Sumpah Pemuda dan Kiprah Orang Tionghoa
di Balik "Indonesia Raya" Ravando Lie : Kontributor Tirto.id |
TIRTO.ID, 28 Oktober 2022
Dengan langkah
tergopoh-gopoh, Wage Rudolf Supratman bergegas masuk ke dalam gedung Sin Po
di Jalan Asemka 29, Batavia. Ia hendak menemui Ang Yan Goan, direktur
sekaligus redaktur Sin Po, surat kabar yang dikelola orang-orang Tionghoa
peranakan dengan tiras yang sangat besar pada masanya. Supratman memang biasa
mendiskusikan pergerakan kemerdekaan Indonesia dengan para wartawan Sin Po. Sejak
September 1925, Supratman dikenal sebagai salah satu koresponden aktif untuk
Sin Po. Ia mengenal baik seluruh karyawan koran itu dan Ang Yan Goan menilai
Supratman sebagai sosok nasionalis sejati, pecinta seni, dan begitu
menyenangi pekerjaan pers. Supratman biasa datang tengah hari ke Asemka
menjelang tenggat, sehingga kerap makan siang bersama para staf media
tersebut. Namun khusus
hari itu, Supratman datang ke kantor Sin Po lengkap dengan biola
kesayangannya. Di hadapan Ang Yan Goan, ia menunjukkan syair lagu berjudul
"Indonesia" yang pertama kali digubah di Bandung. Supratman
kemudian menyanyikan syair tersebut dengan lembut, lengkap dengan iringan
biola. Di dalam memoarnya,
Ang Yan Goan menuturkan pertemuan bersejarah dengan Supratman itu. Ia
terkesima dengan alunan nada yang keluar dari biola Supratman, seraya memuji
kualitas syair dan musik yang dimainkan. Sekalipun tidak bercorak langgam
Indonesia, Ang Yan Goan menganggap syairnya begitu menggugah hati, terutama
pada bait "Marilah kita berseru, Indonesia bersatu." Setelahnya,
Supratman menanyakan kepada Ang Yan Goan mengenai kemungkinan Sin Po memuat
syair tersebut. Ang Yan Goan tidak keberatan, mengingat hal itu tentu akan
bermanfaat bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejak awal kemunculannya
pada 1 Oktober 1910, Sin Po memang sudah dikenal sebagai salah satu pendukung
kemerdekaan Indonesia. Menurut Sin
Po, orang Tionghoa dan orang Indonesia memiliki satu kesamaan, yaitu
sama-sama mengalami perlakukan tidak adil dan diskriminatif, dan sama-sama
dianggap sebagai bangsa yang ditaklukkan. Sin Po berkeyakinan, pemerintahan
sendiri akan menghapuskan ketidakadilan dan diskriminasi, hingga menuju ke
sasaran akhir, yakni kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, Sin Po menganggap baik
orang Tionghoa maupun orang Indonesia seharusnya bisa saling bersimpati dan
tolong-menolong, berdasarkan persamaan nasib sebagai bangsa terjajah. Setelah
melewati rapat redaksi, disepakati bahwa syair tersebut dimuat di Sin Po
Wekelijksche Editie (Sin Po Edisi Mingguan) pada 10 November 1928. Syair itu
pertama kali muncul dengan judul "Indonesia", dan di dalamnya tidak
menyebut kata "merdeka" sama sekali. Supratman masih menggunakan
diksi "mulia". Sin Po pun
menjadi media pertama yang memuat syair tersebut lengkap dengan partiturnya.
Hal itu sontak mengejutkan sebagian pembaca Sin Po. Mereka bertanya-tanya
mengapa syair "Indonesia" tidak dimuat di koran terbitan kaum
bumiputra terlebih dulu. Supratman
ternyata sempat mengajukannya ke beberapa koran terbitan Indonesia untuk
dimuat, tetapi tidak ada satupun yang bersedia. Mereka khawatir terhadap
ancaman beredel dari pemerintah kolonial. Apalagi Belanda sudah pernah
kecolongan ketika Supratman memainkan syair tersebut untuk pertama kalinya
dalam penyelenggaraan Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928, tepat hari ini
92 tahun silam. Sugondo Djojopuspito, pimpinan kongres tersebut, adalah orang
yang meyakinkan Supratman untuk memainkannya. Partitur Indonesia
Raya Syair dan
partitur lagu "Indonesia" gubahan W.R. Supratman yang dimuat di
surat kabar Sin Po pada 10 November 1928 (Sumber foto: Ravando Lie) Disita Polisi Belanda Ide awal
Supratman untuk menggubah "Indonesia Raya" berawal dari tantangan
yang ditulis majalah Timboel (diterbitkan di Solo) yang berbunyi: “Alangkah
baeknya kaloe ada salah saorang dari pemoeda Indonesia jang bisa tjiptaken
lagoe kebangsaan Indonesia, sebab laen-laen bangsa semoea telah memiliki
lagoe kebangsaannja masing-masing!” Merasa
tertantang, Supratman pun mulai menyusun syair lagu tersebut yang berhasil ia
selesaikan pada 1924 dan kemudian ia beri judul "Indonesia". Pada 1929,
Supratman mengganti judul syair tersebut menjadi "Indonesia Raja"
dan menyematkan frasa "Lagu Kebangsaan Indonesia" di bawahnya.
Dengan bantuan Sin Po, Supratman kemudian memperbanyak dan
mendistribusikannya dalam bentuk selebaran. Hanya dalam waktu singkat, syair
itu telah menyebar ke seluruh penjuru Batavia. Dua tahun
sebelumnya, Supratman menghubungi beberapa perusahaan rekaman di Batavia
untuk merekam lagu tersebut. Ia menghubungi Odeon dan kemudian ditolak.
Selanjutnya, Supratman menghubungi Tio Tek Hong, untuk kemudian ditolak
kembali. Kedua perusahaan tersebut memberikan alasan yang sama, yaitu
khawatir akan berurusan dengan polisi Belanda. Tidak patah
arang, Supratman kemudian menawarkan ide tersebut ke Yo Kim Tjan, pemilik
Roxi Cinema House dan Lido di Tanjung Priok yang memproduksi dan
mendistribusikan film serta rekaman melalui Toko Populair. Kebetulan saat itu
Supratman juga bekerja sebagai pemain biola paruh waktu untuk Yo Kim Tjan di
Orkes Populair. Yo Kim Tjan
menyetujui rencana Supratman dan bahkan menyarankan dua rekaman yang berbeda,
yaitu "Indonesia Raya" versi asli yang dinyanyikan Supratman dan
Indonesia Raya versi keroncong. Proses rekaman dilakukan secara
sembunyi-sembunyi di kediaman Yo Kim Tjan di Jalan Gunung Sahari 37, Batavia
dengan bantuan seorang ahli dari Jerman. Master versi
keroncong kemudian dikirim ke Inggris untuk diperbanyak, sebelum dikirim
kembali ke Batavia. Supratman bahkan memberikan hak kepada Yo Kim Tjan untuk
memperbanyak dan menjual lagu tersebut melalui tokonya. Namun polisi
Belanda mengetahuinya dan segera bertindak cepat dengan menyita seluruh rekaman,
termasuk rekaman yang dikirimkan dari Inggris ke Batavia. Sementara master
dari versi keroncong kemungkinan besar juga dihancurkan pemerintah kolonial. Diklaim Pemerintah Republik Ketika Jepang
menduduki Indonesia, Supratman meminta kepada Yo Kim Tjan untuk menyelamatkan
satu-satunya master yang tertinggal. Semasa Revolusi, putri tertua Yo Kim
Tjan, Kartika Kertayasa (Yo Hoey Gwat), berhasil menyelamatkan rekaman
tersebut dalam proses evakuasi menuju Karawang, Tasikmalaya, Garut, dan
beberapa kota lainnya. Pada 1947, Yo
Kim Tjan beserta keluarganya mengunjungi Belanda. Ketika makan di salah satu
restoran Indonesia di Amsterdam, Yo Kim Tjan terkejut mendengar
"Indonesia Raya" versi keroncong dimainkan sang pemilik restoran.
Ia pun berupaya meyakinkan sang pemilik restoran bahwa lagu yang dimainkan
merupakan hasil rekamannya. Yo Kim Tjan bahkan menunjukkan paspornya sebagai
bukti. Pada akhirnya, Yo Kim Tjan harus membayar 15 gulden untuk mendapatkan
rekaman yang ia produksi sendiri. Setelah
pengakuan kedaulatan, Yo Kim Tjan berencana memperbanyak rekaman tersebut
pada 1953 agar "Indonesia Raya" bisa lebih dikenal khalayak luas.
Ia pun berusaha mendekati Maladi, yang saat itu menjabat sebagai Kepala
Djawatan Radio Republik Indonesia, untuk meminta izin memperbanyak rekaman
tersebut. Namun Maladi menolaknya. Dalam
wawancara terakhir Udaya Halim, seorang budayawan Tionghoa, dengan Kartika
Kertayasa, disebutkan bagaimana pada 1957 Kusbini, seorang pengarang lagu
terkemuka, mendekati Yo Kim Tjan dan menjanjikannya untuk dapat lisensi
memperbanyak rekaman "Indonesia Raya". Namun Kusbini kemudian
menyerahkan rekaman tersebut ke pemerintah, dan pada 1958 Yo Kim Tjan
menerima surat yang menyatakan seolah-olah ia menyerahkan rekaman tersebut
secara sukarela. Maka terhitung
sejak 1958, pemerintah Indonesia menjadi satu-satunya pihak yang memegang hak
penuh untuk memperbanyak dan mendistribusikan lagu tersebut. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958, stanza pertama "Indonesia
Raya" digunakan sebagai lirik resmi dari lagu nasional Indonesia, yang
masih digunakan hingga detik ini. ● |
Sumber : https://tirto.id/sumpah-pemuda-dan-kiprah-orang-tionghoa-di-balik-indonesia-raya-c8Jl
Tidak ada komentar:
Posting Komentar