Gerakan
“Green” Sufisme di Indonesia Bambang
Irawan : Guru Besar Ilmu Tasawuf UIN
Syarif Hidayatullah
Jakarta |
KOMPAS, 20 November 2022
Dalam seminar internasional di Universitas Pittsburgh,
Amerika Serikat pada 22 Oktober 2022, saya mempresentasikan hasil penelitian
yang berjudul Green Sufism in Indonesia: an eco-spiritual perspective to
respond a climate change. Upaya menyelamatkan dan melindungi lingkungan
dengan pendekatan agama telah melahirkan respons yang paling luas dan dahsyat
dalam beberapa dekade. Spiritual ekologi selanjutnya menjadi paradigma yang
massif digunakan oleh para pemikir, ilmuwan, dan teolog dalam perumusan etika
ekologi. Krisis lingkungan yang semakin mengkhawatirkan, bukan hanya
menyangkut perkara manajemen teknis lingkungan, melainkan juga perkara
spiritual-filosofis, perkara imajinasi kosmik, pendeknya perkara paradigma
berpikir. Beberapa istilah yang muncul dari karya-karya
terkait hubungan agama dan lingkungan di antaranya green faith (Harper,
2021); green religion (Douglas, 2008), green sister (Rakoczy, 2015),
spiritual ecology (Vaughan-Lee dan Hart, 2017), deep ecology (Charmetant,
2018), ecomysticism (Samantaray dan Patro, 2018) yang seluruhnya muncul dari
nilai-nilai spiritual atau agama. Istilah green sufisme saya munculkan setelah
melakukan penelitian belum lama ini di salah satu pesantren ekologi
Ath-Taariq di Garut. Green sufisme merupakan upaya melihat gambaran yang
lebih luas (a bigger picture) kajian tasawuf yang berorientasi kepada etika
lingkungan yang dikonstruk melalui penyatuan kesadaran antara kesadaran
berlingkungan dan berketuhanan. Mencintai alam semesta merupakan bagian dari
mencintai Tuhan. Tujuannya adalah keserasian antara manusia dengan alam.
Dengan demikian, green sufisme mendorong perilakunya hidup selaras dan
berharmoni dengan alam sebagai manifestasi dari sang pencipta. Di Pesantren Ath-Taariq, Garut, selain diajarkan
ilmu agama, para santri juga dilatih cara berkebun dan bertani, memproduksi
bibit tanaman, mendaur ulang sampah menjadi pupuk organik, dan beternak
unggas serta ikan. Rekonstruksi wacana hubungan tasawuf dengan pelestarian
lingkungan. Pesantren Ath-Thaariq memberi harapan akan
lahirnya para petani muda Indonesia yang alim dan cerdas untuk menghidupkan
kembali bangsanya sebagai negara agraris dari para alumninya. Para lulusan
pesantren ekologi Ath-Taariq diharapkan menjadi kader penggerak untuk
mengembangkan gerakan ini ketika mereka kembali ke desa masing-masing dan
kemudian menjadi akademisi, aktivis, pemimpin, dan pejabat negara. Kegiatan penanaman di pondok pesantren ekologi
Ath-Taariq telah menciptakan bentuk baru tanggung jawab lingkungan. Hal
tersebut merupakan titik balik dan transformasi dalam ajaran tasawuf, yang
sejauh ini lebih sering fokus pada dimensi ritual formal tanpa membangkitkan
kesadaran peserta didik terhadap lingkungan dan realitas alam. Pendiri Pesantren Ath-Thaariq berhasil menanamkan
doktrin tasawuf kepada para santri untuk mengembangkan semangat berkebun dan
bertani. Motivasi berkebun dan bertani dielaborasi dari doktrin zuhud dan
syukur, kekeluargaan dan gotong royong, cinta kasih dan berkah, serta
tafakkur (meditasi) dan tadabbur (perenungan). Doktrin-doktrin tersebut secara signifikan
mempengaruhi dan memotivasi gerakan lingkungan hidup. Penerapan doktrin
tasawuf di pesantren ini bersifat fleksibel dan kondisional, dimana pesantren
tidak semata-mata menitikberatkan pada pemenuhan kesalehan ritual individu. Revitalisasi doktrin-doktrin tasawuf Dalam merespons ragam bencana alam yang semakin
mengkhawatirkan, para peminat dan praktisi tasawuf patut merekonstruksi
doktrin-doktrin yang dinilai lebih produktif dalam merespon bencana alam yang
terus terjadi. Tasawuf tidak melulu soal jalan sepi menuju Tuhan yang
ditempuh dengan mahabbah (cinta), pensucian diri, menghadirkan rasa, dan soal
taubat atau qana'ah dan sejenisnya. Apa artinya mahabbah jika hanya diorientasikan
kepada sang Kholiq sementara mahabbah kepada ciptaannya tidak bisa ia
hadirkan. Apa hasil dari taubat jika kemudian ia merasa cukup dan egois kesendiriannya
tetapi tidak peduli dengan alam sekitarnya. Adalah suatu keniscayaan dan mendesak
menghadirkan doktrin-doktrin sufisme yang memberdayakan (empowering) dan
menginspirasi pengikutnya agar terlibat dalam pemeliharaan lingkungan.
Sementara itu doktrin-doktrin sufisme yang hanya berorientasi kepada
kesalehan individual egoisme dalam bermakrifat, sok suci, ingin menjadi
manusia langit, pemburu Rijalul Ghaib (guru yang gaib) hanya akan menjadi
"berhala-berhala" baru dalam tasawuf. Penganut tasawuf tidak boleh hanya mencukupkan
hidup dengan ibadah ritual formal seperti berdzikir, shalat, puasa,
berkhalwat, dan menjauh dari ingar-bingar kehidupan sedangkan dia sadar bahwa
di hadapannya telah banyak menunggu problematika krisis lingkungan yang
semakin kompleks dan mendesak untuk dipecahkan. Sufisme bukanlah pelarian
bagi mereka yang tidak mampu menghadapi realitas sosialnya dan akhirnya mencari
legitimasi religius untuk lari dari tanggung jawabnya. Kaum sufi yang hanya menekankan aspek asketis dan
ukhrawi tidak lagi mendapat tempat terlebih lagi di lingkungan yang terus
diancam oleh berbagai macam krisis. Kaum sufi sejatinya menunjukkan perilaku-perilaku
yang menunjukkan bahwa mereka bukan hanya cinta kepada Tuhan tetapi juga
harus cinta kepada lingkungan dan berharmoni dengannya. Para sufi harus identik dengan keteladanan mereka
yang aktif dalam aktivitas-aktivitas penghijauan dan penanggulangan bencana.
Kaum sufi itu harus menjadi motivator-motivator yang menyerukan dan
menjelajahi lokasi-lokasi yang terkena bencana alam demi menyebarkan
penghijauan, cinta kasih, dan sayang pada sesama dan lingkungannya. “Green’’ sufisme dan isu-isu lingkungan Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar
secara global, Indonesia menjadi barometer perkembangan pemikiran dan
peradaban dunia Islam. Oleh karena itu, peningkatan penelitian tentang
pelestarian lingkungan berdasarkan nilai-nilai tasawuf merupakan salah satu
pilihan yang mendesak. Hal ini sejalan dengan konsep neo-sufisme yang
digaungkan oleh Fazlurrahman (Rahman, 2020) dan John O Voll, yang berusaha
berdialog dengan para sufi kontemporer tentang teori sosial terkini (Van
Bruinessen, 1994). Penulis berharap para praktisi tasawuf dan
pemilik pondok pesantren adalah mereka yang juga tetap berlomba-lomba menciptakan
dan meraih prestasi-prestasi dalam bentuk penghijauan alam dan berperan aktif
dalam setiap kegiatan yang dapat meminimalisir terjadinya bencana alam. Kita
berharap fenomena tasawuf yang mengarah kepada hal-hal yang hanya bersifat
ritual, dapat dilanjutkan pada amalan-amalan yang aktif terhadap
penanggulangan problem-problem ekologis. Green sufisme adalah sebuah seruan perhatian
terhadap lingkungan hidup. Ia dapat dimulai dari kehidupan kita yang paling
sederhana (zuhud), dalam kedisiplinan hidup hemat, bersih, dan tidak membuang
sampah di sembarang tempat, memelihara dan mencintai makhluk hidup (mahabbah)
dan melakukan tadabbur alam (uzlah). Upaya komunitas Pesantren Ath-Taariq menerapkan
doktrin sufi untuk menjaga lingkungan telah memperkuat dan mengukuhkan bahwa
doktrin tasawuf yang dikembangkan dan diimplementasikan berhasil mendorong
para santrinya untuk menjaga dan mencintai lingkungan. Doktrin tasawuf juga
telah memungkinkan komunitas pesantren untuk memahami bahwa ada hubungan
sintetik antara iman dan tindakan, pemikiran dan aksi, serta ide dan praktik
yang tidak dapat dipisahkan. Jika langkah pesantren ekologi Ath-Taariq
diikuti oleh pesantren-pesantren lain di Indonesia, maka krisis lingkungan
dan perubahan iklim akan dapat diatasi atau setidaknya dapat diminimalisir. Doktrin sufi bukanlah sesuatu yang abstrak dan
terpisah dari realitas dunia dan persoalan lingkungan. Dunia pesantren dan
tasawuf, tidak hanya bertujuan untuk mengembangkan teori dan gagasan, tetapi
sejatinya memberikan kontribusi nyata untuk lingkungan yang lebih baik. Doktrin tasawuf yang diterapkan pesantren
merupakan strategi prospektif untuk menjaga alam dan menjadi kekuatan
spiritual di masa kini dan masa depan. Oleh karena itu, para pengkaji,
pemerhati, dan praktisi tasawuf perlu membuka ruang untuk memperbanyak
penelitian khazanah kekayaan tasawuf dan merekonstruksi doktrin-doktrinnya
guna melahirkan akhlak yang terpuji terhadap lingkungan. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/14/gerakan-green-sufisme-di-indonesia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar