Catatan Pinggir
Pencitraan dalam
Kapitalisme dan Politik Goenawan Mohamad : Sastrawan, Pendiri Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 04
Desember 2022
APA yang akan terjadi
seandainya Pinokio tak pernah berdusta? Dia akan jadi anak baik. Panjang
hidungnya akan normal. Juga
hidupnya: bangun pukul 6 pagi, mandi, gosok gigi, sisiran,
sarapan dengan ayahnya yang sabar, Gapeto, lalu berangkat ke sekolah.
Ia akan jadi anak yang tertib, dalam belajar dan
beribadah. Tak ada kelakuannya yang
mengejutkan. Riwayatnya bukan petualangan. Tentu
saja, menjemukan. Carlo Collodi tak akan pernah menuliskannya; pengarang
Italia ini akan lebih memilih terus
mengerjakan terjemahan dongeng peri dari Prancis—dan kita akan
kehilangan sebuah bacaan yang asyik. Sebab, sebagaimana “semua
keluarga bahagia sama saja”—seperti kata novelis Leo
Tolstoy dalam Anna Karenina—anak yang baik pun di mana-mana sama
saja. Untunglah,
Pinokio beda—bukan cuma panjang hidungnya. Tokoh kita ini tak lurus
seperti mistar. Dalam satu adegan, ia bertemu seorang peri yang mengatakan
“anak baik selalu bicara benar”. Pinokio menjawab: “Dan saya selalu
berbohong”. Bohong bisa tak sama
dengan “jahat”. Bohong bisa memukau. Pada umumnya, cerita
lebih memikat ketimbahg fakta. Dulu ada seorang bangsawan
Jerman, bernama Hieronymus Karl Friedrich von
Münchhausen yang jadi pesohor karena cerita-cerita
“pengalaman” dirinya yang seru dan sangat tak masuk
akal. Dari sini lahir buku tentang kisah tualang sang pambual, disusun seorang
pustakawan bernama Rudolf Erich Rasper—sebuah buku termasyhur bahkan
pernah disadur ke dalam bahasa Indonesia jadi Pak Bohong. Bohong tak cuma
berbentuk petualangan ajaib. Ada sebuah buku yang ditulis Seth Godin, seorang
pengarang Amerika yang berpengalaman dalam dunia pemasaran, berjudul All
Marketers are Liars. Dalam teknik pemasaran, promosi yang efektif
adalah melalui cerita. Dan, menurut Godin, cerita itu begitu
rupa hingga pada akhirnya bersenyawa dengan yang dibangun konsumen
sendiri. Stories let us lie to ourselves. Syahdan, sejak
20 tahun yang lalu, dalam bahasa Indonesia ada
kosa kata baru, “ngecap”. Artinya sejajar dengan
“membual”. Kata ini beredar sejak kita, para calon
konsumen, mau menerima bahwa yang melebih-lebihkan diri (dimulai
dengan kecap: “Kecap Nomor Satu”) adalah satu bualan—atau
kebohongan—yang tak perlu digugat; cukup diragukan dan ditertawakan. Lajunya kapitalisme memungkinkan itu. Ada
perubahan drastis sejak “pemasaran” jadi kegiatan pokok perdagangan
dan perdagangan
merasuki kehidupan. Iklan pun santer membangun branding,
identitas yang membawa kesan yang
positif tentang sebuah produk dan produsennnya. Adapun yang “postif”
itu dicapai
dengan ngecap… Dahulu, ketika pemasaran belum
kokoh melembaga, tak ada yang beriklan dengan semangat
Kecap-nomor-satu. Pedagang akan menamai restorannya
“Sederhana” dan kedainya “Sudi Mampir”—sebuah ekspresi yang
rendah hati. Kini sebaliknya. Sebuah kafe atau restoran akan tak
rikuh pakai nama, “Grand Cafe” atau “Paradiso”. Sesungguhnya, itulah yang
disebut “pencitraan”. Di kalangan “analis”
politik kata ini sering punya konotasi negatif. Pertemuan G20 yang
megah meriah di Bali dicemooh hanya sebagai “pencitraan” yang
digemari Presiden Jokowi. Para “analis” politik ini umumnya
tak akrab dengan getar dunia perdagangan.
Mereka tak melihat bahwa “pencitraan”, bagian dari
pemasaran, bukan hal baru. Dalam khazanah perdagangan,
“pencitraan”—secara sederhana: aktif beriklan — adalah investasi. Ia perlu
dan mahal. Saya kira Pertemuan
G20 tak serupa dengan perhelatan megah “Ganefo”, Games
of the New Emerging Forces” yang diselenggarakan Presiden
Sukarno di tahun 1963, untuk menyaingi Olimpiade. Acara olahraga
internasional yang rekor-rekornya tak diakui
itu umumnya dihadiri negara-negara sosialis
yang datang tak hendak berdagang. Pencitraan ala
“Ganefo” rasanya lebih cocok dengan pencitraan dalam
negara-negara “pra-modern” seperti Majapahit dan kerajaan-kerajaan di
Bali. Antropolog Clifford Geertz memperkenalkan istilah yang
kemudian terkenal: negara sebagai “theatre state”. Kerajaan
berjalan bukan melalui administrasi yang efektif ataupun penaklukan,
melainkan melalui ”spectacle” yang dipertunjukkan dengan memukau. Pendek
kata, pencitraan. Tapi spectacle tak hanya
sebuah pesta olahraga internasional. Di hari-hari menjelang pemilihan umum,
pencitraan berkembang biak di tiang listrik dan pohon-pohon, di mana
terpampang deretan potret wajah yang berpeci atau berjilbab: para politisi. Tapi jangan melihat ke mereka saja. Kita sendiri—yang
suka mengecam pencitraan—hidup, bergaul,
merayu dan dirayu, dengan Facebook, medan pencitraan, gabungan hasrat
narsistis dan keinginan berbagi. Tentu saja dengan “kebenaran” yang diseleksi
dan dusta yang menarik dan dimaklumi. Sedikit banyak, kita juga
Pinokio. ● Sumber :
https://majalah.tempo.co/read/catatan-pinggir/167585/pencitraan-dalam-kapitalisme-dan-politik |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar