Sumpah
Pemuda dan Paradoks ”Merdeka” dalam Pendidikan Francis Wahono : Direktur
Cindelaras Institute dan Pengamat Pendidikan. |
KOMPAS, 28 Oktober 2022
Tiap tanggal 28 Oktober kita merayakan Hari Sumpah
Pemuda. Sudah banyak sejarawan dan penulis yang mengulas, secara tuntas,
inti, alasan, semangat, dan sumbangan yang diberikan Sumpah Pemuda pada
pembentukan dan pemeliharaan kemerdekaan NKRI. Yang mana, pada saat menuju
2045, memang sudah merdeka, secara politik, militer, agama, dan sosial
budaya, tetapi sedikit belum tuntas, masih berjuang menyelesaikannya,
terutama dalam bidang ekonomi serta pendidikan-kesehatan. Sumpah Pemuda 1928 yang 17 tahun kemudian akhirnya
dengan gagah berani melahirkan Proklamasi Kemerdekaan RI, pada 17 Agustus
1945, adalah kemenangan kaum muda untuk dilanjutkan pada telatah diplomasi
dan pertahanan, serta bekerja mengisinya. Semangat dan inspirasi yang sama
hendak ditularkan sebagai warisan sejarah yang baik, kepada generasi penerus,
utamanya lewat pendidikan. Data BPS tahun 2021/2022 menyebutkan, di Indonesia
ada 24,33 juta pelajar ditambah 8,97 juta mahasiswa, atau total 33,3 juta,
yang berarti 19 persen dari total penduduk. Mereka berada di 394.708 unit
sekolah (sebanyak 6.966 unit di antaranya swasta), 3.957 perguruan tinggi
(3.115 perguruan tinggi negeri, 842 perguruan tinggi di bawah Kementerian
Agama, dan 2.990 perguruan tinggi swasta). Adapun jumlah pendidik sebanyak 3,358 juta, paling
banyak guru SD-SMA/SMK. Dari jumlah itu sebanyak 348.776 merupakan tenaga
kependidikan/administrasi dan 311.642 dosen. Total anggaran pendidikan pada
2021 sebesar Rp 550 triliun atau 20 persen dari APBN. Dari jumlah itu,
sebesar Rp 81,5 triliun (14,8 persen) dikelola Kemendikbudristek. Semua dalam
rangka perhelatan besar menata dan memberi jiwa baru yang bernapas ”merdeka”
dalam bidang pendidikan. Tulisan ini hendak mencari jawab, pertama, sejauh
mana semangat dan inspirasi Sumpah Pemuda dapat menjiwai usaha
mentransformasi pendidikan, budaya, dan riset yang sudah dimulai dengan
Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka? Kedua, apakah RUU Sisdiknas, sebagai
aturan dan kebijakan pendidikan, sungguh layak dan pantas menjadi realisasi
cita-cita Sumpah Pemuda sebagaimana termaktub dalam Preambule, Pasal 30, 31,
32, dan 36 UUD 1945? Semangat dan inspirasi Bertolak dari kesadaran kolektif, sebagai akibat
digiring oleh rasa terjajah, secara sosial-politik-ekonomi-budaya-agama
(sospolekbuda) dari pemerintah kolonial saat itu, telah menurunkan derajat
manusia Indonesia, merosot ke kelas dua dan tiga warga. Dan kesadaran akan
kondisi merana tersebut telah menggumpalkan tekad bersama, kerinduan
menyeruak, dan perjuangan menggebu, untuk merdeka. Di mana kesadaran sebagai
satu bangsa masih sangat rapuh, mudah diadu domba, hanya dengan sanjungan
kata, utang jabatan, dan umpan uang. Tak pelak lagi, kesimpulan teguh dari kaum muda yang
sudah terdidik dan tercerahkan, lebih dari rekan-rekannya yang belum
beruntung, adalah: ”Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Singkat namun
bulat jiwa: ”Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangwra” (berbeda-beda,
tetapi satu, tiada langkah kata yang mendua). Maka mereka, putra-putri dari berbagai suku, budaya,
adat, bahasa, pulau, dan latar belakang sosial ekonomi berbeda-beda: Jong
Java, Jong Sumatera, Jong Batakbond, Jong Islamietenbond, Jong Celebes,
Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoenan
Pelajar-Pelajar Indonesia, memanifestasikan: satu nusa atau tanah air
archipelago, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia. Ketiga kredo, satu tanah air, satu bangsa, dan satu
bahasa Indonesia, tersebut terekam jelas dalam UUD 1945 sebagai cita-cita
pendidikan, ”kemerdekaan ialah hak segala bangsa …memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa” (Preambule), yang dijabarkan sebagai
bela negara (Pasal 30), hak pengajaran dan kewajiban membuat sistem
pengajaran (Pasal 31), memajukan kebudayaan (Pasal 32), dan bahasa Indonesia
ialah bahasa negara (Pasal 36). Indah sekali dan menggetarkan sanubari karena proses
membangun bangsa sungguh dialami dengan tulang, daging, kulit, dan jantung
hati, rindu akan kemerdekaan. Maka, sudah tepat dan layak tujuan kemerdekaan
manusianya, pelajarnya, mahasiswanya, kaum mudanya yang dibantu melalui
sistem pendidikan untuk merdeka: jiwa mental, nalar, raga, dan wawasannya
(bdk Ki Hadjar Dewatara 1922). Bukan hanya ”merdeka” belajar, yang ”sesuka hati
ikut naluri”, tetapi juga dalam merancang kurikulum, mata pelajaran/kuliah,
metode, ruang/kampus, maupun mendudukkan fungsi guru/dosen, pemerintah
pusat-daerah, dan lembaga/yayasannya. Semua itu bertujuan demi membantu
pelajar dan mahasiswa meraih kemerdekaan multidimensi tersebut. Inilah paradoks ”merdeka” dari proses
budaya/penghabitusan pendidikan yang memangku pengajaran. Yang harus
dicamkan: pendidikan itu, yang utama, ialah bukan soal kecanggihan alat-alat,
tetapi soal olah manusia dan memosisikan nilai-nilai kemanusiaan vis-a-vis
lingkungan hidupnya. Maka, cara pendekatan dan kerja, perencanaan, dan
eksekusi yang dipimpin Mas Menteri Nadiem Makarim, sebagai dirigen mewujudkan
kemerdekaan di bidang pendidikan dan riset, inilah yang harus diwarisi dan
ditiru, dari semangat dan inspirasi Sumpah Pemuda. Hal itu juga berlaku bagi beliau dan komite resmi,
para pakar, dan para suhu pendidikan dan riset terbaik representasi
Indonesia, untuk merancang dan mengawal transformasi pendidikan, olah budaya,
dan riset, termasuk memproses RUU Sisdiknas. Dalam komite itu, bijaksana
ditambah perwakilan agama-agama, ahli difabel, perempuan, dan masyarakat
adat, yang jumlahnya secara sangat terbatas, yang sudah lama berjasa
menyelenggarakan lembaga pendidikan, budaya, dan riset. Diperlukan juga
satu-dua ahli menata birokrasi administrasi pendidikan, budaya, dan riset,
digital dan nondigital, yang punya semboyan ”kalau dapat dipermudah mengapa
harus dipersulit”, ahli budgeting dan forecasting yang punya tabiat
teliti-adil-inklusif, serta ahli drafting hukum. Rumus wartawan plus Dalam merangkai proses transformasi dan pembaruan
pendidikan, budaya, dan riset yang memang kita tunggu-tunggu sudah lama,
selain keberanian kaum muda, secara sederhana dituntun oleh kerja wartawan
plus. Dalam setiap tahapan membuat kebijakan dan RUU Sisdiknas, jangan lupa,
kalau draf pertama selesai, harus diujikan kepada pengguna dari bawah, baru
berkulminasi pada draf akhir yang diajukan ke DPR. Hal itu dilakukan dengan panduan proses rumus
wartawan plus (5W+1H Plus), yaitu apa, siapa, di mana, kapan, mengapa,
bagaimana, dengan siapa, dari siapa, oleh siapa, dan untuk siapa. Dengan visi
tujuan, dasar filsafat, latar sejarah pergulatan eksistensi negara dan
bangsa, prinsip-prinsip nilai luhur yang diadopsi, pendekatan sosial
psikologi, metode belajar-mengajar yang eksploratif, berbasis masalah,
eksperiensial kontekstual, basis riset, dalam rangka pendidikan (bdk RUU
Sisdiknas, penjelasan Pasal 81 Ayat 3). Serial unsur-unsur pendidikan tersebut dilengkapi
dengan kurikulum dan evaluasi/asesmen kependidikan serta proses pembelajaran,
dari pelajar dan mahasiswa mengenali diri kemampuan dan potensi; tersedianya
fasilitas keras-lunak infrastruktur, untuk pengayaan dan mengembangkan diri;
kultur lingkungan dan partisipasi masyarakat/orangtua; serta ekosistem
nasional/internasional. Di mana kapabilitas guru-dosen dan lembaga pendidikan
dan pelatihannya, kemampuan dan keramahan lembaga/yayasan, dan dukungan serta
kahadiran pegayom negara, baik pemerintah pusat maupun daerah, menjadi utama. Dari situlah akan dipertanggungjawabkan secara
ilmiah dan etika moral. Dengan kata lain, apakah sistem pendidikan nasional
kita sudah berdasar Pancasila, berpandukan UUD 1945, bersejarahkan perjuangan
kemerdekaan, termasuk ajaran baik para pendiri serta pemikir bangsa dalam
bidang pendidikan? Misalnya nama-nama KH Ahmad Dahlan, Hadratus Syaikh Hasyim
Asy’ari, RA Kartini, HR Rasuna Said, Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis,
Frans van Lith, dan Ki Hadjar Dewantara, mesti menjadi panutan. RUU Sisdiknas Beberapa hal krusial mendasar dari membaca draf RUU
Sisdiknas, dapat saya sampaikan di sini. Pertama, menilik alasan dikeluarkannya draf RUU
Sisdiknas adalah karena UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, UU No 14/2005
tentang Guru dan Dosen, dan UU No 12/2012 tentang Perguruan Tinggi perlu
”disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan pendidikan nasional”
(draf RUU Sisdiknas, Agustus 2022). Ini menimbulkan pertanyaan mendasar. Bukankah alasan yang lebih tepat ialah ”disesuaikan
dengan jiwa Pancasila, semangat UUD 1945, dan perkembangan zaman”? Kalau
”tuntutan perkembangan pendidikan nasional”, ada kesan kebijakan pendidikan
Merdeka Belajar dan Kampus Mereka seolah mencari pembenarannya pada RUU
Sisdiknas, bukan karena diturunkan, seturut hierarki hukum, dari UUD 1945,
termasuk di dalamnya Preambule dan Pancasila. Kedua, penggunaan dan urutan nomenklatur 1950,
ketika Dr Bahder Johan menjabat menteri, istilah ”pengajaran pendidikan dan
kebudayaan” (PP dan K) dipakai. Itu sudah tepat, karena ”pengajaran”
(didaktika) dilaksanakan dalam kerangka ”pendidikan” (pedagogika), bukan
sebaliknya. Bab I Pasal 1 Ayat 1 perlu dibalik dan tegaskan karena ”pendidikan”
seharusnya mengerangkai ”pengajaran”. Apalagi RUU ini dinamai RUU Sisdiknas,
”sistem pendidikan”, bukan ”sistem pengajaran”. Ketiga, benar menurut pakar dunia pendidikan yang
abad lalu sampai kini, seperti John Dewey, Maria Montessori, Jean Piaget,
Paulo Freire, Lev Vygotsky, dan Howard Gardner, bahwa pelajar adalah pusat
pendidikan dan pengajaran. Maka, rumusan RUU Sisdiknas Pasal 5 Ayat a harus
lebih tegas lagi, bukan hanya ”berorientasi pada” pelajar dan mahasiswai,
tetapi ”dari, oleh, dan untuk” mereka sehingga mampu bernalar, menganalisis
untuk memecahkan masalah (RUU Sisdiknas, penjelasan Pasal 3). Di mana, dalam
hal ini, guru dan dosen bersifat membantu (N Driyarkara) atau among/mengasuh
(Ki Hadjar Dewantara), dengan welas asih/kasih sayang (YB Mangunwijaya). Keempat, semestinya ke dalam seni mendidik dan
mengajar, utamanya oleh guru dan dosen, dipergunakan segala media
pembelajaran, bukan hanya mengandalkan kurikulum. Seumpama pertunjukan
wayang, karakter wayang dan lakon pakem adalah kurikulumnya, sedangkan
seorang dalang adalah yang membuatnya hidup dan berdaya makna dengan
kreativitas seni dan keahlian sanggit (interpretasi)-nya. Maka, guru dan dosenlah yang membuat kurikulum jadi
hidup dan sukses membantu pelajar dan mahasiswa mencapai tujuan, dengan jiwa,
semangat, dan cara pendekatan, wawasan keilmuan, dan seni olah psikologi
sosialnya. Terutama, dalam hal seni soft mechanism (dialog, musyawarah)
menginternalisasi nilai-nilai Pancasila, etika moral religiositas seturut
iman agama masing-masing, berdialog dengan para pelajar dan mahasiswa. Eksplisitasi langkah-langkah konkret dalam RUU
Sisdiknas (penjelasan umum) terhadap para guru dan dosen di Indonesia yang
majemuk, berlaut dan pulau, negeri dan swasta, baik yang tetap ataupun kontrak,
dalam hal dana, pelatihan, pengayaan ilmu dan cara fasilitasi, dan
penghargaan setimpal. Cara soft mechanism demikian, bagi tingkat SD, telah
diberikan contoh dan praktiknya oleh Sutedja Brajanagara dan L Kartasubrata
(1952), sebagai ”Sekolah Rakyat Pancasila” (lihat: Francis Wahono, 2021.
Pendidikan yang Memerdekakan, Yogyakarta: Cinde Books, hlm 81-192). Kelima, tujuan pendidikan tinggi janganlah sekadar
”memenuhi kepentingan nasional dan meningkatkan daya saing” (draf RUU
Sisdiknas Agustus 2022, Pasal 32). Alangkah tepat dan layak, apabila rumusan
yang berbau chauvinisme nasional dan neoliberalisme itu agar konsisten dengan
”menimbang” nomor a sampai d, bijak diganti dengan yang lebih Pancasila dan
UUD 1945. Sehingga bunyi lengkap dari tujuan pendidikan tinggi lebih kurang
begini: ”memenuhi, cita-cita kemerdekaan, kesejahteraan, keadilan, perdamian
dunia, dan pencerdasan bangsa, sebagaimana termaktub dalam Preambule UUD
1945”. Tak jauh berbeda dengan zaman Sumpah Pemuda,
hadirnya politik kolonial penjajah Hindia Belanda, dalam menaklukkan bangsa
ini, di bawah kaki pencari rente ekonomi, yang haus kuasa dan harta. Mereka
cenderung mengadu domba dengan strategi devide et impera (dipecah belah dan
kuasailah), hanya kali ini, kaum muda harus berjibaku menyiasati zaman
digital, lebih murah, cepat, dan tanpa tedeng aling-aling. Mereka harus
menyingkap algoritma hate and hoax dan kedok komoditas SARA (suku, agama,
ras, dan antargolongan). ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/26/sumpah-pemuda-dan-paradoks-merdeka-dalam-pendidikan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar