Indonesia Harus Impor
Beras atau Swasembada Beras Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 04
Desember 2022
SEWINDU lalu, ketika
dilantik pertama kali sebagai presiden, Joko Widodo berjanji mewujudkan
kedaulatan pangan. Sayangnya, sampai hari ini, jangankan mencapai kemandirian
pangan, membuat neraca beras nasional yang kredibel, transparan, dan
akuntabel saja pemerintah tampaknya kewalahan. Silang pendapat antara
Kementerian Pertanian dan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog)
tentang angka produksi dan stok beras nasional adalah buktinya. Menteri
Pertanian Syahrul Yasin Limpo hakulyakin produksi beras masih mencukupi,
termasuk untuk mengisi cadangan beras pemerintah, sehingga menilai impor tak
diperlukan. Sedangkan Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menyatakan
cadangan beras pemerintah tinggal 594 ribu ton, kurang dari separuh target
stok minimal 1,2-1,5 juta ton. Berpegang pada data itu, Bulog menilai impor
beras kudu segera dilakukan. Ini sebenarnya cerita
lama. Kisruh seperti ini muncul saban tahun di sepanjang dua periode
pemerintahan Jokowi. Data beras yang dimiliki antarinstansi pemerintah, dari
produksi, konsumsi, stok tahunan, luas tanam, hingga perkiraan panen, tak
pernah sinkron. Alih-alih berkoordinasi dan membenahi masalah krusial ini,
para pemangku kebijakan pangan memilih berfokus pada pencapaian target
masing-masing. Ego sektoral masih jadi tembok besar yang menghambat
koordinasi lintas kementerian. Dari berbagai pernyataan
publik mereka, jelas bahwa keengganan utama Kementerian Pertanian mendukung
rencana impor beras bersumber dari kekhawatiran bakal dituding gagal mencapai
swasembada pangan. Sebaliknya, Bulog juga ogah dianggap tak cakap mengelola
cadangan beras pemerintah. Itu yang membuat Bulog berkeras mendorong
pengadaan dari luar negeri meski tahu betul bahwa kebijakan impor pangan
kerap ditunggangi para pemburu rente. Ketimbang mencari solusi yang paling
rasional demi kepentingan rakyat, kedua lembaga itu memilih ngotot di posisi
masing-masing agar terlihat paling becus mengurus beras. Presiden Joko Widodo harus
segera membereskan kekisruhan ini. Buruknya tata kelola perberasan dapat
menjadi sumber malapetaka. Rendahnya ketersediaan beras sangat rentan memicu
kenaikan harga. Pengalaman 1998 semestinya cukup menjadi pelajaran. Kala itu,
krisis moneter meletus beriringan dengan kenaikan harga beras lebih dari dua
kali lipat. Gejolak ekonomi pun mengguncang stabilitas politik dan keamanan
nasional. Kenaikan harga beras
sangat berisiko bagi perekonomian karena komoditas pangan ini sangat
fundamental dan berkaitan erat dengan kesejahteraan masyarakat. Studi Bank
Dunia memperkirakan setiap kenaikan harga beras sebesar 10 persen akan
menambah angka kemiskinan sebesar 1,1 persen. Bertambahnya jumlah penduduk
miskin pada akhirnya bakal menambah beban anggaran negara. Sejurus dengan
itu, daya beli masyarakat yang merosot akibat inflasi berpotensi memperlambat
pertumbuhan ekonomi. Yang paling merana tentu
petani. Seperti yang sudah-sudah, polemik antara Kementerian Pertanian dan
Bulog bakal menyebabkan realisasi impor beras terlambat. Akibatnya, beras
impor bisa-bisa datang bersamaan dengan musim panen, Maret tahun depan. Tanpa
rantai distribusi yang melindungi petani dari tengkulak, banjir beras impor
pasti memukul harga gabah. Petani rugi, warga rugi, kita semua rugi. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/167563/indonesia-harus-impor-beras-atau-swasembada-beras |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar