaktu menimba ilmu di Perancis, sebutan profesor adalah
gelar seorang guru di sekolah apakah di tingkat SD, SLTP, SLTA, ataupun
perguruan tinggi. Pemanggilan prof (profesor) hanya diucapkan di dalam kelas
maupun acara intern lembaga. Selebihnya digunakan pemanggilan yang wajar di
masyarakat. Fakta dan kejadian semacam
contoh-contoh di atas semakin meresahkan masyarakat karena memberikan peluang
tumbuh berkembangnya eksklusivisme dan feodalisme yang semu. Ajaran Ki Hadjar Dewantara Bangsa Indonesia perlu belajar
sejarah dan bagaimana tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang memberi
contoh suri teladan dalam membangun fondasi budaya bangsa jauh sebelum
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Ki Hadjar Dewantara mendirikan dan
memimpin Sekolah Taman Siswa di Yogyakarta pada 3 Juli 1922 sudah banyak
diketahui masyarakat. Namun, belum banyak orang yang mengetahui bahwa Ki
Hadjar adalah putra bangsawan Pakualam Yogyakarta yang di masa kecilnya,
selain mengenyam pendidikan di sekolah dasar, juga belajar di pesantren
sehingga basis ilmu keagamaannya sangat kuat. Dengan latar belakang seorang anak
bangsawan, Ki Hadjar memiliki kesempatan belajar hingga ke jenjang HBS
(Hogere Burgerschool), sekolah menengah umum untuk orang Belanda, Eropa,
Tionghoa, dan elite pribumi yang didirikan pada 1863. Sekolah ini menggunakan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Ki Hajar akhirnya melanjutkan ke
jenjang pendidikan tinggi sekolah kedokteran STOVIA untuk kaum pribumi yang
didirikan pada 1851, cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Karena jiwa pejuang yang egalitarian,
Ki Hadjar pada masa remajanya sudah berbaur dengan masyarakat dan
meninggalkan status kebangsawanannya. Yang semula nama dan gelar lengkap
tercantum Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, diubahnya menjadi Ki Hadjar
Dewantara. Ki sebutan gelar setara Mr. Bahkan, cara berpakaiannya unik,
memakai kopiah hitam, baju polos dilapisi jas, tetapi memakai sarung dan alas
sepatu sandal hitam. Tampilan (appearance) pakaian dan
gelar resmi secara tidak langsung Ki Hadjar Dewantara memberikan teladan
pendidikan egalitarian yang dibutuhkan masyarakat Indonesia masa kini. Ki Hadjar Dewantara mencetuskan
konsep trikon dan trisentra. Konsep trikon sebenarnya mengacu kepada ajaran
budaya organisasi. Tidak menafikan penularan pengaruh budaya dari luar
(KONvergensi) yang tidak bisa kita tolak karena terus menerus (KONtinu) akan
memasuki ranah peradaban budaya kita, tetapi kita harus memperkuat identitas
warga bangsa yang unggul harus dipilih. Makanya, menengok tampilan pakaian Ki
Hadjar ada unsur Barat-nya (jas), ada akulturasi budaya dengan unsur sarung
dan kopiah yang merupakan budaya lokal simbol pakaian khas Indonesia. Adapun konsep trisentra adalah suatu
proses pembentukan fondasi budaya yang baku dan kekal harus dibentuk dari
rumah, sekolah, dan masyarakat. Mudah diucapkan, tetapi sulit untuk
diwujudkan, terutama proses sinkronisasi antara trikon dan trisentra. Ki
Hadjar sudah memberikan contoh suri teladan kehidupan di keluarganya yang
meniadakan gelar kebangsawanan lainnya. Fondasi bangsa Saat menjabat Direktur Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan di Kementerian Perikanan dan
Kelautan pada 2007, saat berkunjung ke kota Seoul, penulis terperangah
melihat pejabat eselon satu di Korea Selatan menyetir sendiri mobil dinasnya
dan tidak disediakan tempat parkir khusus yang eksklusif. Ini juga menjadi
pelajaran yang menarik buat referensi pembanding. Kita juga dapat belajar
dari Singapura dan China yang sudah melompat jauh menjadi negara maju yang
terkait dengan penataan kultur birokrasi dan kemajuan peradabannya. Tata kelola dinamis dijelaskan
ilmuwan Singapura Neo Boon Siong dan Chen Geraldine, penulis buku Dynamic
Governance; Embedding Culture, Capabilities and Change in Singapore (2007).
Referensi buku ini menarik untuk dirujuk sebagai bekal untuk dapat menaikkan
peringkat Indonesia menjadi negara maju. Apalagi, Indonesia masih memiliki
peluang dapat memanfaatkan bonus demografi. Kesiapan (readiness) agar Indonesia
siap menjadi negara maju, kata Jim collins penulis buku Good to Great, harus
memiliki mentalitas 3D (tiga disiplin). Artinya, untuk menaikkan peringkat
dari tingkat sudah bagus menjadi lebih unggul lagi harus memiliki perilaku
discipline people, discipline action, discipline thought (rajin berinovasi).
Fondasi budaya termasuk sikap 3D yang dijadikan tumpuan bangunan model tata
kelola dinamis, inilah yang oleh pakar manajemen dari Singapura perlu
ditanamkan sejak dini. Di keluarga, sekolah, dan masyarakat
seperti yang telah ditanamkan oleh Ki Hadjar Dewantara sejak dahulu tentang
sinkronisasi azas trikon dan tripusat. Apalagi, jika kita mewaspadai
peringatan pakar antropologi Indonesia, Koentjaraningrat, bahwa mentalitas
meremehkan mutu, mentalitas suka menerabas, sifat yang tidak percaya diri,
tidak berdisiplin, dan sifat tidak bertanggung jawab (selalu mencari kambing
hitam) bisa dihindari. Seandainya semua peringatan yang
disebutkan di atas oleh para pakar dapat dipenuhi, tata kelola dinamis
seperti yang digambarkan Neo dan Chen, untuk pembangunan NKRI baru yang
dinamis untuk semua tingkatan pemerintahan bisa merespons lingkungan yang
tidak menentu dan disruptif. Artinya, lingkungan yang bergerak cepat, penuh
ketidakpastian, sangat kompleks, dan sulit diduga kapan datangnya serta
sangat mudah berubah. Oleh karena itu, kita harus
menyiapkan sistem pendidikan yang merata dan bermutu sejak dini agar
Indonesia benar-benar siap memasuki babak Indonesia Emas di tahun 2045..● |
Sumber
:https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/10/mentalitas-bangsa-dan-pembangunan-menuju-indonesia-emas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar