Kebudayaan
untuk Pangan Berkelanjutan Hilmar
Farid : Direktur Jenderal Kebudayaan |
KOMPAS, 26 November 2022
Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan
berbicara soal ancaman krisis pangan yang dihadapi dunia dan langkah yang
perlu kita ambil untuk mengantisipasi. Mengamankan pasokan pangan dan membangun
infrastruktur untuk meningkatkan kapasitas produksi dan memperlancar
distribusi jelas masuk dalam agenda. Namun, Presiden juga menekankan
pentingnya diversifikasi pangan agar Indonesia mempunyai banyak alternatif pilihan,
sekaligus mengurangi ketergantungan pada industri pangan global. Melepaskan ketergantungan ini sangat penting
bukan hanya karena dampak negatif industri pangan global pada kelestarian
lingkungan dan ekonomi lokal, melainkan juga karena sistem global yang ada
sesungguhnya sangat rentan. Krisis iklim dalam bentuk banjir, kekeringan, dan
badai tak hanya merusak panen, tetapi juga mengganggu sistem logistik dan
distribusi pangan dunia. Sekali terjadi gangguan di rantai nilai ini, puluhan
juta orang jadi korban kelaparan. Perang di Ukraina yang sudah berlangsung beberapa
bulan berdampak langsung pada jalur persediaan gandum dunia. Jika perang
terus berlanjut, diperkirakan dalam waktu dekat akan terjadi krisis pangan
global, terutama di wilayah yang sangat bergantung pada pasokan gandum. Jalan utama Dalam situasi seperti ini, diversifikasi pangan
bukan sekadar pilihan alternatif, melainkan jalan utama yang harus ditempuh
untuk memastikan keamanan pangan di masa mendatang. Dari mana kita harus mulai? Mengubah sistem
pangan nasional tentu bukan hal yang mudah. Sudah banyak usulan dan kebijakan
dibuat, tetapi tak jalan di lapangan. Masalahnya, karena kita cenderung mengabaikan hal
yang sangat krusial dalam pembicaraan soal sistem pangan, yakni kebudayaan.
Dalam perjalanan panjangnya di bumi ini, manusia mengembangkan beragam cara
untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Dalam ekosistem yang berbeda, manusia melahirkan
kebiasaan berbeda dan tentu pola pangan yang berbeda. Beragam kebiasaan ini lalu membentuk pola dan
diwariskan ke generasi selanjutnya dalam berbagai bentuk ekspresi budaya,
dari pengetahuan lokal tentang tanaman dan hewan sampai ritual dan kesenian
untuk menyambut panen. Banyak sistem pangan tradisional ini sudah berumur
ratusan tahun. Artinya, sudah melalui ujian waktu, seperti subak
di Bali atau sasi di Maluku dan Papua. Kita perlu mempelajari kembali
berbagai sistem ini untuk menangkap nilai dan hubungan pemikiran dan praktik
tradisi itu dengan ekosistem yang spesifik. Pengetahuan ini lalu
dikombinasikan dengan sains dan teknologi untuk memberi arah dan jadi
landasan solid bagi diversifikasi pangan berkelanjutan. Produksi hingga konsumsi Di tingkat produksi kita perlu perluasan basis
yang signifikan, baik dari segi lahan produksi, tenaga produksi, maupun
pengetahuan dan teknologi. Pengertian lahan produktif saat ini terpusat pada
tanah pertanian untuk tanaman pangan tertentu. Hutan bakau atau rawa sagu,
misalnya, tak masuk perhitungan. SDM juga terfokus ke pertanian sawah dan
kebun, sementara ada banyak ekosistem dengan puluhan tipe vegetasi butuh
jenis keahlian berbeda. Di tingkat distribusi pun kebudayaan berperan
penting. Di banyak tempat di Nusantara dikenal sistem lumbung yang mengatur
distribusi hasil panen ke seluruh warga. Fokus utamanya adalah pemenuhan
kebutuhan masyarakat dan bukan pada pencarian keuntungan. Di masa yang tak menentu dan penuh ketidakpastian
seperti sekarang, fokus pada penguatan institusi lokal seperti koperasi, dan
mekanisme sosial, seperti lumbung, adalah pilihan yang lebih menjamin
keamanan pangan ketimbang pasar. Namun, tantangan terbesar justru ada di tingkat
konsumsi. Ketergantungan pada beras dan gandum di Indonesia terjadi karena
kekuasaan industri global atas rantai nilai pangan dari hulu ke hilir.
Tradisi pangan yang beragam di tingkat lokal digerus dengan tersedianya
produk instan yang berlimpah dalam jumlah dan terjangkau. Pemiskinan lanskap pangan ini terjadi secara
cepat dan dalam waktu satu generasi sudah terjadi perubahan pola konsumsi
pangan yang signifikan. Seiring dengan itu terjadi perubahan budaya yang
sangat signifikan. Masyarakat perkotaan yang kian berjarak dari sistem pangan
lokal mulai menganggap makanan lokal bagian dari masa lalu yang inferior di-
bandingkan makanan modern dari beras dan gandum. Kampanye masif melalui media
cetak dan elektronik berlangsung selama puluhan tahun, untuk mengonfirmasi
bahwa perubahan budaya pangan yang terjadi ini bagian dari kehidupan modern
yang tak terelakkan. Pentingnya gerakan Dengan tantangan seperti ini, kita perlu gerakan
masif yang bisa mengangkat kembali sistem pangan lokal. Perangkat kebijakan
perlu diarahkan untuk memperkuat kapasitas produksi dan distribusi di tingkat
lokal. Warga perlu diperkenalkan kembali pada praktik
dan pengetahuan tentang pangan lokal, baik melalui jalur pendidikan formal
maupun aksi kebudayaan. Keterlibatan pelaku usaha juga diperlukan untuk
memastikan sistem ini mencapai skala ekonomis di pelaksanaannya. Beberapa agenda ini sudah mulai dijalankan pemerintah,
dunia usaha, dan komunitas. Gerakan produk lokal dengan jenama lokal sedang
bertumbuh di banyak tempat. Pelakunya berhimpun dalam usaha kecil dan
menengah, bekerja sama dengan produsen dan masyarakat lokal. Dengan jaringan
pemasaran digital, mereka bisa menjelajahi pasar internasional dan memangkas
jalur distribusi rumit dan berbiaya tinggi. Gerakan gastronomi juga kian menaruh perhatian ke
pangan lokal. Masih banyak yang perlu dan bisa dilakukan guna memperluas dan
memperkuat gerakan diversifikasi pangan berbasis kekuatan lokal ini. Direktorat Jenderal Kebudayaan tahun depan akan
menggelar program Kampus Merdeka dengan tajuk kedaulatan pangan. Sekitar 500
mahasiswa akan turun ke desa di NTT, Maluku, dan Papua Barat. Selama lima
bulan mereka akan bekerja sama dengan masyarakat setempat untuk membuat
potret yang utuh mengenai tradisi pangan lokal dengan berbagai tantangan yang
dihadapi. Dari berbagai diskusi di tingkat pembuat
kebijakan, pelaku usaha, dan masyarakat lokal di tingkat akar rumput, cukup
jelas bahwa diversifikasi pangan dan keberagaman budaya bukan sekadar pilihan
alternatif. Diversifikasi pangan yang berbasis tradisi serta
sumber daya lokal adalah jalan utama yang harus ditempuh untuk keselamatan
bersama. Pintu kesempatan itu masih terbuka, tapi dengan latar krisis iklim
dan gejolak geopolitik yang semakin serius. Perlu ada langkah nyata yang
segera. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/23/kebudayaan-untuk-pangan-berkelanjutan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar