Dampak Perubahan Penanganan Covid-19
terhadap Ekonomi Cina Yopie Hidayat : Kontributor Tempo |
MAJALAH TEMPO, 04
Desember 2022
AKHIRNYA pemimpin Cina, Xi
Jinping, melunak juga. Pemerintah Cina mulai melempar sinyal akan
melonggarkan cara-cara penanganan pandemi Covid-19 yang selama ini mengekang
aktivitas ekonomi Cina. Pasar finansial di seluruh dunia pun lega melihat
isyarat itu. Dalam hal penanganan
Covid-19, Cina bisa dibilang sangat ketinggalan zaman, bak orang tua kolot
nan penakut. Ketika seluruh dunia sudah menerima Covid-19 sebagai penyakit
biasa layaknya influenza, pemerintah Cina masih menganggapnya sebagai
penyebar maut dan amat berlebihan dalam menanganinya. Temuan satu-dua kasus
saja sudah cukup menjadi alasan untuk menutup seluruh kota dan mengurung
penduduknya dalam karantina selama berpekan-pekan. Bukan cuma kebebasan warga
yang terenggut. Korban terbesar kebijakan paranoid itu adalah ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Cina (secara tahunan) pada kuartal III 2022 hanya
3,9 persen, jauh di bawah target pemerintah yang sebesar 5,5 persen. Jika
pergerakan ekonomi Cina tersendat, seluruh dunia turut merasakan dampaknya. Maklum, Cina merupakan
pusat manufaktur segala macam produk yang memenuhi kebutuhan konsumen di
seluruh dunia. Jika sumber utamanya terganggu, pasokan berbagai barang
terhambat, dampaknya pasti amat signifikan terhadap bisnis. Satu contoh saja,
menurut hitungan analis yang dikutip Financial Times, Apple Inc bisa
kehilangan potensi penjualan senilai US$ 1 miliar setiap pekan selama pabrik
iPhone di Zhengzhou terkena lockdown. Konsumen harus menunggu lebih lama
untuk memperoleh produk-produk Apple terbaru. Omzet penjualannya pun merosot. Itu sebabnya pasar finansial
sempat bergejolak ketika protes merebak di berbagai kota besar di Cina dua
pekan lalu. Warga yang sudah tak tahan lagi terkurung melawan dengan turun
berdemonstrasi di jalan. Apalagi protes itu juga sempat menyentuh soal paling
tabu: desakan agar Xi Jinping mundur dari jabatannya. Jika situasi di Cina
memburuk, apalagi sampai tak terkendali dan pecah menjadi kerusuhan, inflasi
global bisa makin melonjak. Pasokan barang yang pampat tentu membuat harga
makin melambung. Jika hal itu terjadi,
upaya bank sentral di berbagai negara melawan inflasi dengan menaikkan bunga
bakal sia-sia. Percuma saja melawan inflasi lewat kebijakan moneter seraya
mengorbankan pertumbuhan ekonomi jika penyebabnya adalah gangguan serius pada
rantai pasokan. Meski bunga sudah dinaikkan amat tinggi, harga-harga akan
naik juga. Bagi Indonesia, situasi
bisa lebih runyam jika kekisruhan itu tak segera teratasi. Melambatnya
ekonomi Cina berpotensi menyeret turun harga berbagai komoditas yang menjadi
sumber utama surplus neraca perdagangan Indonesia 30 bulan terakhir. Tanpa
ganjalan pasokan dolar dari surplus perdagangan, Indonesia bisa menghadapi
persoalan besar: aliran dolar masuk makin surut. Kemungkinan buruk itu sudah
tecermin pada melemahnya rupiah menjadi sekitar 15.700 per dolar Amerika
Serikat sepanjang dua pekan lalu, ketika gelombang protes di Cina mencapai
puncaknya. Untungnya, situasi cepat
berbalik. Pada Kamis, 1 Desember lalu, Sun Chunlan, Wakil Perdana Menteri
Cina yang bertanggung jawab menangani pandemi Covid-19, mengatakan Cina
sekarang memasuki fase baru. Sebab, varian Covid-19 tidak lagi mematikan.
Esoknya, Yi Gang, Gubernur Bank Rakyat Cina, menambahkan sinyal positif
dengan menegaskan bahwa fokus utama lembaganya adalah pertumbuhan. Bank
sentral Cina akan mengadopsi kebijakan yang akomodatif untuk mendorong
pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Berbagai isyarat itu
langsung meredakan kecemasan pasar. Investor kini menanti
hasil pertemuan 24 anggota politbiro Partai Komunis Cina, yang biasanya
berlangsung pada awal Desember tiap tahun. Pertemuan itu akan merumuskan arah
kebijakan ekonomi Cina tahun depan. Jika hasilnya kebijakan pragmatis,
meninggalkan gaya kolot yang mencekik ekonomi, terangkatlah satu beban berat
yang selama ini membawa sentimen negatif ke pasar finansial global. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar