Ada Apa
dengan Omnibus RUU Kesehatan? Sukman
Tulus Putra Ketua Perhimpunan Kardiologi Anak
Indonesia, Anggota Dewan Pertimbangan PB IDI, Council Member, ASEAN Pediatric
Federation (APF) |
MEDIA INDONESIA, 25 November 2022
PENYUSUNAN undang-undang (UU) dengan metode
omnibus seakan mulai menjadi tren di negeri ini, seperti UU Cipta Kerja yang
pernah berujung gaduh. Saat ini, beredar luas di media sosial khususnya di
kalangan tenaga kesehatan, suatu draf Rancangan Undang-Undang (RUU)
Kesehatan. RUU ini disusun menggunakan metode omnibus law, dengan prinsip
penyederhanaan sejumlah regulasi yang dinilai panjang dan tumpang-tindih
menjadi satu regulasi yang mengatur seluruhnya. Omnibus artinya segalanya. Setidaknya ada 15
undang-undang (UU) terkait profesi dan kesehatan yang digabung menjadi satu
UU yang tentu saja ada pasal-pasal dengan muatan yang baru, juga perubahan
materi muatan dari peraturan perundang-undangan yang telah berlaku. UU yang
diomnibuskan antara lain UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU 38/2014
tentang Keperawatan, UU 4/2019 tentang Kebidanan, UU 36/2014 tentang Tenaga
Kesehatan, dan beberapa UU yang terkait kesehatan lainnya. Tidak jelas benar muatan yang dianggap
tumpang-tindih dan panjang serta berbelit-belit karena umumnya semua UU
pofesi yang ada sudah berjalan dengan baik. Pertanyaannya, mengapa harus
dirancang UU ‘sapu jagat’ Kesehatan sehingga timbul pertanyaan ada apa
sebenarnya di balik penyusunan RUU Kesehatan yang bersifat sapu jagat ini? Muncul bermacam perkiraan dari berbagai pihak
bahwa UU ini dibuat untuk mempermudah investasi asing di bidang kesehatan,
serta mempermudah dokter dan tenaga kesehatan asing masuk ke negeri ini. Hal
itu mungkin benar dan mungkin juga tidak. Wallahualam bissawab. Terkait hal ini, muncul pula isu seakan-akan
dokter Indonesia takut akan kehadiran dokter asing di negeri ini. Hal itu
sama sekali tidak benar. Dokter asing yang akan masuk tidak menjadi masalah
sepanjang jelas kompetensi dan kualifikasinya, serta dokter tersebut dengan
keahlian dan kualifikasi tertentu yang tidak kita punyai dan diperlukan. Dalam pengaturan MRA (mutual recognition
arrangement) di tingkat masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) telah disepakati bahwa
dalam hal mobilisasi tenaga dokter, setiap negara harus mengikuti regulasi lokal
(domestic regulations) negara masing-masing. Untuk Indonesia telah diatur
oleh Permenkes (PMK) No 14/2022 dan evaluasi kompetensinya diatur dalam
Peraturan Konsil Kedokteran (Perkonsil) No 97/2021. Memang, selalu ada mekanisme proteksi pengaturan
terhadap tenaga asing termasuk dokter di setiap negara di dunia ini, dengan
tujuan untuk menjamin keselamatan dan kepentingan masyarakat. Ternyata, RUU Kesehatan yang beredar menimbulkan
penolakan secara masif dari sejumlah organisasi profesi kesehatan, baik di di
tingkat provinsi maupun kabupaten, seperti di Nusa Tenggara Barat, Jawa
Tengah, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Riau, Sumatra Selatan, Sumatra Utara,
Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Penolakan dan reaksi keras di atas bukan tidak
beralasan. Perlindungan terhadap masyarakat jelas harus diutamakan oleh
tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, dan bidan dalam menjalankan
profesinya. Prinsip solus populi suprema lex (keselamatan rakyat hukum
tertinggi) memang harus selalu dipegang, dan karena itulah, pemerintah wajib
mengutamakan perintah konstitusi ‘melindungi segenap bangsa Indonesia dan
tumpah darah Indonesia’. Ada beberapa alasan penolakan RUU Kesehatan
(omnibus). Pertama, tidak partisipatif. Dalam proses penyusunan RUU Kesehatan
ini, ternyata tidak partisipatif dan tidak transparan. Jelas, ini menyalahi
prosedur pembentukan suatu UU. Tidak ada organisasi profesi maupun masyarakat
yang diikutsertakan dalam penyusunan draf RUU yang beredar ini. Kedua, sentralisasi pengaturan. Pengaturan
pengakuan kompetensi tenaga kesehatan termasuk mulai penerbitan surat tanda
registrasi (STR) yang merupakan kewenangan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)
sebagai regulator praktik profesi kedokteran, diambil alih oleh kementerian.
STR penting karena merupakan license yang menjamin seorang dokter kompeten
untuk berpraktik diterbitkan hanya sekali seumur hidup. Adapun dalam UU Praktik Kedokteran, STR harus
diperbarui setiap 5 tahun setelah ada bukti bahwa dokter tersebut terus
mengikuti pendidikan kedokteran berkelanjutan (P2KB) sebagai pemutakhiran
pengetahuan dan dan keterampilannya. Di Amerika Serikat, STR (license) harus
diperbarui (resertifikasi) setiap 2 tahun. Di Malaysia dan Singapura STR
berlaku hanya 1 tahun, sedangkan di Filipina 3 tahun. KKI sebagai lembaga negara yang independen,
selama ini bertanggung jawab langsung pada kepala negara/presiden seperti
yang tercantum dalam Pasal 4 ayat 2 UU tentang Praktik Kedokteran. Sedangkan
dalam RUU Kesehatan ini, KKI bertanggung jawab dan di bawah menteri
kesehatan. Tentu saja KKI tidak akan independen. Ketiga, amputasi peran profesi. Pemangkasan peran
organisasi profesi khususnya Kolegium dalam menyusun standar pendidikan
profesi dan kompetensi dokter diambil alih pemerintah. Menghilangkan
pengakuan IDI sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter dan PDGI untuk
dokter gigi adalah suatu kekeliruan yang nyata. Padahal, dalam dunia
internasional, IDI satu-satunya organisasi dokter di Indonesia yang telah
diakui dalam organisasi dokter sedunia (World Medical Association/ WMA).
Mengapa negara tidak mengakui? Bagaimana sebaiknya? Membuat UU Kesehatan dalam bentuk ‘sapu jagat’
tidak ada urgensinya sama sekali saat ini karena UU profesi dan kesehatan
yang berlaku sudah berjalan dengan baik. Yang diperlukan sebenarnya ialah UU
Sistem Kesehatan Nasional yang baik dan komprehensif, termasuk sistem
pembeayaan kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Penundaan, atau pembatalan RUU Kesehatan ini,
dalam daftar legislasi prioritas tahun 2023 akan merupakan keputusan yang
sangat bijak bila diambil oleh DPR, yang pada akhirnya akan berpihak pada
perlindungan dan kepentingan masyarakat di negeri ini. Semoga…. Penundaan, atau pembatalan RUU Kesehatan ini,
dalam daftar legislasi prioritas tahun 2023 akan merupakan keputusan yang
sangat bijak bila diambil oleh DPR, yang pada akhirnya akan berpihak pada
perlindungan dan kepentingan masyarakat di negeri ini. Semoga….. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/539981/ada-apa-dengan-omnibus-ruu-kesehatan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar