"Kalau
Perlu Subsidi LPG atau BBM Alihkan ke Energi Terbarukan" Dwi Aditya Putra, Andrian Pratama
Taher : Jurnalis
Tirto.id |
TIRTO.ID, 16 November 2022
Transisi energi menjadi salah satu dari tiga agenda
utama yang diusung pemerintah dalam Presidensi G20 Indonesia. Lewat KTT G20,
Indonesia akan menjembatani serta mendorong negara-negara berkembang dan maju
pada keanggotaan G20 untuk mempercepat proses transisi energi, memperkuat
sistem energi global yang adil dan berkelanjutan, dalam suatu kesepakatan global. Lead Co-Chairs Think 20 (T20) Indonesia, Bambang
Brodjonegoro menekankan, isu transisi energi dan pembiayaan berkelanjutan
harus mulai diangkat menjadi arus utama dalam pembahasan G20 baik di
Indonesia maupun ke depannya. Sebab, selain pembiayaan investasi yang tinggi
untuk masuk ke sana, ketergantungan batu bara sebagai penghantar listrik
masih masif digunakan di berbagai negara tak terkecuali Indonesia. “Menurut saya yang paling berat itu bukan pembiayaan
langsung. Tetapi bagaimana Indonesia bisa yakin pindah dari batu bara yang
kita sendiri cukup besar produksinya,” kata Bambang saat ditemui reporter
Tirto, di Hotel Nusa Dua, Bali, Sabtu (12/11/2022). Secara historis, Indonesia sudah bergantung dengan
batu bara untuk pembangkit listrik sejak 1971. Persentase batu bara dalam
bauran pembangkit listrik pun meningkat sejak 1971. Bahkan saat ini, sekitar
67 persen listrik di Indonesia masih diperoleh dari pembangkit batu bara. Di tengah upaya menekan penggunaan batu bara,
komoditas ini nyatanya tetap menjadi sumber pembangkit listrik terbesar di
dunia di tengah upaya global dalam mengurangi penggunaan batu bara. Badan
Energi Internasional atau IEA pada 2019 menyatakan, batu bara memegang 38
persen dari keseluruhan pangsa sumber pembangkit listrik global. “Kalau kita misalkan negara yang harus impor batu
bara, mungkin kita akan lebih cepat pindah, karena lebih bagus kita tidak
ikut batu bara lagi supaya kita bisa langsung pakai energi seperti matahari,
angin dan lain sebagainya," kata Bambang. Kepada kami, mantan Menteri PPN/Kepala Bappenas itu
juga membeberkan sejumlah tantangan lain bagi Indonesia menuju energi bersih.
Mulai dari monopoli dilakukan PLN, hingga upaya 'pensiunkan dini' PLTU batu
bara. Berikut perbincangan lengkap reporter Tirto Andrian
Pratama Taher dan Dwi Aditya Putra dengan Lead Co-Chairs T20 Indonesia,
Bambang Brodjonegoro: KTT G20
berlangsung pada 15-16 November, ada masukan khusus apa dari T20 yang
diberikan atau ingin disampaikan kepada pemerintah? Ya, yang paling penting adalah pertama sebagai
presidensi dari G20 Indonesia harus tetap menjaga muruah G20. Muruah G20
sebenarnya adalah forum yang terkait ekonomi, keuangan, dan pembangunan kalau
mau dibuat lebih luas. Nah, artinya hasil dari setiap KTT G20 meskipun
barangkali akan dibumbui oleh nuansa politik, harus tetap mengedepankan
solusi bagi ekonomi keuangan dan pembangunan tersebut. Padahal saat ini isu yang mengemuka adalah
kekhawatiran terjadinya resesi (global). Jadi artinya pertumbuhan ekonomi
yang rendah, masih juga ada kekhawatiran mengenai inflasi tinggi di berbagai
negara dan kombinasi dari dua-duanya, kekhawatiran terjadinya stagflasi dan
inflasi. Jadi menurut saya, Presidensi G20 Indonesia ini
karena temanya Recover Together, Recover Stronger, maka penekanan harus
kepada recovery (pemulihan) itu sendiri, di mana recovery yang diharapkan
adalah upaya pemulihan yang bisa sekaligus menjawab tantangan-tantangan
seperti pelemahan pertumbuhan, potensi inflasi tinggi, ataupun bahaya
terjadinya stagflasi. Lalu, Forum G20 ini paling penting dari sisi ekonomi
karena mencakup 20 ekonomi terbesar di dunia, maka otomatis statement dari
G20 ini harus bisa memberikan ketegasan. Poinnya ketegasan bahwa dunia ini
sudah pulih dari pandemi dan saat yang sama dunia juga sekarang lebih siap
apabila pandemi akan terjadi lagi suatu saat di masa depan. Kenapa ini penting? Untuk menegaskan bahwa sekarang
ini umat manusia tidak lagi lengah seperti pertama waktu kita kena pandemi.
Umat manusia sekarang lebih siap, jadi recovery itu harus dilihat tidak hanya
sekadar recovery ekonomi, tapi juga kemampuan kita untuk mengantisipasi
terjadinya pandemi di masa depan. Jadi mengkombinasikan masalah kesehatan global
dengan masalah ekonomi dan keuangan tetap harus menjadi warna utama nantinya
dari statement G20. Selain itu, juga menjawab isu sustanability, yakni
transisi energi pembiayaan berkelanjutan harus mulai diangkat menjadi arus
utama dalam pembahasan G20. Supaya dia tidak lagi sifatnya pelengkap. Namun,
sudah menjadi bagian utama yang nantinya ke depan presidensi India, Brasil
dan ke depannya nanti tetap akan menjadi pembahasan G20. Sebab, G20 tetap
diharapkan menjadi solusi bagi perekonomian global. Untuk
transisi energi, apakah Indonesia sendiri sudah siap? Karena secara
pembiayaan masih mahal dan dari mana pembiayaannya nanti? Kalau saya melihat sebenarnya kalau dari sisi
kesiapan, apakah kita punya sumber energi terbarukan yang bersih? Kita punya,
meskipun tidak optimal, misal potensi tenaga surya. Meskipun rata-rata per
hari sinar matahari yang efektif bisa menghasilkan listrik tersebut cuma
empat jam sebenarnya. Sisanya kita harus menyimpan listrik tersebut. Tenaga angin ada di beberapa tempat, tapi tidak
terlalu masif. Kemudian yang cukup banyak mungkin air dalam berbagai bentuk
mulai dari bendungan besar sampai kepada yang dari mini hydro, yang skala
kecil. Ada juga panas bumi yang katanya Indonesia memiliki
sumber daya terbesar di dunia. Satu lagi adalah biomassa yang juga potensial.
Sebab, biomassa termasuk limbah sampah maupun sawit, semua itu ada di
Indonesia dengan berbagai variasi. Nah, jadi dari sisi suplainya ada, hanya bagaimana
membawa potensi ini menjadi pembangkit listrik yang operasional? Sebab, untuk
menjadi pembangkit listrik yang operasional dibutuhkan suatu modal untuk
membangun, plus kegiatan operasional lainnya. Kemudian kita juga melihat bahwa dengan energi
transisi dari fosil ke energi terbarukan, praktis dibutuhkan jaringan listrik
yang lebih masif. Sebab, kalau dulu mungkin jaringan itu bisa terputus-putus,
sekarang ini mau tidak mau harus jadi satu. Sebab, tadi yang renewable itu sifatnya variabel
seperti matahari, angin itu tidak setiap saat ada. Jadi harus ada sistem yang
menyimpannya dan kemudian mendistribusikan ketika dibutuhkan. Jadi harus ada
sistem penyimpanannya, tapi sampai sekarang masih mahal. Maka solusinya harus dikombinasi dengan pembangkit
listrik yang menyala terus 24 jam, harus ada jaringan transmisinya. Jadi ini
menurut saya pekerjaan rumah (PR) terbesar karena pemerintah harus investasi
cukup besar untuk memperkuat dan memperluas jaringan. Kedua, harus berani
memberikan insentif atau subsidi untuk yang terbarukan. Sebab, yang
terbarukan itu secara natural masih tinggi harganya. Jadi memang harus ada
pemilihan dalam bentuk subsidi kalau ini dijangkau. Ketiga, yang paling berat itu bukan pembiayaan
langsung. Namun, bagaimana Indonesia bisa yakin pindah dari batu bara yang
kita sendiri cukup besar produksinya. Di sisi lain, masih banyak pembangkit
batu bara yang operasional masih baru lagi operasionalnya berubah drastis
energi terbarukan. Jadi, tantangan terberat transisi energi di situ.
Misalnya negara yang harus impor batu bara, mungkin kita akan lebih cepat
pindah, karena lebih bagus kita tidak ikut batu bara lagi supaya kita bisa
langsung pakai energi seperti matahari, angin dan lain sebagainya. Namun, Indonesia memang banyak batu bara, jadi ini
yang seringkali membuat PLN sebagai satu-satunya pembeli itu kadang-kadang
tidak langsung bisa menyerap produksi listrik dari yang energi baru terbarukan
(EBT). Sebab, energi fosil dari batu bara masih banyak. Belum lagi kita ini karena jaringannya belum
lengkap, banyak listrik yang harus dibangkitkan dengan diesel. Sebab,
daerahnya tidak terkoneksi, jadi salah satu cara untuk menghidupkan listrik
ke sana dengan diesel. Apalagi diesel itu sudah mahal, sama sifatnya fosil
dan emisi tinggi. Jadi saya melihat tantangannya lebih di situ, tidak
hanya sekedar ada duitnya apa tidak. Kalau saya melihatnya kalau memang punya
potensi ekonomi, pasti ada yang beli listriknya, pasti ada investor yang
masuk. Jadi tidak usah khawatir dengan pendanaan. Pertanyaannya, pasarnya ada
atau tidak, PLN mau beli atau tidak, kalau dua pertanyaan ini tidak bisa
dijawab orang, nanti dulu deh. Pembeli hanya
PLN, dibolehkan tidak misal swasta membeli listrik dan didistribusikan? Tidak boleh, ada undang-undangnya. Ini masalahnya
undang-undang. Misalnya, PLN
ada indikasi pendanaan terbatas untuk beli, sementara fosil masih banyak, di
sisi lain energi baru terbarukan diperlukan, bagaimana pendapat Anda? PLN harus mulai punya visi yang berbeda. Artinya dia
sekarang bertransformasi dari perusahaan listrik yang tadinya berbasis fosil
menuju perusahaan listrik yang basis energi baru terbarukan. Ini bukan hanya
sekadar mengganti istilahnya sumber energi primer ini mungkin juga harus
mengubah bentuk perusahaannya sendiri. Kenapa? Karena kalau kita masih pakai fosil batu
bara, apa sih yang membuat batu bara dan diesel itu susah untuk ditinggalkan.
Sebab, dia sistemnya sangat fleksibel dan efisien. Misalnya, kita mau bangun
pembangkit listrik di tengah hutan Kalimantan, simpel kita datang ke lokasi
sumber batu bara, di situ bikin PLTU. Kalau di situ tidak ada batu bara
datangkan batu bara dari tempat terdekat, listrik sudah bisa nyala. Kalau sumber energi baru terbarukan mataharinya
kurang, angin misalnya tidak ada, air kurang, geotermal tidak ada, biomassa
kecil. Sebab, kebutuhan listriknya besar misalnya untuk kebutuhan industri
tidak bisa jalan. Akhirnya kenapa batu bara dan diesel itu selalu diinginkan?
Karena sangat mudah dia tinggal pindah-pindahin saja batu bara ke sini, kirim
diesel ke sana, pembangkit bisa jalan. Jadi masalahnya di sini PLN harus mulai melihat
bahwa ketika listrik berubah menjadi energi terbarukan, dia harus mau investasi
lebih besar di jaringan tadi. Di samping dia juga harus mulai menerima
pembangkit-pembangkit yang terbarukan skala menengah besar karena memang
solusinya listrik 24 jam 7 hari atau seminggu tidak mungkin mengandalkan
matahari yang tidak setiap saat tidak ada sinarnya. Jadi otomatis dengan jaringan dia bisa kombinasikan
antara pembangkit yang bisa menyala terus misalkan air hydro itu bisa nyala
terus, kecuali misalnya air di pegunungan turun, kalau misal ada kekeringan
panjang, tetapi dia jalan terus. Problemnya, waduk itu tidak ada di
mana-mana, hanya di tempat tertentu padahal kebutuhan listrik di daerah yang
tidak dekat bendungan. Caranya ada solar farm di situ untuk tenaga surya.
Solar farm ini menyala ketika masih siang, ketika malam listriknya datang
dari sini, jadi pasokan tidak terganggu tetapi syaratnya, kan, harus ada
jaringan tadi, terutama di luar Jawa. Menurut Anda,
pembangunan infrastruktur itu bakal memakan waktu berapa lama? Apakah sudah
ada kajian berapa lama kita bisa bertransisi? Kalau rencana yang sekarang net zero itu 2060. Di
2060, sudah tidak ada batu bara dan emisinya itu net zero, itu artinya dia
bukan zero dari awal, tetapi dia adalah ada yang plus, ada yang minus juga.
Jadi ada karbon positif ditemukan dengan karbon negatif, hasilnya net zero. Berarti kalau seperti itu, kita harus meminimalkan
karbon yang positif dan mencoba mencari karbon negatif. Nah, karbon negatif
itu bisa diciptakan melalui teknologi. Jadi dia mengambil dari pembangkit,
dia bikin karbon negatif nanti bisa mengurangi kalau ada karbon positif yang
muncul. Sehingga net zero tercapai dan hal itu yang harus kita capai. Lalu pertanyaannya kenapa 2060? Sebab, pembangkit
listrik batu bara yang ada sekarang itu rata-rata konsumsinya 25 tahun. Kalau
tidak salah masih ada yang sedang dibangun, jadi belum beroperasi. Katakan
dia beroperasi 2025, berarti 25 tahun [yaitu] 2050 atau 2055, yang saya tahu
dari 2056 adalah tahun terakhir tambang batu bara beroperasi. Jadi menurut saya pendekatannya adalah kita main di positif
negatif tadi. Jadi kita harus mengandalkan teknologi untuk menciptakan karbon
negatif, tetapi kita juga mulai mengganti karbon positifnya besar menjadi
karbon positif yang lebih kecil. Berarti tidak
mungkin bisa dipercepat, misalnya izin-izin tambang batu bara yang sudah ada
diberhentikan? (Tambang-tambang batu bara) bisa pensiun dini, cuma
perlu biaya. Artinya, pembangkit misalnya masih beroperasi, dia seharusnya
beroperasi kontrak 25 tahun sekarang sudah 20 tahun umurnya. Sudah 20 tahun
jalan, masih 5 tahun, ini bisa menjadi kandidat awal yang bisa dipensiunkan
tinggal 5 tahun, 10 tahun. Caranya tapi pakai duit karena pemilik pembangkit
yang tinggal 5 tahun, 10 tahun itu harus dikasih duit. Biayanya itu harus dia
pakai untuk membuat proyek energi terbarukan. Strategi
Jokowi kira-kira bisa enggak untuk mempercepat transisi energi terbarukan? Itu harus mengandalkan dukungan internasional.
Makanya kita ada sesi di sini salah satunya supaya dana internasional itu
bisa mendorong terjadinya transisi energi di negara yang sedang berkembang.
Karena apa? Pembangkit listrik itu harus dibeli, supaya ada uang untuk
membeli itulah yang dipakai untuk menganti energi terbarukan. Terkait
dengan pensiun dini PLTU batu bara, apakah pembiayaan tadi sifatnya kolaborasi? Pembiayaan itu otomatis tidak bisa ditanggung hanya
satu pihak saja, sekarang ini memang multilateral misal, Indonesia Asian
Development Bank (ADB). Cuma kalau kita mau berbicara lebih banyak, ADB
sendirian tidak sanggup juga, dari swasta bisa yang penting branded supaya
jadi finance itu dibicarakan, supaya pembiayaan itu menjadi rendah harganya,
bunganya lebih rendah. Kalau ada sumber dana yang sifatnya kayak tiba-tiba
itu yang kita harapkan dari filantropi. Jadi kalau filantropi masuk, kita
harapkan skema itu menjadi lebih mungkin dilakukan. Sehingga nanti tidak
hanya model PLN, perusahaan swasta pun dengan rela melakukan pensiun dini
kalau mereka mendapatkan funding low cost tadi di mana bagian dari funding
low cost itu datangnya dari hibah atau dari dana sosial. Butuh dana
berapa bagi Indonesia untuk menuju energi terbarukan? Dan kira-kira bisa
dikerjakan berapa lama? Kalau untuk menghitung, pertama kita harus melihat
dulu kita bisa kuat sampai berapa tahun. Jangan lupa bahwa permintaan listrik
itu tumbuh terus seiring dengan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk,
pertumbuhan listrik pasti naik. Jadi di masa depan pun kebutuhan listrik akan
sangat besar. Jadi kalau saya harus menghitung nilainya akan susah karena
kebutuhannya bergerak terus. Namun, yang paling penting adalah ketika kita tahu
kebutuhan listrik bergerak terus, kita harus segera mencari komposisi yang
renewable untuk memenuhi yang perkiraan 2060 tadi, komposisi ini yang menurut
saya paling krusial. Kalau rencana yang sudah sementara ini tidak tahu apakah
sudah rencana akhir atau belum, nomor satu itu tenaga surya memang. Jadi akan
banyak solar farm di mana-mana. Namun, kan tadi dia variabel sifatnya, jadi
perlu ada dua. Harapannya, pada saat nanti solar farm di mana-mana,
penyimpanan listrik itu sudah harganya lebih murah. Pasalnya, sekarang masih
mahal sekali penyimpanan listrik solar panel itu, kita bikin pembangkit
listrik tenaga surya, terus pakai baterai itu akan lebih mahal daripada PLTU
batu bara, jauh perbandingannya. Kalau suaranya (isu publiknya) solar panel
bisa lebih murah dari batu bara ya, tetapi baterainya itu yang mahal. Insentif yang
diberikan pemerintah sendiri sejauh ini seperti apa agar
perusahaan-perusahaan mau menuju energi terbarukan? Sebenarnya kalau mau jujur dari sisi investor,
mereka tidak terlalu berharap insentif pajak atau segala macam yang terlalu
berlebihan. Mereka cukup putus satu ketika mereka memasukkan investasi, ada
yang beli listrik. Problemnya, listrik itu hanya dibeli oleh PLN. Jadi
kalau PLN belum mengatakan iya, atau PLN malah bilang enggak, investornya
tidak berani masuk. Saya mau bikin pembangkit, tetapi siapa yang beli itu
listrik dan bikin listrik mahal. Jadi menurut saya masalah terbesar Indonesia bukan
pada insentif, tetapi kepada kepastian penyerapan dari listrik yang
dihasilkan. Makanya kalau PLN jual ke swasta satu pendekatannya take or pay.
Sebab, swasta tidak mau sembarangan bikin pembangkit batu bara 2x100, ‘dia
mau semua listrik diserap supaya itu hitungan dia kembali dengan biaya harga
listrik sekian sen per KWH dikalikan listrik yang dihasilkan itu yang
sebanyak-banyaknya take or pay, bisa hitung 20 tahun kembali uang saya.’
Tetapi kalau dari awal tidak jelas siapa yang mau beli, apakah akan dibeli,
dia lebih baik tidak akan membangun. Apakah ada
kemungkinan monopoli PLN dipecah, bukan PLN yang menjual tetapi swasta bisa
langsung ke pemasok, apakah memungkinkan? Itu perubahan undang-undang yang sebenarnya sudah
diinisiasi sejak 2005-2006. Namun, selalu gagal, selalu dikalahkan di
Mahkamah Konstitusi sehingga PLN menjadi monopoli lagi. Artinya sekarang yang
paling penting orang dapat listriknya tidak? Sekarang kita punya deadline
untuk zero emission terkejar tidak? Kalau menurut saya, sebelum ke arah radikal seperti
itu, cukup PLN dapat insurance dari pemerintah. Solusi jangka pendek bisa
jalan adalah saya tidak tahu sekarang subsidi listrik berapa per tahun, semua
subsidi listrik diarahkan menjadi subsidi untuk energi baru terbarukan. Itu
akan menolong langsung karena [kalua] PLN oke, kalau begitu saya beli, kalau
saya dapat subsidi terus, PLN bisa jual dengan harga yang ditentukan
pemerintah. Jadi itu jangka pendek subsidi energi baru terbarukan. Jangka pendek
itu berapa lama? Kalau menurut saya, sepanjang kita melakukan transisi
tadi, kembali ke transisi itu. Kan, masa transisi itu ada sampai akhirnya
kita ketika harga electric storage sudah sesuai dengan harga terjangkau. Maka
mungkin subsidinya bisa dikurangi atau diganti dalam bentuk lain. Namun, menurut saya, begini yang bikin dulu kita
disalahkan subsidi BBM itu kan karena kita mensubsidi yang fosil. Sekarang
kita mau subsidi yang bersih, kok dan orang selalu bilang ending insentif
untuk energi terbarukan itu bagus. Nah, ini kita bicara insentif yang sudah jelas subsidi
untuk energi hijau, jadi menurut saya jalankan saja, tinggal nanti bisa
diketahui berapa kapasitas dari energi terbarukan. Kita hitung saja berapa
megawatt yang dihasilkan, kita hitung subsidinya. Kalau perlu bagian dari
subsidi LPG atau BBM kita pindahkan ke situ. Kitanya harus all out untuk
energi terbarukan, kalau kita mau sesuai dengan batas waktu sesuai dengan
deadline. Anda sempat
masuk kabinet, bagaimana melihat Pak Jokowi tentang gagasan energi baru
terbarukan ini dieksekusi, atau memang ada tantangan? Itu sebenarnya kembali lagi karena monopoli PLN yang
susah. Sebab, PLN ketika melakukan penilaian, evaluasi, apakah dia mau pindah
ke energi terbarukan dan berapa [dan] jenis apa, dia akan lihat dulu kondisi
keuangan perusahaan. PLN klaim hari ini mereka kelebihan supply terutama di
Pulau Jawa dan juga di beberapa pulau. Nah, satu hal dia kelebihan karena mungkin dulu
terlalu banyak memberikan konsesi kepada pembangkit batu bara, karena semua
orang ingin bikin PLTU. Sebab, asumsinya Jawa akan tumbuh pesat, sekarang
kelebihan. Kalau kelebihan take or pay listrik yang dibeli, tetapi tidak
dijual, orang kelebihan berarti berat buat dia. Itu yang membuat dia sekarang
saja kondisi keuangan lagi susah, ini lagi mau energi baru terbarukan yang
harganya pasti mahal. Pengalihan
subsidi BBM dan elpiji dipindahkan ke EBT tadi menarik, apakah ini tidak akan
menjadi bumerang ketika subsidi dialihkan, otomatis harga bensin dan LPG akan
naik? Menurut saya, sekarang tinggal pilihan komitmen
karena toh kita juga tidak akan bisa subsidi 100 persen kalau harga BBM terus
naik. Karena sampai batas berapa? Kalau saya menteri keuangan, saya ngeri
membayangkan kita punya item pengeluaran yang tidak tahu keluarannya berapa.
Sebab, tidak ada batasnya, tergantung bagaimana pergerakan harga, jadi pasti
subsidi ada batasnya. Kalau saya lebih senang karena subsidi itu jumlahnya
besar, tapi bisa kontrol batasnya, lebih baik diarahkan kepada sesuatu yang
memang sudah jadi prioritas kita. Pertanyaannya, sudahkah energi baru terbarukan
jadi prioritas kita? Barangkali belum, lebih kepada pemenuhan dalam negeri
dulu. Namun, kan sebenarnya kita bisa memenuhi dalam negeri mulai dari energi
terbarukan tadi dan di situlah peran subsidi masuk. Memang yang benar harga BBM itu tidak perlu disubsidi,
yang perlu dibantu adalah rumah tangganya, kasih rumah tangga itu daya beli,
maka pemerintah memberikan bantuan langsung baik dalam bentuk tunai maupun
nontunai kepada rumah tangga kategori berpendapatan rendah dan menengah ke
bawah. Tujuannya untuk menjaga mereka supaya tidak
terganggu dengan perubahan harga BBM. Karena harga BBM susah diprediksi kita
tidak tahu ada perang harga naik, nanti tidak ada perang, ada apa lagi. Ada
aja sesuatu yang kadang-kadang secara mengagetkan membuat harga BBM naik. Terkait
ekonomi, ada tidak langkah-langkah yang belum dilakukan Pak Jokowi untuk
meningkatkan ekonomi? Saya melihat dalam kondisi sekarang kuncinya dua
untuk menghadapi tantangan ekonomi 2023. Pertama, benar-benar menjaga inflasi
harga pangan, terutama yang namanya inflasi harga pangan bergejolak. Itu ada
beras, cabai, bawang, semua ada di situ. Kedua, lebih dorong masuk ke
investasi asing Foreign Direct Investment (FDI) terutama sektor manufaktur. Kenapa? Karena pada saat ini, di satu sisi kita butuh
pertumbuhan, pertumbuhan itu datangnya dari mana? Konsumsi dan investasi.
Konsumsi itu dari mana? Dari daya beli. Jadi kalau inflasinya tidak dijaga,
daya belinya berkurang, konsumsi juga akan tumbuhnya lebih rendah. Kalau kita
ingin konsumsi tumbuh tetap stabil, jadi daya beli melalui penanganan inflasi
harus dijaga. Kedua, investasi bisa dalam negeri dan luar negeri,
tapi di satu sisi kita juga melihat ini ada kenaikan tingkat bunga yang
tinggi di luar negeri. Akibatnya, akan terjadi capital outflow, itu sudah
pasti duit keluar ke mana-mana. Berarti untuk mengimbangi yang keluar, kita
perlu ada yang masuk karena yang keluar ini tidak bisa dihalangi. Caranya
adalah kita coba sesuatu yang lain supaya ada yang masuk, masuknya itu bisa
melalui pasar modal atau pasar obligasi negara bisa juga melalui FDI. Jadi lebih baik kita fokus di investasi dan inflasi
supaya kita tetap bisa menjaga pertumbuhan. Namun, tetap juga bisa menjaga
ketahanan rupiahnya sendiri. Bisa tidak
dengan metode seperti itu bisa menjaga pertumbuhan ekonomi? Sementara
belakangan isu PHK massal, masyarakat sudah banyak kehilangan pekerjaan sulit
mendapat pendapatan? Kalau yang pengurangan PHK, itu terjadi kebanyakan
padat karya. Itu terjadi karena ada kemungkinan permintaan atau produk-produk
seperti garmen, tekstil atau sepatu mungkin berkurang, sehingga ada potensi
pertumbuhan ekonomi yang rendah secara global tadi, pasti permintaan dunia
turun. Berarti satu hal dalam jangka menengah panjang, kita harus pastikan
produk manufaktur kita yang masuk pasar ekspor harus yang punya value lebih
tinggi, terutama yang berbasis mesin baja dan segala macam. Untuk mengatasi ini, maksud saya, mengatasi potensi
kemungkinan bisa meningkatkan kemiskinan akibat dari PHK, kita bisa tiru yang
pemerintah lakukan waktu COVID-19. Ketika COVID-19, banyak perusahaan
meliburkan karyawan atau bahkan merumahkan. Jadi apakah kita buat semacam
subsidi upah dari pemerintah. Pemerintah juga harus memberikan insentif pajak
khusus untuk perusahaan-perusahaan padat karya supaya mereka tidak langsung
memberhentikan karyawannya. Jadi bisa dua sisi, bisa karyawan yang diberikan
subsidi upah supaya karyawannya tidak kehilangan daya beli atau diberikan
lewat perusahaan supaya perusahaan tidak mengganggu karyawannya, tidak memberhentikan
atau mengurangi upahnya. Jadi dua cara itu, menurut saya, kalau memang harus
dapat lakukan saja, toh itu sementara artinya tidak terus-terusan. Yang
penting jaga sampai terus-terusan kalau bisa begitu kondisi sudah mulai
pulih, bantuannya memang harus ditarik. Berarti 2
tahun terakhir pemerintahan Jokowi harus ada semacam skenario penyelamatan
juga? Kalau soal PHK itu, kan, ada dua. Bisa kita cegah
supaya dia tidak di-PHK. Atau yang memang akhirnya kena PHK dicarikan
kemungkinan pekerjaan lain. Pekerjaan lain akan muncul kalau kita ada
pertumbuhan ekonomi. Sebab, pertumbuhan ekonomi pasti menciptakan lapangan
kerja baru, itu yang harus dimanfaatkan. Pertanyaan berikutnya, apa yang harus dilakukan
pemerintah? Menurut saya, model Kartu Pra Kerja waktu itu, ada pelatihan
supaya yang biasa terjadi sektor A berhenti, tadinya dia hanya menjadi
pekerja di tekstil, misalnya ya sudah dia belajar yang lain supaya dia bisa
kerja di tempat lain. Jadi kalau mereka mungkin bisa cari tempat kerja di
tempat lain, tinggal bagaimana kemampuan mereka. Kalau mereka tidak punya
keterampilan lain, mereka harus ada training, ada skilling, ada upskilling.
Jadi harus ada itu intervensi pemerintah yang minimal yang harus dilakukan. ● Sumber :
https://tirto.id/kalau-perlu-subsidi-lpg-atau-bbm-alihkan-ke-energi-terbarukan-gyD4 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar