Siapa Bersalah
Mengawasi Obat Sirop Penyebab Gagal Ginjal Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 30
Oktober 2022
HAL yang jauh lebih
mengkhawatirkan dari kematian ratusan anak akibat gagal ginjal akut adalah
tidak berjalannya sistem kesehatan negara ini. Jumlah korban bocah akibat
meminum obat sirop mengandung bahan berbahaya itu semestinya bisa ditekan
jika semua elemen dalam sistem kesehatan menjalankan fungsinya. Pembenahan
sistem dan personel mesti dilakukan untuk mencegah kejadian ini berulang. Setidaknya 157 anak
meninggal dari 269 kasus gagal ginjal akut dalam beberapa pekan terakhir.
Kematian itu disebabkan oleh obat sirop sejumlah merek dengan kandungan etilena
glikol dan dietilena glikol, zat kimia yang berefek toksik jika dikonsumsi
melebihi batas aman. Pemerintah melarang peredaran semua obat sirop selama
beberapa hari setelah serangkaian kasus kematian mengemuka ke publik. Meski terlambat,
pelarangan obat sirop hingga dipastikan aman memang sudah semestinya
dilakukan. Jumlah kasus kematian anak akibat gagal ginjal akut sudah terlalu
banyak, bahkan jauh melampaui Gambia, negara di Benua Afrika yang mengalami
kasus serupa. Untuk memberi gambaran, peringkat Indeks Kebebasan Ekonomi
Gambia secara global adalah 102, jauh di bawah Indonesia yang menduduki
peringkat 63. Jumlah korban di Indonesia juga melampaui negara lain pada
kejadian serupa seperti di Nigeria (2009), Bangladesh (2009), atau Haiti
(1995). Keterlambatan itu
merupakan bukti tidak bekerjanya alarm pada sistem kesehatan ketika peristiwa
tak normal terjadi. Kasus “penyakit misterius” awalnya memang didiagnosis
sebagai sindrom peradangan multisistem seusai Covid-19. Menurut Ikatan Dokter
Anak Indonesia, dugaan itu terpatahkan ketika penderita gangguan ginjal akut
tidak membaik setelah dilakukan tata laksana penanganan dan pengobatan
corona. Ketika serangkaian kasus serupa terjadi di berbagai tempat, sinyal
kewaspadaan seharusnya segera menyala. Semua rumah sakit
sejatinya wajib melaporkan setiap kejadian abnormal. Rumah sakit milik
pemerintah, misalnya, harus melapor ke dinas kesehatan dan Kementerian
Kesehatan. Aturan ini memang ditujukan untuk mencegah meledaknya kasus
penyakit menular. Namun setiap ketidaknormalan, seperti meledaknya kasus
gagal ginjal akut, perlu dilaporkan untuk dijadikan pijakan dalam mengambil
keputusan pencegahan. Jika ini dilakukan, jatuhnya korban meninggal bisa
dicegah sejak awal. Persoalan utama, tentu
saja, ada pada pengawasan oleh pemerintah dan ketaatan industri farmasi pada
good manufacturing practices. Dalam hal ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) tak bisa lepas dari tanggung jawab dengan berkilah bahwa tidak ada
ketentuan internasional yang mewajibkan pemantauan etilena glikol dan
dietilena glikol. Apalagi di dunia farmasi dikenal istilah
“pharmacovigilance”, yakni evaluasi keamanan obat yang telah dipasarkan dan
digunakan secara klinis oleh masyarakat. Pemeriksaan berkala mutlak dilakukan
mengingat hampir semua bahan baku obat di Indonesia didatangkan dari luar
negeri, terutama dari India. Kelemahan BPOM makin
terlihat setelah meledaknya kasus kematian anak akibat gagal ginjal akut.
Lembaga ini tidak dari awal memberikan penjelasan tentang obat sirop yang dianggap
menjadi penyebab. Baru belakangan BPOM menyebutkan adanya dua produsen
farmasi yang bakal ditindak secara pidana. Melihat kelambanan itu, sulit
ditolak spekulasi bahwa badan tersebut mendapat tekanan dari
perusahaan-perusahaan farmasi pemegang aneka merek obat sirop. Produsen obat menanggung
kesalahan terbesar dalam meledaknya kasus kematian anak ini. Mereka terbukti
tidak menjalankan proses produksi dan kontrol yang baik guna memastikan
keamanan obat. Tindakan perusahaan farmasi mengganti bahan baku yang lebih
murah, seperti disebutkan Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito, telah
membahayakan nyawa anak. Sudah seharusnya mereka yang bertanggung jawab atas
kesalahan ini mendapat sanksi pidana. Pemerintah perlu membenahi
alur pengadaan bahan baku dan pemasaran obat. Berkaitan dengan keselamatan
jiwa banyak orang, industri farmasi harus mematuhi berbagai regulasi.
Pemerintah harus pula mengawasinya dengan ketat. Tanpa pengawasan ketat
oleh personel yang tidak memiliki benturan kepentingan, aturan-aturan itu
bisa diakali. Akibatnya, keselamatan masyarakat akan selalu terancam. Ratusan
kematian akibat gagal ginjal akut hanya salah satu contoh. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/167285/siapa-bersalah-mengawasi-obat-sirop-penyebab-gagal-ginjal |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar