Tantangan setelah G20
Bali Bhima Yudhistira : Direktur Eksekutif Celios (Center of
Economic and Law Studies) |
JAWA POS, 22 November 2022
MOMEN KTT G20
yang dengan meriah diselenggarakan di Bali telah usai. Terlepas dari momen
selebrasi, penyelenggaraan G20 diliputi berbagai tantangan. Konflik di
Ukraina yang masih berlanjut, krisis pangan, krisis energi, hingga kenaikan
suku bunga menciptakan badai yang sempurna. Karena itu, G20 kali ini bisa
dibilang paling mewah sekaligus paling menarik sepanjang sejarah sejak
didirikan pada 1999. Paling mewah karena dana yang dihabiskan pemerintah
mencapai Rp 526 miliar untuk penyelenggaraan. Disebut paling menarik karena
diselingi intrik geopolitik antar pemimpin negara yang hadir. Ketegangan
geopolitik mewarnai jalannya G20 saat Indonesia menjadi tuan rumah tahun ini.
Ketidakhadiran Putin, misalnya, mengindikasikan perang tampaknya belum akan
berakhir singkat. Dus, harga minyak mentah masih bertahan di atas USD 80 per
barel setidaknya hingga akhir 2022. Sementara, presiden AS dan pemimpin Arab
Saudi menjaga jarak karena perselisihan soal produksi minyak. Ada juga drama
antara PM Kanada dan presiden Tiongkok terkait masalah bocornya percakapan di
sela G20. Faktor
geopolitik ujungnya mempersulit tercapainya koordinasi ketahanan pangan,
energi, kerja sama fiskal serta moneter, dan berbagai isu lainnya. Bahkan,
tidak dimungkiri asal muasal krisis justru berada di antara perang
kepentingan negara anggota G20 sendiri. Terlepas dari
mencuatnya konflik, terdapat beberapa isu G20 yang langsung berkaitan dengan
hajat hidup rakyat Indonesia. Pertama, masalah ketahanan pangan memerlukan
koordinasi antarnegara penghasil pangan dengan importir. Indonesia, misalnya,
memiliki ketergantungan beberapa pangan impor seperti gandum, bawang putih,
dan kedelai sehingga perlu memastikan kerja sama ketahanan pangan bisa
lancar. Tidak boleh ada negara penghasil pangan yang melakukan proteksi atau
pembatasan ekspor pangan. Kedua, masalah
transisi energi juga tidak kalah penting menjadi perhatian saat KTT G20
berlangsung. Kesepakatan Indonesia dengan negara maju dalam bentuk pendanaan
Rp 314 triliun perlu mendapat pengawasan ketat dari publik. Indonesia menjadi
penerima kedua setelah Afrika Selatan dalam kesepakatan JETP (Just Energy
Transition Partnerships/Kerja Sama Transisi Energi Berkeadilan). JETP
bertujuan mempercepat pensiun dini PLTU dan mendorong pembangunan EBT secara
lebih masif. Bentuk pendanaan transisi energi sayangnya adalah pinjaman
sehingga dana yang jumbo, jika tidak dikelola secara prudent, dapat berdampak
pada penambahan beban utang. Ketiga, dari
sisi persoalan fiskal, masalah pajak dan utang mencuat dalam agenda utama
G20. Kerja sama pajak internasional memang perlu terus didorong sebagai upaya
mencegah penghindaran pajak dan kebocoran pajak lintas negara. Problemnya,
negara-negara suaka pajak atau tax haven bukan menjadi bagian dari G20.
Diperlukan tindak lanjut pasca-G20 untuk menarik lebih banyak lagi negara
dalam kerangka kerja sama pertukaran data dan transparansi data perpajakan. Dari segi
pembahasan utang, data IMF mengungkap bahwa 25 persen negara berkembang
terancam kesulitan untuk membayar kewajiban utang. Sebelumnya, selama pandemi
terdapat kerangka DSSI (debt service suspension initiative) yang merupakan
skema penangguhan pembayaran bunga utang bagi negara miskin. Langkah lebih
lanjut dibutuhkan agar Indonesia dapat terlibat sebagai negara penerima
penangguhan, bahkan pengurangan beban pokok utang (debt cancellation). Meski KTT G20 telah usai,
persoalan ekonomi semakin kompleks. Setidaknya dengan memperkuat kerja sama
ketahanan pangan, energi, maupun berbagai kerja sama di sisi fiskal-moneter,
Indonesia dapat memperkuat fundamental menghadapi resesi global. Awan gelap
masih membayangi negara G20 setidaknya sampai presidensi G20 di India tahun
mendatang. ● Sumber
: https://www.jawapos.com/opini/22/11/2022/tantangan-setelah-g20-bali/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar