Konfigurasi
Koalisi Potensi Berubah & Deklarasi Bisa Last
Minute Andrian
Pratama Taher : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 24 November 2022
Konstelasi politik nasional kembali menunjukkan
sinyal-sinyal tantangan berat. Sejumlah koalisi terlihat masih belum mampu
mengusung paket bakal calon presiden dan wakil presiden dalam menghadapi
Pemilu 2024 meski sudah membentuk poros koalisi. Di kubu Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yang
digawangi Partai Golkar, PPP dan PAN misal, masih belum menentukan nama
kandidat mereka, meski sudah mendeklarasikan maju bersama sejak 13 Mei 2022.
Di KIB, setiap partai masih meyakini langkah mereka masing-masing dalam
mengusung nama bacapres. Misalnya, Golkar masih kukuh dengan upaya
mendorong Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto sebagai bakal capres
mereka hingga saat ini. Sementara mitra koalisinya, yakni PPP justru
menyuarakan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo atau eks Gubernur DKI, Anies
Baswedan sebagai bakal calon. Plt Ketua Umum DPP PPP, Mardiono mengaku, parpol
berlambang ka’bah itu belum menentukan, termasuk keputusan resmi daerah dalam
penentuan bakal capres, meski ada beberapa daerah menyuarakan Anies atau
Ganjar sebagai bakal capres mereka. “Sampai saat ini tidak ada DPW PPP, yang berada
dalam struktur itu, yang mengusulkan nama-nama sebagaimana yang sudah
terkemuka di media secara resmi,” kata Mardiono usai dilantik sebagai utusan
khusus di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (23/11/2022). Mardiono mengaku, beberapa wilayah memang sudah
mengusulkan agar Ganjar menjadi kandidat capres yang diusung PPP. Namun,
Mardiono menegaskan, pengurus pusat akan mengumpulkan aspirasi dari berbagai
lapisan kader PPP. Ia pun mengaku akan membahas dengan KIB setelah mendengar
aspirasi dari daerah. “Jadi ada beberapa wilayah, kalau tidak salah ada
14 wilayah mengusulkan [ke] DPP untuk bisa mencalonkan Pak Ganjar. […..]
Sekali lagi kami akan bawa ke KIB, nanti harapan saya, ya kalau itu sama
calonnya, ya sudah menjadi keputusan nanti,” pungkas Mardiono. Lain halnya dengan Koalisi Indonesia Raya yang
digawani Gerindra dan PKB. Teranyar, PKB mengancam akan memutuskan koalisi
karena beredar kabar Prabowo Subianto akan maju bersama Ganjar Pranowo yang
notabene kader PDIP. Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar sebut, Koalisi
Indonesia Raya akan bubar bila Prabowo memilih pasangan lain dalam proses
pencalonan presiden di Pemilu 2024. Hal itu sebagai bentuk tanggapan atas
hasil sejumlah survei yang memasangkan Prabowo dengan Ganjar. “Saya akan bikin komposisi lain,” kata Muhaimin
di Gedung DPP PKB, Jakarta Pusat pada Senin (21/11/2022). Pria yang karib disapa Cak Imin itu mengakui
bahwa masih ada tantangan dalam membangun komunikasi deklarasi. Salah satu
alasan adalah kedua ketua umum partai, baik Prabowo dan Cak Imin yang
sama-sama ingin menjadi bakal capres 2024. Saat disinggung soal siasat dan rencana politik
PKB bila batal berkoalisi, Muhaimin masih menutup rapat. Ia tidak mau
menjawab apakah masih bertahan dalam Koalisi Indonesia Raya atau mencari
koalisi lain. “Kita lihat nanti,” kata pria yang juga Wakil
Ketua DPR itu. Sikap PKB langsung direspons Sekjen DPP Partai
Gerindra, Ahmad Muzani. Ia sebut Prabowo dan Cak Imin sama-sama menghendaki
maju menjadi calon presiden. Oleh karenanya belum ada keputusan final terkait
koalisi tersebut soal nama bakal capres atau cawapres yang akan maju di
Pemilu 2024. “Sampai sekarang keduanya belum berunding untuk
memutuskan calon presiden apalagi calon wakil presiden,” kata Muzani di
Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada 21 November 2022. Meski demikian, Muzani menjamin tidak ada
keretakan di antara mereka. Karena kedua partai sudah diikat dalam piagam
deklarasi yang ditandatangani pada 13 Agustus 2022. “Kedua partai ini mengikatkan diri satu sama lain
dalam kerja sama politik di Pilpres 2024 untuk menentukan pasangan capres dan
cawapres,” kata dia. Selain itu, Prabowo saat ini dianggap meraih
dukungan dari Presiden Joko Widodo. Menyikapi hal itu, Muzani menyebut
dukungan Jokowi kepada Prabowo sebagai bentuk dorongan agar koalisi Gerindra
dan PKB segera mendeklarasikan nama capres dan cawapres. “Ya saya kira antara akhir atau awal tahun,
antara itu, saya kira itu batas yang baik,” ujarnya. Di faksi lain, poros Partai Nasdem, PKS dan
Demokrat juga mengalami masalah. Meski sama-sama satu sikap mendukung Anies
Baswedan sebagai bakal capres, tapi masih belum satu suara. Hal itu tidak
terlepas dari tarik-menarik internal koalisi dalam penentuan cawapres untuk
Anies. Sebagai contoh, kader Partai Demokrat, Andi Arief
meminta Nasdem konsisten dengan hubungan serta pergerakan di dalam Koalisi
Perubahan bersama Demokrat dan PKS. Andi menuding Nasdem kerap mengumbar
harapan kepada banyak pihak untuk menjadi cawapres Anies. “Jangan setiap bertemu figur di luar PKS dan
Demokrat, Nasdem menawarkan sana-sini,” kata Andi. Andi meminta Nasdem agar berdisiplin dalam
berkoalisi, tidak terpengaruh oleh pihak lain terutama dari Kabinet Indonesia
Maju yang dipimpin oleh Presiden Jokowi. “Sebaiknya konsentrasi saja pada apa
yang sudah dibicarakan di koalisi. Bulatkan saja tekad bahwa Nasdem bergabung
bersama PKS dan Demokrat di jalur perubahan,” kata dia. Pernyataan Andi lantas dijawab Wakil Ketua Umum
Partai Nasdem, Ahmad Ali. Ia sebut pihaknya merasa belum perlu melaksanakan
disiplin koalisi dengan Partai Demokrat dan PKS. Karena ketiga partai
tersebut belum melakukan deklarasi secara resmi. “Memangnya Demokrat sudah berkoalisi sama Nasdem?
Memangnya Demokrat sudah secara resmi mendukung untuk mengusung Anies?"
kata Ali saat dihubungi awak media pada Jumat (18/11/2022). Ali meminta Demokrat untuk tidak membuat aturan
koalisi yang terlalu kaku dan ketat. Nasdem tidak ingin diatur-atur dalam
proses demokrasi. Anies pun sampai turun tangan untuk menenangkan
tensi koalisi. Anies mengumumkan kriteria cawapresnya dalam Pemilu 2024.
Dalam keterangan itu, Anies mengaku akan berupaya membantu pemenangan partai.
Sementara itu, dari sisi cawapres, Anies sebut tidak ingin buru-buru. Ia
bahkan menyinggung bagaimana momen last minute menjadi hal yang lazim dalam
penentuan cawapres. “Dalam sejarah pemilu penentuan pasangan tidak
pernah dilakukan 1,5 tahun sebelumnya. Pasti dilakukan mepet sebelum
pendaftaran KPU,” kata Anies. Anies menambahkan, “Karena pada saat itulah kita
sudah tahu siapa yang dalam koalisi. Kedua kita tahu siapa kompetitor dan
dengan siapa akan berkompetisi, dari situ kita menemukan kombinasi yang
tepat." Koalisi yang Ada Kenapa Sulit Deklarasi
Capres-Cawapres? Direktur Eksekutif Lembaga Riset Median, Rico
Marbun menilai, situasi koalisi yang terbentuk lama tetapi belum ada
pengumuman capres tidak lepas dari dua efek utama. Pertama adalah efek
presidential threshold (PT) yang tinggi. Kedua adalah waktu pendaftaran yang
masih lama mencapai 1 tahun yakni Oktober atau November 2023. “Akibat PT ketinggian, partai dan kandidat harus
bersusah payah membentuk koalisi banyak partai untuk maju dan karena terdiri
atas banyak partai, negosiasi pun makin alot (seperti) posisi
capres-cawapres, hak dan kewajiban dan lain-lain,” kata Rico kepada Tirto. Menurut Rico, situasi itu membuat banyak koalisi
memunculkan status 'pincang' seperti ada capres, tapi belum ada cawapres atau
ada koalisi, tapi kandidat masih 'goib'. “Kedua karena waktu masih panjang dan juga tidak
ada elektabilitas yang dominan, akhirnya semua yakin bahwa suara bisa berubah
anytime dan bisa rugi untuk deklarasi cepat-cepat,” kata Rico. Rico menambahkan, kondisi saat ini bukan capres
yang memanfaatkan koalisi partai, tetapi partai yang ingin mencari coattail
effect dari bakal capres. Rico juga mengatakan, tidak menutup kemungkinan
koalisi saat ini berubah. Ia menduga, koalisi dengan anggota partai lebih
dari satu partai akan rentan berubah karena pengelolaan kepentingan menjadi
kompleks. Hal ini akan berimbas pada banyaknya kandidat paslon yang bisa
diajukan. Jika terjadi perubahan kandidat, ia menilai
rakyat akan merugi karena mereka akan kehilangan kesempatan untuk mendapat kandidat
yang beragam untuk calon pemimpin. Kemudian, partai juga merugi karena mereka
membuang kesempatan politik yang dinilai baik. Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia
Political Power, Ikhwan Arif mengakui, permasalahan kesulitan koalisi
menentukan capres-cawapres tidak lepas dari masalah internal maupun eksternal
koalisi. “Dari internal koalisi ada proses distribusi
kepentingan politik yang belum mencapai porses pengambilan keputusan, ini
disebabkan oleh banyaknya nama-nama yang akan diusung masing-masing partai,”
kata dia kepada reporter Tirto. Menurut dia, kalua tidak ada yang mengalah dan
tidak mencapai kesepakatan, maka koalisi terancam bubar. “Ada deal-deal
politik yang belum tuntas dari internal partai koalisi,” kata Arif. Sedangkan dari sisi eksternal, kata Arif, faktor
tersebut terjadi karena sebagian partai koalisi bergabung dalam koalisi pemerintahan.
Partai koalisi yang terbentuk tidak berani mendeklarasi capres-cawapres demi
menjaga sikap dalam koalisi pemerintah. Di sisi lain, dari faktor elektabilitas, koalisi
yang tergantung lebih bergantung pada elektabilitas figur. Oleh karena itu,
deklarasi akan tergantung pada elektabilitas kandidat yang akan mereka usung. “Jadi ketergantungan koalisi pada nilai
elektabilitas calon menjadi hambatan untuk mendeklarasikan calon, apalagi
tokoh atau figur koalisi yang nilai elektabilitasnya lebih rendah dari figur
yang sering menduduki posisi teratas dari beberapa lembaga survey,” kata dia. Arif melihat, sejumlah koalisi rentan mengalami
perubahan komposisi koalisi. Misal, kata Arif, KIB bisa berubah karena
Gerindra berpotensi tergoda untuk mengikat figur lain, seperti Ganjar atau
Erick Tohir yang notabene dekat dengan Jokowi. Ia juga melihat KIB rentan untuk berubah jika
anggota mendeklarasikan nama-nama di luar koalisi mereka, meski Airlangga
adalah salah satu kandidat terkuat di KIB. Lagi-Lagi Koalisi dan Capres akan Terbentuk Last
Minute? Selain itu, Arif juga melihat potensi perubahan
bakal capres. Menurut dia, ada potensi komposisi koalisi serta capres-cawares
pada menit terakhir. Ia beralasan, sistem multipartai yang dianut Indonesia
menyulitkan dalam upaya konsolidasi untuk penentuan pasangan kandidat. Saat ini, kata Arif, ada pergeseran karena
koalisi terbentuk leih dulu sehingga narasi politik membuat ruang baru dalam
kontestasi Pemilu 2024. Lalu, siapa yang mungkin jadi capres last minute
dan ada berapa poros? Arif memprediksi ada partai yang akan memainkan kondisi
last minute demi kepentingan maju. Ia pun melihat setidaknya ada 3 poros
meski ada potensi 4 poros. “Akan ada capres last minute, Ganjar Pranowo akan
menjadi capres alternatif karena jadi rebutan elektabilitasnya tinggi, peta
koalisi yang akan terbentuk, Prabowo-Puan, Aneis-AHY dan Ganjar-Airlangga,”
kata Arif. “Kalau seandainya 4 poros, koalisi pertama
Prabowo- Muhaimin Iskandar, koalisi kedua Airlangga-Ridwan Kamil, koalisi
ketiga Anies-AHY dan koalisi keempat Puan-Ganjar,” tutur Arif. Hal senada diungkapkan Rico. Ia juga melihat
bahwa ada potensi pendaftaran dengan konsep last minute. Ia menilai,
pendaftaran last minute bisa sebagai salah satu upaya untuk mengalahkan salah
satu kandidat secara dini. Dalam pandangan Rico, berdasarkan data survei
Median, setidaknya ada 3+ 1 capres tambahan, yakni Prabowo lawan Anies dan
Ganjar ditambah Puan bersama pasangannya. Ia menilai, tiga kandidat, Prabowo,
Ganjar dan Anies memiliki elektabilitas tidak jauh sehingga masih saling
bersaing. Sementara itu, kata Rico, Puan berpotensi maju
karena punya tiket penuh dari PDIP. Namun, kata dia, Puan harus menggandeng
figur potensial seperti Sandiaga Uno maupun Andika Perkasa. Lantas siapa yang paling rawan? Rico menduga
koalisi perubahan paling rentan untuk berubah di last minute. “Yang lebih rawan dan terbuka, kan, sekarang ini
pasangan yang katanya akan didukung oleh Nasdem, Demokrat dan PKS. Salah satu
antara Demokrat atau PKS bisa tidak jadi mendukung Anies bila negosiasi dan
komunikasi tentang pendamping menemui jalan buntu," kata Rico. ● Sumber :
https://tirto.id/konfigurasi-koalisi-potensi-berubah-deklarasi-bisa-last-minute-gy1f |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar