Wawancara Dubes
Norwegia Soal Penghentian Kerja Sama REDD+ Abdul Manan : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 27
November 2022
BARU dua hari bertugas
menjadi Duta Besar Norwegia, Rut Krüger Giverin menerima kenyataan pemerintah
Indonesia memutus kerja sama penurunan emisi gas rumah kaca melalui
pencegahan deforestasi dan degradasi lahan (REDD+) pada 10 September 2021.
Melalui nota diplomatik Kementerian Luar Negeri, pemerintah Indonesia
menghentikan kerja sama yang sudah berlangsung sepuluh tahun
itu. Pemerintah Indonesia menilai Norwegia tak kunjung merealisasi
pembayaran berbasis hasil atau result-based payment senilai US$ 56 juta atas
pengurangan 11,2 juta ton emisi karbon pada 2016-2017. "Bagi diplomat, ini
juga merupakan tantangan yang menarik bagaimana ketika Anda memulai dari nol
untuk mencoba membangun dan menjalin hubungan baik lagi," kata Giverin
kepada wartawan Tempo, Abdul Manan dan Tara Reysa, di kantornya di Jakarta, Rabu,
16 November lalu. Giverin mengatakan
pemerintah Norwegia memahami keputusan pemerintah Indonesia itu. Ia pun mulai
mendekati kembali Kementerian Luar Negeri serta Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan untuk memulai perundingan lagi. Usahanya berhasil. Indonesia
dan Norwegia kemudian menandatangani Nota Kesepahaman tentang Kemitraan
Mendukung Upaya Indonesia Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor
Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya. Menteri Iklim dan
Lingkungan Norwegia Espen Barth Eide yang menandatangani perjanjian kerja
sama itu bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya di
Jakarta pada 12 September 2022. Setelah itu diikuti oleh penandatanganan
kesepakatan kontribusi antara Giverin dengan Kepala Badan Pengelola Dana Lingkungan
Hidup (BPDLH) Djoko Hendratto pada 19 Oktober lalu. Selama sekitar satu jam
Giverin memaparkan apa saja yang ia lakukan untuk memulihkan program
kerjasama di bidang perubahan iklim itu serta berbagai tantangan dalam
melakukan transisi dari energi fosil ke energi terbarukan. Bagaimana
Anda membangun kembali kerja sama dengan Indonesia setelah penghentian kerja
sama REDD+ pada 2021? Indonesia adalah negara
yang sangat menarik bagi diplomat untuk bekerja. Terkadang agak menantang,
tapi sangat menarik dan ada pekerjaan penting. Bukan hanya untuk Norwegia dan
Indonesia dalam hal iklim dan kehutanan, tapi demi kepentingan global. Jadi,
bagi kami, itu memberi banyak motivasi. Apa
tanggapan Anda terhadap penghentian kerja sama itu? Kami menghormati keputusan
tersebut dan kemudian melihat ke depan. Kami berupaya dapat bekerja sama
lagi. Kami mencoba langkah demi langkah membangun kepercayaan dan kebersamaan
yang setara. Itu semua soal diplomasi. Saya banyak berdiskusi dengan
kolega di Kementerian Luar Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, dan banyak orang. Saya bertemu dengan menteri. Kami berdiskusi.
Langkah demi langkah kita perlukan untuk membangun kepercayaan sehingga
memiliki kemitraan yang setara berdasarkan pemahaman dan rasa hormat yang
sama. Norwegia adalah negara kecil. Indonesia negara yang penting secara
global. Ini penting, bukan hanya di isu kehutanan, tapi secara umum. Bagi
Norwegia, sangat penting menghormati dan berbicara dengan Indonesia
dengan cara seperti itu. Dalam hal pengurangan emisi dari hutan hujan,
Indonesia telah memberikan hasil yang luar biasa selama bertahun-tahun. Apa
yang Anda lakukan? Ketika letter of intent dihentikan,
Norwegia menyampaikan dua hal: kami menghormati keputusan pemerintah
Indonesia dan sangat siap berdiskusi kapan saja untuk melanjutkan dukungan
kami. Perlahan tapi pasti kami mengadakan pertemuan, membahas bagaimana kita
maju bersama. Kami juga memiliki pemerintahan baru di Norwegia pada Oktober
tahun lalu. Menteri kami sangat berkomitmen dan mencoba membuat kerja sama
ini berhasil. Komitmen politik yang kuat dari menteri itu sangat penting.
Menteri Lingkungan Norwegia datang ke sini pada September dan menandatangani
nota kesepahaman (MOU). Sekarang pembahasannya berlanjut di tingkat menteri
dan duta besar. Apa
beda skema saat ini dengan REDD+ dulu? Perjanjian sebelumnya
dibikin pada 2010. Jadi sudah lama sekali. Saya pikir wajar jika diperbarui.
Elemen utama perjanjian baru mengandalkan sistem Indonesia karena kami
memberikan "kontribusi berdasarkan hasil". Kontribusi diberikan ke
Indonesia melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dan dikelola
sepenuhnya oleh Indonesia. Setelah
perjanjian kontribusi antara Anda dan BPDLH pada 19 Oktober lalu, ada
pembahasan apa lagi? BPDLH membuat rencana
detail dan kerangka kerja. Pada dasarnya kami mendukung Forestry and Other
Land Use (FOLU) Net Sink 2030 plus yang sudah dikembangkan oleh pemerintah
Indonesia. MOU bukan hanya tentang pembayaran berbasis hasil, juga kemitraan
luas untuk masalah yang menjadi kepentingan bersama. (FOLU
Net Sink 2030 adalah tercapainya penurunan emisi karbon dari sektor
kehutanan dan penggunaan lahan lain pada 2030 yang seimbang dengan serapan
emisinya atau bahkan lebih tinggi.) Bagaimana
Norwegia memantau penggunaan dananya? BPDLH sudah memiliki
prosedur pelaporan yang sangat baik. BPDLH punya sistem pelaporan sendiri dan
kami mengikuti sistem itu. Bagaimana
Anda melihat FOLU Net Sink 2030? Perubahan iklim merupakan
tantangan terbesar yang dihadapi dunia. Perubahan iklim adalah masalah global
dan Anda tidak bisa menyelesaikannya kecuali bekerja multikolaborasi. Kami
melihat satu langkah lebih jauh dan, harus diakui, untuk mengatasi tantangan
perubahan iklim secara global Anda harus melindungi hutan hujan karena peran
pentingnya dalam mengurangi emisi. Pemikirannya dari situ. Indonesia adalah
pemimpin dalam pelindungan hutan hujan. Apa yang dilakukan Indonesia
berdampak secara global. Jadi, bagi Norwegia, sangat logis kami mendukung
Indonesia karena apa yang dilakukan Indonesia penting bagi dunia dan juga
kami. Apa
untungnya bagi Norwegia? Norwegia memiliki komitmen
kuat untuk berkontribusi terhadap tujuan Perjanjian Paris. Itu komitmen
internasional. Kami menyadari Indonesia memiliki peran penting untuk
dimainkan di tingkat global. Ada
kerja sama apa lagi antara Norwegia dan Indonesia saat ini? Banyak. Kami memiliki
hubungan yang sangat kuat dengan Indonesia. Untuk menyebutkan beberapa
program, saya pikir bidang utamanya adalah kolaborasi dalam masalah laut.
Norwegia pada 2018 membentuk panel tingkat tinggi untuk pemanfaatan laut yang
berkelanjutan dan Presiden Joko Widodo menjadi bagian dari panel bersama
17 kepala negara. Panel ini mencoba mempromosikan keberlanjutan penggunaan
sumber daya laut. Kami juga mendukung prakarsa baru lautan Indonesia. Kami
pun mendukung beberapa proyek pengurangan sampah laut di lautan bersama
pemerintah. Kami mendukung mangrove dunia dengan US$ 50 juta melalui Bank
Dunia. Kami juga bekerja sama dalam (pemberantasan) penangkapan ikan secara
ilegal, tak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing). Norwegia dan
Indonesia adalah negara laut yang penting. Indonesia merupakan negara
kepulauan terbesar di dunia. Norwegia memiliki garis pantai terbesar kedua di
dunia. Ada banyak kesamaan antara Norwegia dan Indonesia di lautan. Kami juga
bekerja sangat dekat dengan Indonesia dalam isu seperti hak asasi
manusia. Bagaimana
dengan kerja sama perdagangan? Saya belum ada angkanya
saat ini. Tapi Indonesia adalah pasar besar yang sangat penting. Ada
kerja sama di bidang pertahanan? Perusahaan Norwegia,
Kongsberg, menyediakan teknologi modern mutakhir di bidang maritim kepada
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Itu salah satu bidang yang sangat
penting. Ihwal
energi terbarukan, apa bentuk dukungan Norwegia terhadap Indonesia? Kami memiliki perusahaan
yang tertarik mengembangkan tenaga surya. Kami memiliki minat mengembangkan
tenaga air. Saya pikir, beberapa tantangannya adalah soal kerangka peraturan
di Indonesia. Kami coba terlibat dalam dialog. Peran kami sebagai kedutaan
adalah untuk mencoba dan memfasilitasi dialog antara perusahaan dan
pemerintah. Saya pikir, untuk Indonesia, transisi energi juga
rumit, seperti halnya Norwegia, karena pendapatan Norwegia bergantung pada
minyak dan gas sejak akhir 1960-an. Jadi ekonomi kami berada di atas
pendapatan besar dari minyak dan gas. Indonesia mengandalkan batu bara untuk
energi dan pasokan listrik dan Anda tidak bisa menghentikannya begitu saja.
Meskipun berasal dari negara yang berbeda, kita memiliki beberapa tantangan
yang sama. Tapi kita tidak punya pilihan. Kita harus mengembangkan
sektor energi terbarukan dan pemerintah Indonesia telah menunjukkan
komitmen yang besar untuk melakukan itu. Tapi mewujudkannya dalam praktik
merupakan tantangan, baik bagi Norwegia maupun Indonesia. Norwegia
memakai energi fosil? Tidak. Lalu
energi fosil untuk apa? Untuk ekspor. Kami adalah
produsen minyak dan gas yang besar, tapi untuk konsumsi energi internal kami
menggunakan energi terbarukan karena kami memiliki sumber daya tenaga air
yang sangat besar. Tapi bahan bakar fosil, untuk sektor minyak dan gas, ini
akan makin tidak penting di masa depan karena perubahan iklim dan kebutuhan
untuk beralih ke energi terbarukan, bukan hanya di Norwegia, tapi di Eropa
dan di mana-mana. Banyak konsumen juga akan menuntut agar produksi dilakukan
tanpa bahan bakar fosil, misalnya. Tapi, karena situasi di Eropa sekarang,
perang di Ukraina, keadaan menjadi sulit karena banyak negara di Eropa masih
bergantung pada impor gas Norwegia. Kami berada dalam posisi yang sulit. Di
satu sisi kami perlu tetap berfokus pada transisi hijau, tapi pada saat yang
sama kami tahu bahwas beberapa negara (masih) bergantung pada gas Norwegia.
Ini dilema yang kami hadapi. Apakah
Norwegia akan sepenuhnya beralih ke energi terbarukan? Norwegia sedang melakukan
upaya besar-besaran untuk mengubah ekonomi kami, dari yang memiliki fokus
besar pada minyak dan gas ke pengembangan industri energi baru seperti angin
lepas pantai, juga area seperti produksi baterai, dan perkapalan ramah
lingkungan. Transisi hijau (tetap) menjadi prioritas pemerintah. Apakah
ada proyek energi terbarukan perusahaan Norwegia di Indonesia? Ada. Mereka memiliki
proyek energi tenaga air di Sumatera dan Sulawesi. Pasar
Indonesia cukup menarik? Kalau dilihat dari
perspektif jangka panjang, Indonesia adalah pasar yang besar untuk energi
terbarukan. Saya pikir banyak perusahaan di Norwegia yang melihat potensinya,
tapi kapan tepatnya dan apa yang ingin mereka lakukan, itu bukan area
kedutaan, tapi diserahkan kepada mereka. Apa
dampak invasi Rusia ke Ukraina terhadap transisi energi? Satu perspektif adalah
bahwa saat ini gas menjadi makin penting bagi negara seperti Norwegia karena
banyak negara Eropa bergantung untuk membeli lebih banyak gas dari Norwegia.
Hal itu menunjukkan betapa bergantungnya kami pada gas. Jadi kami perlu
mengembangkan jenis sumber energi lain, tapi (perang) itu memperlambatnya.
Bagaimanapun juga, (perang) itu tidak boleh memperlambatnya. Dunia
membutuhkan transisi hijau. Menurut saya, ada kemauan politik di Norwegia dan
Eropa untuk memastikan bahwa krisis Ukraina tidak berarti kami memperlambat
transisi hijau. Kami masih harus berfokus pada itu karena, jika tidak, kami
akan tertinggal karena butuh waktu untuk membangun sumber energi baru dan
energi alternatif. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar