Haedar
Nashir: Bangun Keadaban Publik Kurnia
Yunita Rahayu, Anita Yossihara, Nino Citra Anugrahanto : Wartawan Kompas |
KOMPAS, 21 November 2022
Haedar Nashir mendapat kepercayaan untuk kembali
menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2022-2027. Sederet agenda
serta isu strategis keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal menjadi
perhatian persyarikatan di bawah kepemimpinannya lima tahun ke depan. Tak
hanya memperkuat basis massa di akar rumput, perubahan sosial
pasca-reformasi, globalisasi, dan revolusi teknologi informasi juga menjadi
sorotan. Berikut petikan wawancara Kompas dengan Haedar
Nashir di sela Muktamar Ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah di Surakarta, Jawa
Tengah, Minggu (20/11/2022). Apa saja agenda prioritas Muhammadiyah selama lima
tahun ke depan? Pertama, memperkuat basis akar rumput komunitas.
Ini tidak hanya untuk Muhammadiyah, tetapi untuk kepentingan bangsa. Di
tengah perubahan sosial, baik pasca-reformasi maupun setelah globalisasi,
ditambah dengan revolusi teknologi informasi, masyarakat kita ini
sesungguhnya sedang berjuang agar tidak tercerabut dari akar budaya yang
berbasis pada agama, tradisi luhur bangsa, dan dalam konteks bangsa tentu
Pancasila. Perubahan ini dahsyat, sampai-sampai Microsoft mengumumkan
masyarakat kita sebagai warga yang kurang beradab. Kedua, kami menghasilkan risalah Islam
berkemajuan sebagai pantulan dari gerakan Muhammadiyah. Sejak berdiri, itu
sudah diimplementasikan, bukan sekadar teori. Itu terlihat dari bagaimana KH
Ahmad Dahlan mereformasi pendidikan menjadi modern, lalu menerjemahkan surat
Al Maun menjadi rumah sakit, rumah miskin, rumah yatim. Kemudian yang tidak kalah revolusioner,
mendirikan gerakan perempuan Aisyiyah tahun 1917 yang tidak hanya memiliki
dimensi keagamaan, tetapi juga membongkar tatanan budaya patriarki yang
mengerangkeng perempuan. Lalu mengubah cara berpikir keislaman yang selalu
adaptif untuk menjawab tantangan zaman. Tetapi itu, kan, Islam berkemajuan di generasi
awal. Sekarang, di tengah modernisasi abad ke-21 yang orang sebut sebagai
postmodern, Muhammadiyah dalam dimensi akhlak harus melahirkan keadaban
publik. Keadaban publik itu, kan, inklusif, milik bersama. Contohnya, orang
punya kesadaran seperti membuang sampah pada tempatnya, budaya hidup bersih,
ya, yang sederhana saja. Kemudian tidak ada hate speech di media sosial
ketika pandangan kita berbeda, apalagi sampai memicu kebencian antarkelompok. Jadi, Islam berkemajuan itu harus menampilkan
proses pelembagaan nilai-nilai Islam yang membawa persatuan, perdamaian,
menjadi kohesi sosial, serta mampu melahirkan keadaban publik. Lebih jauh
lagi, itu harus menjadi etos kemajuan bagi seluruh warga. Bagaimana cara melembagakan nilai-nilai Islam
untuk melahirkan keadaban publik? Tentu masyarakat harus mandiri secara ekonomi
agar bisa menjadi civil society yang kuat. Mewujudkan civil society yang kuat
itu bukan hanya dengan membangun kesadaran politik dan kesadaran
berdemokrasi, melainkan juga memperkuat ekonomi masyarakat. Karena, kalau
kondisi ekonominya masih di bawah, ya, dia akan tetap menjadi obyek penderita
dari segala macam bentuk struktur yang membelenggu. Karena itu, Muhammadiyah mengintegrasikan amal
usaha dan mengembangkan bisnis, ekonomi, serta kewirausahaan. Dulu,
Muhammadiyah hadir di tengah masyarakat Islam perkotaan yang kuat secara
ekonomi. Muhammadiyah hidup di pusat-pusat produksi batik, pabrik tekstil
milik saudagar-saudagar pribumi. Tetapi pribumi yang dimaksud dalam konteks
keindonesiaan ya, bukan sebagai entitas yang saling berlawanan. Berikutnya, Muhammadiyah akan berupaya lebih
dinamis mendorong bangsa ini dalam peran keumatan, kebangsaan, bahkan
kemanusiaan universal yang lebih berkemajuan. Kita bisa tumbuh bersama
sebagai sebuah masyarakat majemuk. Selama ini, kita, kan, stagnan. Masih
banyak keributan yang kita buat bersama dan akhirnya kita juga menerima
akibatnya, gitu, kan. Kalau seperti ini, ya tidak akan ada habisnya. Untuk itu, ketika pemilu kami mengajak masyarakat
dan elite untuk lebih rasional. Oke, ada latar belakang perbedaan ideologi,
identitas, yang tidak terhindarkan. Namun, hal itu jangan sampai mengawetkan
konflik politik menjadi berkepanjangan. Itu, kan, perlu ada rasionalitas,
mengembangkan akal pikiran murni, yang dalam istilah Muhammadiyah itu
berpikir obyektif keilmuan. Dengan rasionalitas, kita bisa paham bahwa
konflik terus-menerus justru akan merugikan diri kita sendiri, tidak ada yang
diuntungkan lho dengan konflik itu. Masyarakat kita harus diedukasi dan elite
jangan bermain api untuk memanfaatkan itu. Bagaimana Muhammadiyah memosisikan diri di tengah
potensi konflik yang berpotensi muncul jelang Pemilu 2024? Posisi Muhammadiyah tentu netral aktif untuk
berperan dalam mengawal proses demokrasi pemilu. Tetapi, kami tetap menjaga
jarak, tidak partisan karena kami memang bukan partai politik. Kami juga
tidak dalam posisi mencalonkan, dan memang kami adalah ormas (organisasi
kemasyarakatan) keagamaan dan dakwah. Jadi dalam konteks ini, Muhammadiyah
posisinya netral aktif dan konstruktif. Pemilu 2024 harus merupakan proses demokrasi yang
bukan hanya luber jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil)
sebagaimana demokrasi prosedural. Kita harus memastikan pemilu sebagai proses
yang terbuka, di mana semua pihak menjalankan peran sesuai dengan posisi
masing-masing. Parpol, ya, jalankan tugas parpol. Pemerintah sebagai milik bersama, ya, ketika
menghadapi pemilu harus dalam posisi yang bijaksana, tidak terlibat dalam
kontestasi. Sebab, kalau negara terlibat dalam kontestasi, apalagi memihak
pada satu calon, nanti tidak bisa lagi menjadi adil. KPU (Komisi Pemilihan
Umum) lebih-lebih sebagai penyelenggara harus lebih adil. itu yang disebut
akuntabilitas dalam proses demokrasi yang transparan. Selanjutnya, memastikan bahwa ada platform dan
kesamaan visi dalam membingkai Pemilu 2024 sebagai proses transformasi
kepemimpinan baru. Dalam konteks legislatif, yuk, kita bangun sebuah visi
kebangsaan yang betul-betul diterjemahkan dari Pembukaan UUD 1945, agar tidak
terlepas dari bingkai itu. Jadi, ada semacam visi kebangsaan yang menjadi
komitmen bersama. Dalam kontestasi yang semua orang ingin menang,
saking ingin menangnya melakukan segala macam cara, sampai lupa pada prinsip
demokrasi yang berpijak pada Pancasila, komitmen kita berbangsa. Maka, betapa
pun ingin bersaing harus ada dialog antarkontestan dan antarparpol, supaya
tidak terjadi permusuhan yang melampaui batas. Kalau masih saling curiga, ya,
saling bertemu. Kami, Muhammadiyah, bisa jadi mediator. Terakhir, memastikan bahwa para calon, baik di
pilpres (pemilihan presiden), pilkada (pemilihan kepala daerah), maupun pileg
(pemilihan anggota legislatif), memiliki jiwa kesatria Pancasila. Mereka
harus sepakat meletakkan proses demokrasi berprinsip pada hikmah
kebijaksanaan dan membuka ruang musyawarah. Jangan hanya menang-menangan.
Kemudian, meletakkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan
golongan. Lalu hasilnya, bahwa siapa pun yang dipercaya
oleh rakyat, dia harus mengembalikan kepercayaan itu untuk menyejahterakan
rakyat dengan rasa cinta dan tanggung jawab. Jangan seperti kacang lupa
kulitnya. Ketika ingin dapat dukungan, begitu mesra mencintai rakyat, setelah
menang, ya, kemudian melupakan rakyat. Itu selain tidak sejalan dengan
prinsip demokrasi, juga tidak disukai Tuhan YME. Presiden Joko Widodo kemarin meminta Muhammadiyah
terus mendukung pemerintah agar Indonesia bisa menjadi titik terang di tengah
kesuraman. Bagaimana menerjemahkannya? Itu seperti orangtua mendukung anaknya, terus
memberi support. Tetapi pada saat yang sama, memberi warning ketika anak itu
berdinamika. Anak itu, kan, macam-macam. Artinya, Muhammadiyah sebagai kekuatan yang ikut
mendirikan negara ini, di satu pihak akan selalu mendukung, mendorong, dan
tentu bekerja sama, berkolaborasi dengan pemerintah untuk memajukan
Indonesia. Tapi, kami juga akan menyampaikan masukan, kritik yang elegan dan
berbasis pada obyektivitas. Juga memastikan tidak ada kebijakan-kebijakan
yang terlalu bersemangat dalam hal tertentu, tapi kurang mempertimbangkan
aspek-aspek dan dampak negatif dari kebijakan itu. Kalau ada yang seperti
itu, ya, kami memberikan masukan. Nah, ketika kami menyampaikan kritik dan masukan,
jangan dianggap sebagai bentuk ketidaksukaan. Jangan dianggap sebagai bentuk
oposisi. Jangan dianggap sebagai bentuk dari tidak mendukung. Justru ini
bentuk cinta secara positif. Seperti manusia, Indonesia, kan, juga dibangun
untuk menjadi dewasa. Manusia dewasa karena orangtuanya mengajarkan cinta dan
disiplin. Kalau cuma cinta terus tanpa disiplin, itu nanti selain manja juga
jadi tidak mandiri. Bangsa juga begitu. Maka, ke depan akuntabilitas itu penting.
Demokrasi kita ke depan juga harus membuka seluas mungkin kontrol publik yang
tujuannya bagus, untuk checks and balances. Kita juga harus menjadi bangsa
yang rasional, artinya bisa lugas. Kalau ada masalah jangan berputar-putar,
karena akhirnya malah bisa semakin besar. Kita harus belajar untuk belajar
untuk menyelesaikan masalah dengan cepat. Ya, seperti kopi manis dan pahit,
kan, sama saja enaknya. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/11/20/haedar-nashir-bangun-keadaban-publik |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar