Hukum Alat Merdeka Berkata-kata Bivitri
Susanti : Pengajar di
Sekolah Tinggi Hukum Jentera |
KOMPAS, 10 Agustus 2023
Gambar apa yang muncul di benak Anda
saat kita berpikir tentang kata ”negara”? Bangunan megah istana presiden dan
gedung DPR? Atau wajah presiden? Atau mungkin bendera Merah Putih? Memang,
benak kita kerap dipenuhi gagasan visual yang mentereng ketika berbicara
negara. Sebab, kita kerap diminta berpikir bahwa negara adalah tentang
kekuasaan. Padahal, negara pada awalnya adalah warga. Kekuasaan dikelola berdasarkan hukum,
itulah yang disebut negara hukum. Karena itu, semua orang harus taat hukum.
Sampai di sini, gagasan ini tak bermasalah. Namun, yang kerap luput dibahas
dalam pendidikan kewarganegaraan kita, untuk siapa kekuasaan itu harusnya
dijalankan dan untuk siapa hukum dibuat? Karena negara tidak akan eksis tanpa
warga, mengutip Satjipto Rahardjo, hukum itu untuk manusia, bukan manusia
untuk hukum. Hukum tidak akan selalu benar sehingga tidak harus ditaati
secara berlebihan. Sebab, hukum dibuat dan ditegakkan oleh manusia, yang tentu
memiliki berbagai kepentingan. Penyelenggara negara, dengan kekuasaan yang
dimilikinya, juga berkepentingan menjaga ketertiban di dalam negara.
Pertanyaannya, ketertiban ini dipelihara dan dipaksakan (imposed) untuk
tujuan apa? Apakah untuk tujuan kehidupan warga yang lebih baik atau sekadar
untuk memastikan penyelenggaraan negara tak terganggu oleh berbagai
pertanyaan kritis tentang bagaimana negara diselenggarakan? Pada saat kekuasaan penyelenggaraan
negara dijalankan hanya untuk kepentingan segelintir orang, tentu sebagian
warga yang lain boleh dan harus protes. Melalui forum apa? Apabila sistem
politik berjalan ideal, wakil-wakil rakyat menyalurkan protes ini melalui
fungsi pengawasannya. Wakil rakyat juga yang memastikan pemerintah
menjalankan pemerintahan untuk semua, melalui fungsi legislasinya. Namun,
belakangan ini, situasi ideal ini tak terlihat. Jadi, ke mana lagi warga bisa
mengawasi jalannya negara? Unjuk rasa di jalanan dan di media sosial adalah
caranya. Repotnya, pemerintahan yang takut kritik, juga akan menggunakan
kekuasaan untuk membungkam kebebasan berpendapat. Lagi-lagi, alat paling efektif untuk
mengeksekusi kekuasaan sehingga seakan legitimate adalah hukum. Sebab, dalam
bangunan konsepnya, hukum dianggap alat pengatur yang sah dan harus dipatuhi.
Maka, penguasa demagog akan membuat hukum dan penegakan hukum yang bertujuan
membungkam pendapat orang. Di titik inilah rasa ketersinggungan dan
emosi-emosi lainnya dikaburkan batasnya dari wilayah privat menjadi wilayah
publik. Kritik pada orang yang memegang jabatan dianggap sebagai gangguan
umum. Hal ini bisa dilihat pada pasal-pasal pidana tentang penghinaan
presiden, yang masih kita miliki, meski berupa delik aduan. Tak berhenti di situ, cara pandang
tentang kekuasaan untuk membungkam juga timbul pada warga, yaitu pada
kelompok-kelompok yang merasa dekat dengan kekuasaan atau menginginkan
kekuasaan. Padahal, kekuasaan tak perlu lagi dilindungi secara partikelir.
Penguasa mempunyai alat yang lebih dari cukup untuk melindungi kekuasaannya. Begitu mudahnya hukum dan penegakan
hukum digunakan sehingga kata-kata menjadi kejahatan yang dapat dipidana.
Diksi bernada hinaan atau terasa kasar, yang seharusnya diselesaikan di
antara orang yang bertikai, menjadi urusan publik pada saat ada keonaran yang
terjadi. Padahal, keonaran atau apa pun yang berkaitan dengan persepsi, bisa
diciptakan. Bisa melalui ramainya media sosial, yang bisa dilakukan oleh
pendengung (buzzers) berbayar. Bisa pula melalui mobilisasi massa, yang juga
bisa direkayasa. Dengan cara pandang yang mendewakan
kekuasaan, ejekan dan cacian dikonstruksi sebagai pengganggu kemapanan
kekuasaan. Bukan sebagai awal perdebatan substansi tentang bagaimana negara
dikelola. Akar dari ketidakmampuan menerima
kritik adalah pendidikan tentang kekuasaan yang megah. Ia tak hanya harus
dipatuhi, bahkan simbol-simbolnya harus dihormati secara militer dalam acara
formal. Padahal, di negara-negara demokrasi yang berorientasi kinerja
demokrasi dan bukan simbolisasi nasionalisasi, upacara bendera dan budaya
militer tak lazim digunakan untuk merayakan kekuasaan. Agustus, bulan kemerdekaan,
barangkali bisa kita jadikan momentum yang pas untuk memikirkan ulang
kekuasaan negara sebagai sesuatu yang megah, absolut, dan karena itu perlu
diraih dengan segala cara. Merdeka seharusnya bukan sekadar merdeka dari
penjajahan negara lain, melainkan tentang ruang yang luas untuk berpikir,
berpendapat, dan berkreasi untuk memajukan bangsa. Kekuasaan dan keinginan
berkuasa tidak boleh disalahgunakan untuk memadamkan kemerdekaan ini.● |
Sumber
:https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/09/hukum-alat-merdeka-berkata-kata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar